Implementasi Kurikulum Merdeka sejatinya membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan prinsip fleksibilitas dan pendekatan berbasis kebutuhan siswa, kurikulum ini memungkinkan sekolah untuk menyusun program pembelajaran sesuai dengan profil dan kemampuan siswa. Namun, di tengah berbagai inovasi yang ditawarkan, terdapat satu elemen atau acara lama yang seolah-olah belum mengalami perubahan signifikan, yaitu sistem penilaian ujian akhir yang masih terpusat.
Ketika Asesmen Sumatif Akhir untuk Semester Ganjil ini tak lama lagi akan dilaksanakan, banyak guru merasa kurang puas dengan sistem penilaian yang masih mempertahankan pola lama.Â
Kisi-kisi soal ujian yang dibagikan secara seragam ke semua sekolah misalnya, dirasakan kurang relevan dengan esensi Kurikulum Merdeka yang mengutamakan kemandirian sekolah dalam merancang pembelajaran.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah ketidaksesuaian antara materi yang diajarkan oleh guru di sekolah dan kisi-kisi yang diberikan.Â
Meskipun kisi-kisi ini menjadi panduan bagi guru untuk menyiapkan siswa menghadapi ujian, dalam banyak kasus masih ada materi yang belum sempat disampaikan. Hal ini tentu mempengaruhi kesiapan siswa dalam menghadapi asesmen akhir.
Ketimpangan seperti ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai bagaimana kualitas penilaian terhadap siswa yang beragam. Kurikulum Merdeka mengedepankan pentingnya memahami latar belakang dan kemampuan siswa, namun ujian dengan soal yang disamakan untuk seluruh sekolah di satu kecamatan tampaknya mengabaikan aspek ini.Â
Guru di sekolah sebenarnya lebih memahami capaian pembelajaran siswa dan materi yang telah diajarkan, sehingga mereka adalah pihak yang paling tepat dalam merancang soal ujian yang sesuai dengan kondisi siswa. Adanya kebijakan penilaian terpusat seolah menghilangkan hak prerogatif guru dalam menilai hasil belajar siswa.
Di era Kurikulum Merdeka, tidak ada lagi siswa yang tinggal kelas meski nilainya mungkin tidak memuaskan. Pada akhirnya, yang masuk dalam rapor tetaplah nilai yang memenuhi Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP). Dengan demikian, kehadiran soal yang dibuat secara terpusat dan disamakan bagi semua sekolah menjadi sekadar formalitas belaka.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi anggaran dan sumber daya, terutama dalam pembuatan soal dan distribusi kertas ujian. Dalam konteks efisiensi dan transparansi, rasanya bijak jika ujian bersama seperti ini ditiadakan atau setidaknya disesuaikan dengan prinsip fleksibilitas Kurikulum Merdeka.
Jika ujian harus tetap diadakan, maka kisi-kisi idealnya diberikan sejak awal semester, bukan menjelang pelaksanaan asesmen akhir.Â
Hal ini akan memberi waktu yang cukup bagi guru untuk menyesuaikan materi dengan kisi-kisi yang ada, sehingga siswa bisa lebih siap dalam menghadapi ujian.