Kasus kekerasan di sekolah menjadi isu yang kembali ramai dibicarakan. Tidak hanya terjadi di beberapa wilayah tertentu, fenomena ini sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia, membuat banyak pihak bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menjadi penyebab siswa melakukan tindakan agresif? Apakah lingkungan sosial, tekanan akademis, atau ada hal lainnya yang dapat menjadi pemicunya? Yang jelas, kekerasan ini menciptakan kekhawatiran di antara para guru, orangtua, dan tentunya masyarakat luas.
Melihat kondisi ini, banyak pihak berpendapat bahwa energi berlebih yang dimiliki siswa harus disalurkan ke aktivitas positif. Salah satu opsi yang sering disarankan adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan semacam ini dianggap dapat menjadi ruang bagi siswa untuk mengembangkan minat dan bakat, sekaligus menyalurkan emosi serta energi mereka dalam cara yang lebih produktif dan atau positif.
Di antara berbagai ekstrakurikuler yang ditawarkan, beladiri sering kali dilihat sebagai pilihan yang tepat untuk menahan laju siswa yang rentan melakukan kekerasan.
Ide dasarnya adalah dengan mengajari siswa beladiri, mereka akan mendapatkan disiplin dan rasa tanggung jawab, sehingga bisa lebih mengendalikan diri dan menjauh dari perilaku agresif. Harapannya, para calon pelaku kekerasan bisa "dijinakkan" melalui ini.
Namun, apakah benar sesederhana itu?
Apakah benar bahwa ekstrakurikuler beladiri otomatis akan membuat siswa yang mengikuti kegiatan ini menjadi lebih kalem dan terhindar dari kekerasan?
Faktanya, ada banyak sisi lain tentang hal ini yang perlu kita telaah lebih dalam. Sebab, ekstrakurikuler beladiri tidak serta-merta bisa menghentikan kasus kekerasan di sekolah.
Pengalaman beberapa tahun lalu menunjukkan hal ini. Saya pernah menemui kasus siswa yang terlibat dalam tindak kekerasan, dan ternyata siswa tersebut adalah peserta aktif dari ekstrakurikuler beladiri. Ia memiliki keterampilan beladiri yang mumpuni, namun justru keterampilan ini digunakan untuk seenaknya menunjukkan “kehebatan” pada teman-temannya. Ini menjadi bukti nyata bahwa pelaku kekerasan bisa saja berasal dari mereka yang mengikuti ekstrakurikuler.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Salah satu jawabannya mungkin terletak pada perasaan superior yang muncul setelah menguasai keterampilan beladiri. Siswa yang jago beladiri mungkin merasa lebih kuat, lebih hebat, dan ini bisa mendorongnya untuk menyepelekan teman-teman yang lain.
Rasa “jagoan” ini, tanpa disertai dengan pengendalian diri yang baik, justru bisa berpotensi menciptakan perilaku agresif.
Lalu, apakah ekstrakurikuler beladiri bisa benar-benar menjadi solusi dalam mencegah kekerasan di sekolah?
Terkadang masih tampak samar-samar. Meski beladiri memiliki banyak manfaat, jika tidak diimbangi dengan pendidikan karakter yang baik, kegiatan ini justru bisa menjadi bumerang di kemudian hari.
Yang perlu diingat adalah, beladiri bukan hanya tentang menguasai teknik. Aspek emosional dan mental juga harus menjadi bagian mendasar yang tidak bisa dipisahkan.
Siswa yang mengikuti ekstrakurikuler beladiri perlu diajari cara mengontrol emosi, memahami batasan diri, dan menghargai orang lain. Tanpa hal ini, keterampilan yang mereka miliki bisa berubah menjadi alat untuk “dominasi” secara sepihak.
Sekolah memiliki peran penting dalam memastikan bahwa ekstrakurikuler beladiri diatur dengan baik. Harus ada aturan ketat dan jelas yang memastikan bahwa setiap siswa yang mengikuti kegiatan ini dibekali dengan kemampuan kontrol diri yang mumpuni. Guru atau pelatih beladiri juga harus dipilih dengan hati-hati. Mereka harus memahami betul bahwa peran mereka bukan hanya mengajarkan jurus-jurus beladiri, tetapi juga mendidik karakter siswa/anak didiknya.
Aspek kecerdasan emosional menjadi krusial dalam hal ini. Sejatinya, beladiri tidak hanya mengajarkan cara menghadapi serangan fisik, tetapi juga bagaimana menghadapi emosi sendiri.
Pengendalian diri adalah inti dari beladiri, dan ini harus menjadi fokus utama dalam setiap latihan. Sesi latihan harus mencakup diskusi tentang cara mengelola emosi, menghargai teman, serta pentingnya berempati terhadap orang lain.
Bukan hanya itu, nilai-nilai moral juga harus ditanamkan dalam setiap sesi latihan. Siswa harus diajarkan bahwa kemampuan beladiri bukan untuk menunjukkan kekuatan atau menjadi “jagoan,” melainkan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain.
Tentu saja, tidak semua masalah kekerasan oleh siswa bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan ekstrakurikuler beladiri. Kekerasan di sekolah adalah masalah yang kompleks, dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif.
Semua pihak —guru, siswa, orangtua, hingga masyarakat— harus terlibat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi proses belajar mengajar.
Sekolah harus memberikan perhatian ekstra kepada siswa yang menunjukkan tanda-tanda agresif atau lost control. Pemantauan yang ketat terhadap perilaku siswa yang mengikuti ekstrakurikuler beladiri sangat penting. Jika ada siswa yang menunjukkan kecenderungan menggunakan keterampilan beladirinya untuk hal-hal negatif, sekolah harus segera bertindak. Konseling atau sanksi yang sesuai bisa diberikan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Program pengembangan karakter harus dijadikan prioritas dalam setiap ekstrakurikuler. Tidak hanya untuk beladiri, tetapi untuk semua kegiatan yang melibatkan siswa.
Kita harus memahami bahwa tidak ada solusi tunggal untuk masalah kekerasan di sekolah. Memang, ekstrakurikuler beladiri bisa menjadi bagian dari solusi, tetapi itu saja tidak cukup.
Diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang mencakup pendidikan karakter, kecerdasan emosional, serta pemahaman mendalam tentang pentingnya menghargai hak dan martabat orang lain.
Jika ekstrakurikuler beladiri bisa dikelola dengan baik, dengan aturan yang jelas dan program yang seimbang antara pengembangan fisik dan emosional, maka kita bisa berharap kegiatan ini menjadi salah satu solusi yang efektif dalam menekan angka kekerasan di sekolah. Siswa yang diajari untuk mengendalikan dirinya sendiri dan menghargai orang lain akan memiliki lebih sedikit kecenderungan untuk terlibat dalam kekerasan.
Demikian, kita semua harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung. Dengan upaya bersama, kita bisa menciptakan generasi yang lebih kuat secara fisik, juga cakap secara emosional.
Dengan mengkombinasikan olah fisik dan kecerdasan emosional, diharapkan siswa tidak hanya akan menjadi lebih tangguh untuk menjaga dirinya dari ancaman kekerasan di sekolah, tetapi juga lebih mampu memahami diri mereka sendiri dan orang lain.
Satu lagi cara untuk mencapai keseimbangan ini adalah dengan mengintegrasikan sesi refleksi dalam setiap latihan beladiri. Siswa perlu diajak untuk memahami tujuan dari setiap teknik atau jurus beladiri yang mereka pelajari. dan bagaimana teknik tersebut bukan untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri atau bisa juga untuk melindungi. Hal ini juga perlu disertai dengan pemahaman tentang kapan dan bagaimana menggunakan kemampuan beladiri secara etis dan tepat.
Pengawasan ketat dari pelatih serta guru pendamping juga menjadi elemen penting. Siswa cenderung meniru perilaku pelatih maupun gurunya. Oleh karena itu, pelatih beladiri yang baik harus mampu menanamkan nilai-nilai moral.
Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan orangtua dalam mendukung program ekstrakurikuler ini. Orangtua dapat menjadi mitra penting dalam memantau perkembangan anak, baik secara fisik maupun emosional. Dengan dukungan yang tepat, orangtua bisa membantu mengarahkan energi anak mereka ke hal-hal yang lebih positif dan produktif di luar jam sekolah.
Dengan adanya pendekatan holistik ini, diharapkan siswa yang berpartisipasi dalam ekstrakurikuler beladiri akan menjadi individu yang lebih seimbang. Mereka tidak hanya akan memiliki dasar kekuatan untuk menghentikan kekerasan, tetapi juga mental yang tangguh dan jiwa yang penuh dengan rasa empati.
Ini adalah kombinasi yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang harmonis dan bebas dari kekerasan.
Ya, tanggungjawab menciptakan generasi yang lebih baik bukan hanya ada di pundak sekolah, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Diperlukan sinergi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan luar untuk memastikan bahwa siswa tumbuh dalam atmosfer yang mendukung pengembangan karakter yang baik.
Dengan komitmen bersama, kita bisa berharap bahwa kekerasan di sekolah akan berkurang secara signifikan. Generasi muda akan kuat secara fisik tahan banting dari ancaman kekerasan, tetapi juga bijaksana dalam mengambil tindakan.
Maka akan menjadi agen perubahan yang positif di masa depan. Aamiin..
** Literasi tambahan: Siswa Belajar Bela Diri tapi Memukul Teman Perempuan, Bagaimana Menanganinya?
https://www.kompasiana.com/akbarisation/62f130dfa51c6f52001423e2/studi-kasus-siswa-ikut-ekstakurikuler-bela-diri-tapi-memukul-teman-perempuan?page=2&page_images=2
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H