Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPG, Harapan yang Kadang Datang Terlambat bagi Guru Senior

26 Oktober 2024   06:58 Diperbarui: 29 Oktober 2024   14:23 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru senior lansia bagaimana mengikuti pengembangan karier melalui pelatihan menggunakan teknologi. (Dok. Putera Sampoerna Foundation via Kompas.com) 

Dalam dunia pendidikan, guru sebagai pilar penting yang memegang tanggung jawab besar untuk mencerdaskan generasi bangsa. Panggilan hati yang dimiliki seorang guru adalah kekuatan luar biasa yang menuntun mereka dalam menjalankan tugas mengajar dan mendidik, meski kondisi finansial dan sosial seringkali jauh dari kata memadai. Ketika orang lain mungkin mengeluh soal gaji, para guru memilih untuk bertahan, bersikap ikhlas, dan berdedikasi sepenuh hati. Tidak semua orang sanggup menjalani profesi mulia ini, karena tidak sekadar ilmu yang diberikan, tetapi juga teladan.

Namun, dibalik pengabdian yang tulus, guru juga memiliki mimpi yang mereka nanti dengan harap-harap cemas. Dua hal yang selalu dinantikan oleh para guru adalah panggilan untuk mengikuti tes pengangkatan ASN dan Program Profesi Guru (PPG). Keduanya memberikan harapan besar, baik dalam peningkatan status, kesejahteraan, maupun pengakuan atas dedikasi guru.

Tidak semua guru beruntung mendapatkan panggilan tersebut. Bagi sebagian besar guru, proses panjang menunggu ASN dan PPG adalah perjalanan yang penuh ketidakpastian. 

Ada yang berjuang dengan semangat tak kenal lelah, namun akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kesempatan tidak pernah datang. Meski telah berdoa dan berusaha. Ini adalah kenyataan pahit yang dialami oleh banyak guru di negeri ini.

PPG sendiri merupakan program yang memberikan sertifikasi kepada guru, menandakan mereka telah memenuhi standar profesional. Sertifikasi ini tidak hanya penting bagi pengakuan kompetensi, tetapi juga berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan. Namun, ketika usia sudah memasuki masa senja, kesempatan untuk mengikuti PPG semakin sempit.

Saya mengenal seorang rekan guru yang alhamdulillah akhirnya mendapatkan panggilan PPG di usianya yang sudah memasuki masa jelang pensiun. Dengan hanya sisa satu tahun masa kerja, beliau memilih untuk tidak mengambil kesempatan tersebut. 

Bukannya tanpa alasan, melainkan karena beliau merasa tidak lagi sanggup mengikuti semua tahapan PPG yang sangat menuntut waktu dan tenaga.

Keputusan untuk tidak mengikuti PPG tentu bukan hal yang mudah. Di satu sisi, ada harapan besar untuk bisa mendapatkan sertifikasi, tetapi di sisi lain, realitas fisik dan mental yang tidak lagi prima membuatnya terpaksa merelakan kuota tersebut untuk guru lain. 

Sikap bijaksana ini menunjukkan betapa para guru memang memiliki jiwa besar dan kemampuan untuk menerima kenyataan, meski pahit.

Dedikasi guru sambil menanti
Dedikasi guru sambil menanti "panggilan" hingga masa senja dan hampir pensiun. | KOMPAS/SUPRIYANTO

Pengorbanan seperti ini bukanlah hal yang langka di dunia pendidikan. Banyak guru yang akhirnya memilih mundur dari kesempatan yang sudah lama dinantikan, hanya karena usia yang tidak lagi memungkinkan. 

Situasi ini seharusnya mengundang keprihatinan banyak pihak, karena di satu sisi kebutuhan akan sertifikasi sangat mendesak, sementara di sisi lain tidak semua guru memiliki kesempatan yang sama.

Dalam PPG, guru harus menjalani berbagai tahap yang cukup menantang, mulai dari tes kompetensi hingga pelatihan intensif. Proses ini menuntut komitmen yang luar biasa dan hanya mereka yang memiliki persiapan tingkat tinggi yang bisa melaluinya. 

Namun, meski telah berusaha dan berdoa tidak pernah putus, nasib kadang tidak berpihak dan kesempatan tersebut tidak selalu datang kepada mereka yang paling berhak.

Realitas ini menimbulkan dilema tersendiri bagi para guru. Mereka yang sudah mengabdikan puluhan tahun hidupnya di dunia pendidikan seringkali dirasa bahwa mereka sudah layak mendapatkan sertifikasi. 

Namun, sistem yang ada tidak selalu memberikan keadilan dan kesempatan untuk mengikuti PPG karena lebih sering jatuh kepada mereka yang lebih muda dan mudah dalam bergerak.

Di tengah ketidakpastian ini, guru tetap berpegang teguh pada panggilan jiwa. Guru tetap mengajar dengan penuh semangat, meski mungkin pengakuan atau panggilan yang mereka harapkan itu tidak pernah datang. 

Bagi mereka, mengajar adalah tugas mulia yang harus dijalankan dengan tulus, tanpa terjebak memikirkan imbalan yang didapatkan.

Harapan untuk bisa menjadi ASN dan mendapatkan sertifikasi tidak pernah benar-benar hilang. Para guru terus berdoa dan berusaha, meski mereka tahu bahwa usia mereka semakin menua. 

Ada rasa ikhlas dalam hati, tetapi ada juga rasa kecewa yang sulit disembunyikan. Para pendidik hanya berharap bahwa suatu saat, sistem pendidikan di negeri ini akan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua guru. Tanpa syarat yang hanya terkesan memberat-beratkan.

Keprihatinan terhadap kondisi ini juga dirasakan oleh para rekan guru yang lebih muda. Kami melihat bagaimana guru-guru senior terpaksa melewatkan kesempatan yang sudah lama dinantikan, hanya karena usia yang tidak lagi mendukung. 

Kondisi ini seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adil perlu segera diwujudkan.

Ada banyak cerita tentang guru-guru yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya, tetapi pada akhirnya harus pensiun tanpa mendapatkan pengakuan formal maupun sertifikasi. 

Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, yang memberikan segalanya untuk pendidikan anak-anak bangsa.

Kita seringkali lupa bahwa di balik profesi guru yang tampak sederhana, ada begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan. 

Mereka bukan hanya mendidik dan mengajar, tetapi juga berjuang untuk masa depan yang lebih baik, baik bagi anak didik mereka maupun bagi diri mereka sendiri. Namun, tidak semua perjuangan mereka diakui.

Dengan kondisi ini, kita harus mempertanyakan sistem yang ada. Mengapa sistem yang ada tidak lebih fleksibel dan inklusif. Sehingga seharusnya semua guru, tanpa memandang usia, bisa mendapatkan kesempatan yang sama.

Sistem pendidikan yang lebih adil dan inklusif harus menjadi prioritas pemerintahan baru di era Prabowo-Gibran. Tidak boleh ada lagi guru yang harus merelakan kesempatan hanya karena usia. Semua guru muda dan guru senior, mesti memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengakuan formal atas dedikasi.

Harapan terbesar para guru bukan hanya kesejahteraan finansial, tetapi juga pengakuan atas kerja keras dan dedikasi mereka. Mereka ingin diakui sebagai profesional, sebagai pendidik yang telah memberikan segalanya untuk masa depan bangsa ini. 

Ketika sistem yang ada tidak memberikan kesempatan yang adil, guru-guru ini hanya bisa pasrah dan tetap menjalani tanggung jawab dengan penuh keikhlasan. 

Mungkin sang guru tidak akan pernah mendapatkan sertifikasi, tetapi mereka tetap akan menjadi guru yang penuh dedikasi. Karena bagi mereka, mengajar adalah panggilan yang tak tergantikan.

Sejatinya, pengabdian seorang guru tidak bisa diukur hanya dari sertifikasi atau status ASN. Pengabdian guru jauh lebih dalam dari sekadar pengakuan formal. Adalah pahlawan pendidikan, yang setiap hari memberikan segalanya untuk masa depan anak-anak bangsa.

Panggilan jiwa lebih kuat dari apapun. Meski tidak mendapatkan sertifikasi atau status ASN, guru akan terus mengajar dengan sepenuh hati. Dan itulah yang membuat guru istimewa. Sosok guru sejati, yang tetap berjuang meski dunia tidak selalu adil. Benar kan?

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun