Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | akbarpitopang.kompasianer@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Orangtua "Tone Deaf" Menjadi Penghambat Pendidikan dan Proses Belajar Siswa

9 September 2024   11:36 Diperbarui: 9 September 2024   15:02 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di masa kini ramai orangtua sibuk medsos, tone deaf terhadap anak, guru, dan sekolah. (via pixabay)

Di era yang semakin kompleks dan serba terbuka ini, salah satu perilaku yang kerap menjadi perhatian serius adalah sikap tone deaf. Secara sederhana, tone deaf mengacu pada ketidakpekaan terhadap situasi sosial, emosi, dan konteks di sekitarnya. Dalam dunia pendidikan, sikap ini bisa sangat merugikan, tidak hanya bagi siswa, tapi juga bagi seluruh ekosistem pendidikan, mulai dari guru, orangtua, hingga warga sekolah. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami dampak negatif tone deaf dan menghindarinya demi menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan inklusif.

Sikap tone deaf dalam dunia pendidikan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah ketidakmampuan guru atau pendidik untuk memahami konteks sosial, emosional, dan budaya atau latar belakang dari para siswa. 

Misalnya, ketika seorang guru tidak menyadari atau tidak peduli dengan tantangan pribadi yang dihadapi seorang siswa, seperti kondisi keluarga yang sulit, hal ini bisa memunculkan rasa keterasingan pada siswa tersebut. 

Sikap seperti ini jelas memperlebar jurang antara pendidik dan peserta didik, menghambat proses pembelajaran yang seharusnya penuh dukungan dan empati.

Lain dari itu, bagaimana sekolah merespons isu-isu sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini, institusi pendidikan harus mampu beradaptasi dan mendidik siswa tentang isu-isu penting seperti keadilan sosial, inklusi, dan keberagaman. 

Namun, bila sekolah atau guru menunjukkan sikap tone deaf terhadap isu-isu ini, mereka tidak hanya gagal memberikan pendidikan yang relevan, tapi juga kehilangan kesempatan untuk membangun generasi yang lebih peka sosial.

Maka dari itu, menghindari sikap tone deaf dalam dunia pendidikan berarti menciptakan lingkungan yang inklusif, penuh empati, dan sadar sosial. 

Ketika sekolah, guru, dan siswa sama-sama berusaha memahami dan menghargai satu sama lain, dunia pendidikan tidak hanya menjadi tempat untuk belajar secara akademis, tetapi juga menjadi wadah pembentukan karakter dan kepekaan sosial yang lebih baik.

Kita bisa menghindari sikap tone deaf dalam pendidikan dan memastikan bahwa setiap siswa, tanpa terkecuali, merasa didukung dan dihargai dalam perjalanan belajarnya.

Di masa kini ramai orangtua sibuk medsos, tone deaf terhadap anak, guru, dan sekolah. (via pixabay)
Di masa kini ramai orangtua sibuk medsos, tone deaf terhadap anak, guru, dan sekolah. (via pixabay)

Bagaimana Sikap "Tone Deaf" Orangtua terhadap Proses Pendidikan

Para orangtua/wali murid bisa saja terjebak dalam sikap tone deaf. Ketidakpekaan seperti ini juga bisa memperburuk pengalaman belajar siswa.

Di tengah dinamika dunia pendidikan yang semakin kompleks, peran orangtua sangat krusial. Namun, satu hal yang sering tidak disadari adalah munculnya sikap tone deaf dari orangtua yang dapat mempengaruhi perjalanan pendidikan anak mereka. 

Tone deaf dalam konteks ini merujuk pada ketidakpekaan orangtua terhadap kondisi, kebutuhan, serta tantangan yang dihadapi anak di sekolah. Jika dibiarkan, bisa menghambat perkembangan anak secara akademis maupun emosional.

Salah satu bentuk tone deaf yang sering terjadi adalah ketika orangtua terlalu fokus pada ekspektasi tinggi terhadap prestasi akademik, tanpa memahami kondisi atau kemampuan anak. 

Seperti halnya menuntut nilai sempurna di setiap mata pelajaran tanpa mempertimbangkan minat, bakat, atau tekanan psikologis yang dirasakan oleh anak. orangtua yang tidak peka terhadap tekanan ini bisa membuat anak merasa terbebani, cemas, dan bahkan kehilangan semangat belajar.

Lebih lanjut, sikap tone deaf orangtua juga bisa muncul ketika mereka tidak menghargai peran guru dalam proses pendidikan. 

Ada kalanya orangtua terlalu cepat mengkritik metode pengajaran atau disiplin yang diterapkan di sekolah, tanpa mencari tahu lebih dulu alasan di baliknya. 

