Menakar Efektivitas Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka, sebuah kurikulum yang namanya mengisyaratkan "kemerdekaan" dalam pembelajaran, diharapkan dapat memberikan fleksibilitas untuk mengembangkan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.Â
Dengan semangat ini, Kurikulum Merdeka berupaya memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi potensi diri tanpa terikat dengan aturan yang kaku. Namun, meski secara konsep terdengar menjanjikan, pengimplementasiannya hingga kini masih menuai berbagai polemik dan tantangan yang tak bisa diabaikan.
Salah satu perubahan besar adalah penghapusan Ujian Nasional (UN), sebuah kebijakan yang bertujuan mengurangi tekanan berlebihan pada siswa. Sayangnya, keputusan ini justru menimbulkan efek yang berlawanan.Â
Banyak pengamat pendidikan menilai bahwa tanpa adanya ujian akhir yang terstandarisasi, gairah belajar siswa seolah menurun. Mereka merasa tidak ada lagi tantangan yang harus ditaklukkan, sehingga semangat belajar pun ikut kendur. Akibatnya, muncul anggapan bahwa lulus sekolah kini menjadi hal yang terlalu mudah, tanpa mempertimbangkan proses belajar yang sesungguhnya.
Juga, kualitas siswa dari segi kemampuan literasi dan numerasi menjadi isu yang tak kalah penting. Beberapa laporan menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia, bahkan di jenjang SD hingga SMP, masih berada pada level yang memprihatinkan.Â
Banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami pertanyaan-pertanyaan sederhana, apalagi jika berkaitan dengan pemikiran kritis. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka. Apakah "privilege" yang diberikan benar-benar dimanfaatkan dengan baik?
Di tengah berbagai kekhawatiran ini, muncul pertanyaan besar mengenai masa depan Kurikulum Merdeka. Apakah kurikulum ini akan terus dipertahankan atau malah kembali berganti. Tergantung pada bagaimana kebijakan pendidikan dievaluasi.Â
Ada pihak yang optimis, melihat Kurikulum Merdeka sebagai kesempatan untuk membangun generasi yang lebih mandiri dan kreatif. Namun, tak sedikit pula yang pesimis dan merasa bahwa kebebasan dalam pembelajaran justru disalahartikan oleh siswa sebagai kelonggaran untuk bermalas-malasan.
Perubahan kurikulum memang bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Namun, terlalu sering berganti kurikulum tanpa adanya evaluasi yang matang justru membuat siswa, guru, dan seluruh ekosistem pendidikan kehilangan arah dan bingung lagi.Â
Maka dari itu, perlu adanya konsistensi dan koordinasi yang baik dalam menerapkan kebijakan pendidikan agar tujuan dari setiap kurikulum bisa tercapai dengan optimal.