Setiap hari, guru dihadapkan pada godaan-godaan finansial yang datang dari berbagai arah. Dalam sepekan ini saja, sudah ada tiga penawaran cicilan yang mampir ke sekolah.
Ada dari penjual karpet tebal yang menawarkan cicilan 10 bulan tanpa bunga, hingga pihak bank yang menawarkan pembuatan kartu kredit secara gratis tanpa biaya administrasi dengan iming-iming diskon dan promo menarik.Â
Penawaran ini tampak menggiurkan, apalagi ketika barang yang ditawarkan tergolong kebutuhan primer atau sekunder yang sulit diperoleh dengan cara tunai.Â
Bagi banyak guru, berutang dan mencicil barang melalui gaji bulanan tampak seperti "tradisi". Mereka terbiasa melakukannya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan pengeluaran besar dalam satu waktu.Â
Bahkan, hingga masa pensiun pun, tawaran pinjaman dana dari bank untuk modal usaha juga silih berganti bermunculan, seolah menegaskan bahwa hidup dengan utang dan kredit adalah bagian dari kehidupan guru.Â
Nah, tanpa pengelolaan yang bijak, utang ini bisa menjadi beban yang terus menghantui, bahkan hingga purnabakti.
Tawaran kredit atau cicilan tanpa bunga kerap terlihat sebagai solusi yang sempurna, tetapi perlu diingat bahwa tidak semua hutang itu baik. Ada utang yang produktif, yaitu utang yang bisa meningkatkan kualitas hidup atau mendukung perencanaan jangka panjang, seperti kredit rumah atau modal usaha.Â
Namun, jika utang hanya untuk kebutuhan konsumtif semata, guru perlu berhati-hati. Ketika jumlah utang menumpuk tanpa diimbangi kemampuan melunasi, beban finansial yang terus meningkat bisa membuat guru terjerat dalam siklus utang yang sulit diakhiri.
Mengelola keuangan dengan bijak adalah kunci agar guru terhindar dari jeratan utang yang berlebihan. Sebelum memutuskan untuk mengambil cicilan, guru harus menimbang dengan matang apakah barang atau jasa tersebut benar-benar diperlukan, atau hanya dorongan sesaat.Â
Selain itu, penting juga untuk menghitung kembali penghasilan bulanan, memprioritaskan kebutuhan dasar, dan memastikan bahwa cicilan yang diambil tidak melebihi batas kemampuan pembayaran.Â