Sikap ini bisa menciptakan ketegangan antara orangtua dan guru, yang akhirnya merugikan anak karena komunikasi yang tidak efektif dan hilangnya rasa saling percaya.

Orangtua yang tone deaf juga sering kali tidak menyadari pentingnya dukungan emosional dalam proses belajar anak. Banyak yang hanya berfokus pada aspek akademis, sementara kebutuhan emosional anak sering terabaikan. 

Padahal, anak yang merasa didengar dan dihargai emosinya, cenderung lebih termotivasi untuk belajar dan lebih kuat dalam menghadapi tantangan di sekolah. Ketidakpekaan orangtua dalam hal ini bisa membuat anak merasa terisolasi atau kurang didukung secara emosional.

Tidak hanya dalam hubungan langsung dengan anak, sikap tone deaf juga bisa terlihat dalam interaksi orangtua dengan sekolah dan atau para guru. Beberapa orangtua mungkin tidak menyadari pentingnya partisipasi aktif dalam mendukung keberhasilan proses belajar anak di sekolah. Saya pernah menemukan kasus tone deaf dari orangtua yang terlalu sibuk dengan media sosialnya seperti TikTok. Sehingga menjadi cenderung tidak peduli dengan anaknya. Bahkan anak dibiarkan berjalan sepulang sekolah dalam kondisi cuaca panas terik. Saya pernah juga mendapati siswa berjualan dengan alasan disuruh nenek. Padahal bisa saja karena jajan yang diberikan orangtuanya tidak memadai.

Sikap tone deaf orangtua terhadap hubungannya dengan proses belajar dan atau perkembangan akademik dan akhlak anak-anaknya di sekolah memang akan sangat merepotkan.

Dengan bersikap pasif atau tidak terlibat, orangtua melewatkan kesempatan untuk benar-benar memahami perkembangan anaknya dan berkontribusi pada perbaikan sistem pendidikan di sekolah.

Ketika orangtua bersikap tone deaf, maka sikap ini tidak hanya membuat anak merasa tidak dipedulikan, tetapi juga bisa menurunkan rasa percaya diri dan motivasi anak dalam menjalani pendidikan.

Ilustrasi orangtua berusaha menghindari tone deaf dan mendukung proses pendidikan anak. (via grid.id)
Ilustrasi orangtua berusaha menghindari tone deaf dan mendukung proses pendidikan anak. (via grid.id)

Solusi Agar Orangtua Menghindari Tone Deaf 

Untuk menghindari sikap tone deaf, salah satu kunci utamanya adalah meningkatkan empati. Empati orangtua kepada guru akan memungkinkan pendidik untuk lebih memahami kebutuhan dan perasaan orangtua dan siswa, sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih suportif dan inklusif. 

Orangtua harus memberikan perhatian kepada guru dan pihak sekolah yang telah meluangkan waktu untuk mendengarkan, mengobservasi, dan memahami siswa mereka, baik dalam aspek akademis maupun non-akademis.

Untuk menghindari sikap tone deaf, orangtua perlu meningkatkan kesadaran sosial dan rasa saling mendukung. Ini berarti meluangkan waktu untuk mendengarkan anak, memahami apa yang mereka rasakan, dan memberikan dukungan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anaknya. 

Orangtua yang peka dan peduli akan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat, dimana anak merasa dihargai dan didukung. Bukan hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam perkembangan emosional dan sosial anak-anak.

Selain empati, penting juga untuk membangun budaya komunikasi terbuka di lingkungan pendidikan. 

Guru dan siswa harus merasa nyaman berbicara satu sama lain, saling memberikan umpan balik yang konstruktif tanpa takut merasa dihakimi. Dengan begitu, potensi terjadinya sikap tone deaf bisa diminimalisir karena semua pihak merasa didengar dan dihargai.

Begitu juga penting bagi orangtua untuk membangun komunikasi yang baik dengan pihak sekolah. Ini bisa dimulai dengan bersikap terbuka dalam berdiskusi dengan guru dan mengikuti perkembangan pendidikan anak dengan lebih aktif. 

Dengan begitu, orangtua dan sekolah bisa bekerjasama dalam mendukung proses belajar anak secara lebih efektif dan holistik.

Yuk, menghindari tone deaf sebagai orangtua dalam dunia pendidikan berarti memahami kondisi setiap anak begitu unik dengan kebutuhan, minat, dan tantangan mereka sendiri. Dengan menjadi orangtua yang peka dan empatik, itu tidak hanya membantu anak meraih kesuksesan akademik, tetapi juga membangun karakter yang lebih kuat dan siap menghadapi tantangan hidup.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun