Di tengah dinamika politik Indonesia, fenomena pelantikan anggota DPRD Kota Pekanbaru periode 2024-2029 kembali menarik perhatian publik.
Kali ini, yang menjadi sorotan adalah pasangan ayah-anak yang secara bersamaan dilantik sebagai anggota dewan. H. Fathullah, SH, MH, mewakili Daerah Pemilihan (Dapil) 3 Tenayan Raya - Kulim, menggantikan posisi almarhum Heri Setiawan, sementara putranya, Muhammad Zahirsyah, yang lahir pada tahun 2002, menjadi anggota DPRD termuda dari Dapil I (Sukajadi, Pekanbaru Kota, Limapuluh).
Menariknya, Zahirsyah yang merupakan seorang mahasiswa Fisipol tingkat akhir di Universitas Riau berhasil menjadi wakil rakyat di usia yang sangat muda.Â
Ketika banyak rekan sebayanya mahasiswa lain mungkin harus berjuang turun ke jalan menyuarakan aspirasi. Dia sudah berada di posisi strategis, berkesempatan langsung mendengarkan dan menyalurkan suara rakyat melalui mekanisme formal dalam sistem demokrasi.Â
Fenomena ini mengundang diskusi, tidak hanya soal representasi politik, tetapi juga tentang seberapa siap generasi muda untuk mengambil peran besar dalam menentukan kebijakan publik.
Fenomena ini semakin menggugah perhatian ketika kita melihat tren serupa di tingkat yang lebih tinggi, dimana anak-anak dari keluarga politisi senior turut melangkah ke panggung politik.Â
Di tingkat nasional, misalnya, anak presiden terpilih sebagai wakil presiden dan saudaranya dipersiapkan untuk calon gubernur.Â
Hal ini menunjukkan bahwa jalur politik bagi beberapa individu tampaknya lebih terbuka karena latar belakang keluarga, sesuatu yang mungkin tidak bisa diakses oleh semua kalangan.
Namun, di balik fenomena ini, muncul juga pertanyaan penting. Apakah peran mereka sebagai wakil rakyat murni didasari oleh kemampuan dan aspirasi, atau sekadar melanjutkan dinasti politik?Â
Di satu sisi, menjadi wakil rakyat adalah tanggung jawab besar yang membutuhkan pengetahuan, integritas, dan keberanian.