Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

KDRT Bukan Aib, Jangan Biarkan Menjadi "Bom Waktu"

20 Agustus 2024   10:54 Diperbarui: 20 Agustus 2024   14:54 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | KDRT Bukan Aib, Jangan Biarkan Menjadi "Bom Waktu". (Kompas.com)

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali menyedot perhatian publik setelah seorang selebgram dan bayinya menjadi korban. Fenomena ini mengingatkan kita betapa rapuhnya hubungan pernikahan yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan berbagi kasih sayang, bisa berbalik menjadi tempat yang penuh ketakutan dan trauma. Tak peduli seberapa besar atau kecil masalah yang dihadapi, KDRT bukanlah solusi. Melainkan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apa pun.

KDRT tidak hanya menyakiti secara fisik, tetapi lebih jauh dari itu, menanamkan trauma mendalam yang bisa menghancurkan mental seseorang. Luka fisik mungkin sembuh dengan cepat, namun luka batin, apalagi jika disaksikan oleh anak-anak, bisa berdampak seumur hidup. 

Bayi atau anak-anak yang menyaksikan KDRT dapat berisiko mengalami gangguan perkembangan emosi dan perilaku. Mereka bisa tumbuh dengan rasa tidak aman dan trauma yang mendalam.

Ada persepsi keliru yang sering kali muncul, bahwa tindakan kekerasan terjadi karena tekanan atau amarah yang meluap akibat masalah yang tak tertanggulangi. Padahal, kekerasan bukanlah reaksi wajar, melainkan manifestasi dari ketidakmampuan mengelola emosi dengan sehat. 

Ketika satu pihak memilih kekerasan, ia telah gagal dalam menjalankan peran sebagai pasangan dan atau orangtua yang seharusnya memberikan keteladanan serta rasa aman dalam keluarga.

Ilustrasi korban kekerasan. Kekerasan dalam hubungan, toxic relationship, hubungan beracun, relationship abuse. (SHUTTERSTOCK via Kompas.com)
Ilustrasi korban kekerasan. Kekerasan dalam hubungan, toxic relationship, hubungan beracun, relationship abuse. (SHUTTERSTOCK via Kompas.com)

Terjebak dalam Stigma KDRT

Dalam banyak kasus, korban KDRT seringkali terjebak dalam dilema yang kompleks. Ketakutan akan respons sosial, tekanan keluarga maupun pandangan masyarakat, atau bahkan kekhawatiran tentang masa depan anak-anak membuat banyak korban memilih diam dan bertahan dalam situasi yang penuh penderitaan. 

Namun, diam bukanlah solusi. Karena kekerasan yang dibiarkan akan terus berlanjut dan semakin membahayakan. 

Penting bagi korban untuk mendapatkan dukungan, baik dari keluarga, teman, maupun lembaga bantuan hukum.

Sayangnya, masih ada stigma yang menganggap bahwa KDRT adalah masalah internal rumah tangga yang tidak pantas diumbar lalu dicampuri oleh pihak luar. Padahal, ketika terjadi kekerasan, hal tersebut sudah menjadi masalah sosial yang akan berdampak luas. 

Dengan lebih terbuka membicarakan isu KDRT, maka masyarakat bisa lebih peka dan memberikan dukungan yang diperlukan. Bukan justru menutup mata atau menyalahkan korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun