Dalam dunia pendidikan, guru sebagai pilar penting yang memegang tanggung jawab besar untuk mencerdaskan generasi bangsa. Panggilan hati yang dimiliki seorang guru adalah kekuatan luar biasa yang menuntun mereka dalam menjalankan tugas mengajar dan mendidik, meski kondisi finansial dan sosial seringkali jauh dari kata memadai. Ketika orang lain mungkin mengeluh soal gaji, para guru memilih untuk bertahan, bersikap ikhlas, dan berdedikasi sepenuh hati. Tidak semua orang sanggup menjalani profesi mulia ini, karena tidak sekadar ilmu yang diberikan, tetapi juga teladan.
Namun, dibalik pengabdian yang tulus, guru juga memiliki mimpi yang mereka nanti dengan harap-harap cemas. Dua hal yang selalu dinantikan oleh para guru adalah panggilan untuk mengikuti tes pengangkatan ASN dan Program Profesi Guru (PPG). Keduanya memberikan harapan besar, baik dalam peningkatan status, kesejahteraan, maupun pengakuan atas dedikasi guru.
Tidak semua guru beruntung mendapatkan panggilan tersebut. Bagi sebagian besar guru, proses panjang menunggu ASN dan PPG adalah perjalanan yang penuh ketidakpastian.Â
Ada yang berjuang dengan semangat tak kenal lelah, namun akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kesempatan tidak pernah datang. Meski telah berdoa dan berusaha. Ini adalah kenyataan pahit yang dialami oleh banyak guru di negeri ini.
PPG sendiri merupakan program yang memberikan sertifikasi kepada guru, menandakan mereka telah memenuhi standar profesional. Sertifikasi ini tidak hanya penting bagi pengakuan kompetensi, tetapi juga berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan. Namun, ketika usia sudah memasuki masa senja, kesempatan untuk mengikuti PPG semakin sempit.
Saya mengenal seorang rekan guru yang alhamdulillah akhirnya mendapatkan panggilan PPG di usianya yang sudah memasuki masa jelang pensiun. Dengan hanya sisa satu tahun masa kerja, beliau memilih untuk tidak mengambil kesempatan tersebut.Â
Bukannya tanpa alasan, melainkan karena beliau merasa tidak lagi sanggup mengikuti semua tahapan PPG yang sangat menuntut waktu dan tenaga.
Keputusan untuk tidak mengikuti PPG tentu bukan hal yang mudah. Di satu sisi, ada harapan besar untuk bisa mendapatkan sertifikasi, tetapi di sisi lain, realitas fisik dan mental yang tidak lagi prima membuatnya terpaksa merelakan kuota tersebut untuk guru lain.Â
Sikap bijaksana ini menunjukkan betapa para guru memang memiliki jiwa besar dan kemampuan untuk menerima kenyataan, meski pahit.
Pengorbanan seperti ini bukanlah hal yang langka di dunia pendidikan. Banyak guru yang akhirnya memilih mundur dari kesempatan yang sudah lama dinantikan, hanya karena usia yang tidak lagi memungkinkan.Â