Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Forgive But Not Forget? Saatnya "Reset Emosi" Menuju Kebahagiaan Hakiki

11 Agustus 2024   00:52 Diperbarui: 11 Agustus 2024   01:01 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memaafkan. (pexels.com/Thirdman)

Memaafkan adalah salah satu tindakan paling mulia yang bisa dilakukan oleh seseorang. Kata "maaf" seringkali dianggap sebagai jurus untuk menyelesaikan konflik dan berharap semua hal kembali seperti semula. Namun, realitanya tidaklah sesederhana itu. Memaafkan tidak selalu berarti melupakan, apalagi menghapus perasaan terluka yang sempat ada. Di balik kata "maaf" yang sederhana, tersimpan perjalanan panjang menuju penyembuhan emosi yang tidak bisa diabaikan.

Dalam ajaran Islam, memaafkan dianggap sebagai tindakan mulia yang membawa kedamaian, baik bagi pemberi maupun penerima maaf. Allah SWT adalah Maha Pemaaf (Al-Ghofur). Allah SWT saja pemaaf, apakah manusia tidak demikian? Memang, proses memaafkan bagi manusia itu tidaklah selalu semudah yang dibayangkan. 

Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh seseorang; waktu, kesadaran diri, dan keikhlasan. 

Memaafkan bukanlah hanya sekedar sebuah tombol yang dapat dipencet untuk mereset segala sesuatu. Lebih dari itu, memaafkan adalah proses yang kompleks dan sangat personal.

Seseorang yang mampu memaafkan menunjukkan kedewasaan dan kematangan emosional. Namun, menjadi seorang pemaaf juga berarti memahami bahwa memaafkan bukanlah sinonim dari melupakan apalagi pura-pura tidak pernah terjadi. 

Rasa yang telah berubah mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula, dan itu adalah hal yang harus diterima dengan lapang dada.

Tidak jarang, luka emosional yang ditinggalkan oleh sebuah kesalahan bisa bertahan lebih lama daripada yang diharapkan. 

Hal ini karena luka tersebut berkaitan erat dengan rasa percaya. Ketika kepercayaan itu dirusak, maka dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk memulihkannya. Jadi, meskipun "maaf" telah diucapkan, hubungan tersebut mungkin tidak kembali ke keadaan sebelumnya.

Selain itu, memaafkan juga memerlukan pemahaman mendalam tentang diri sendiri. Apakah kita benar-benar mampu memaafkan dari hati? Atau kita hanya memaafkan secara lisan? Ini adalah pertanyaan yang seringkali harus kita jawab sendiri. 

Memahami perasaan dan ekspektasi diri sendiri adalah kunci dalam proses memaafkan, karena hal itu akan menentukan seberapa tulus kita dalam memberi maaf.

Jadi, saat kita mengucapkan kata "maaf", ingatlah bahwa itu bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari proses pemulihan. Sebuah proses yang memerlukan waktu, kesabaran, dan pemahaman mendalam tentang arti memaafkan yang sebenarnya.

ilustrasi memaafkan. (pexels.com/Thirdman)
ilustrasi memaafkan. (pexels.com/Thirdman)

Sebuah Renungan: Memaafkan Lalu Melupakan Karena Manusia Tak Sempurna

Batin kita sering terjebak dalam dilema antara memaafkan dan melupakan. Memaafkan adalah sebuah tindakan mulia yang memungkinkan kita untuk melanjutkan hidup tanpa beban dendam. Namun, melupakan, itu adalah cerita lain. 

Tidak ada satu pun di antara kita yang sepenuhnya siap menghadapi rasa sakit, kekecewaan, atau disakiti. Wajar saja, karena manusia secara alami menghindari penderitaan. 

Tetapi dalam perjalanan hidup ini, rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan yang pada akhirnya harus kita terima dengan pikiran dan hati terbuka.

Ketika kita disakiti, rasa sakit yang tertinggal bisa menjadi luka yang sulit disembuhkan. Mengingatkan kita pada ketidaknyamanan yang pernah terjadi. Ini adalah sifat dasar dari ingatan emosional yang tertanam dalam diri manusia.

Ada kalanya tanpa sengaja, kita menjadi pihak yang menyakiti orang lain. Ini adalah bagian dari dinamika hubungan antar manusia yang tidak bisa dihindari. Ketidaksempurnaan kita sebagai manusia membuat kita rentan untuk melakukan kesalahan. Dan ketika itu terjadi, kita berharap orang lain bisa memaafkan kita.

Seperti halnya kita yang kesulitan melupakan luka yang telah diterima, orang lain pun mungkin merasakan hal yang sama terhadap kesalahan yang kita lakukan. Proses memaafkan memang penting, tetapi mengharapkan mereka melupakan sepenuhnya memerlukan pemahaman mendalam dari kedua belah pihak.

Jadi, ketika kita memohon maaf, penting untuk menyadari bahwa maaf yang diberikan tidak serta merta menghapus jejak luka yang ada. Sebaliknya, itu adalah langkah pertama dalam membangun kembali kepercayaan yang telah goyah. 

Berdamai dengan kenyataan bahwa kesalahan dan rasa sakit adalah bagian dari perjalanan manusia, yang akan terus mengajarkan kita tentang nilai-nilai kehidupan dan pentingnya saling menghargai.

Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)

Memaafkan Lalu Melupakan, Proses yang Dipandu oleh Waktu

Memaafkan dan melupakan, dua kata ini sering dianggap sebagai satu paket. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Kita bisa memaafkan seseorang, namun butuh waktu untuk benar-benar melupakan apa yang telah terjadi. 

Ketika kita merasa belum bisa melupakan, itu bukan berarti kita gagal memaafkan. Itu adalah respons alami manusia ketika terguncang oleh rasa sakit atau kekecewaan.

Seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa melupakan adalah tahap berikutnya setelah memaafkan. Begitu rasa sakit itu mulai mereda dan emosi mulai stabil, perlahan-lahan kita memasuki babak baru dalam hidup kita. 

Ini adalah fase dimana kita mulai melepaskan ingatan-ingatan buruk dan membuka diri untuk pengalaman baru. Melupakan adalah hasil dari ketenangan batin yang datang setelah proses penyembuhan.

Tidak perlu terburu-buru dalam proses ini. Biarkan waktu yang bekerja untuk kita. Semakin kita memaksa diri untuk melupakan, semakin sulit proses itu bisa terwujud. Sebaliknya, dengan membiarkan waktu bergulir, kita akan mendapati bahwa ingatan tentang kesalahan orang lain akan semakin pudar. 

Ingatan kita akan diisi oleh hal-hal baru yang lebih positif dan menyenangkan. Dan secara alami menggantikan tempat dari kenangan-kenangan lama yang menyakitkan.

Sejatinya, tidak ada seorangpun yang ingin selamanya terjebak dalam ingatan tentang kesalahan orang lain. Hidup ini terlalu singkat untuk terus-menerus mengulang kembali luka lama. 

Kita punya begitu banyak hal yang bisa dilakukan, begitu banyak momen bahagia yang bisa dihadirkan. 

Perlahan tapi pasti, kesalahan yang pernah ada akan menjadi bagian dari masa lalu yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kita.

Memang benar, melupakan adalah soal waktu. Waktu adalah obat terbaik yang mampu menyembuhkan luka terdalam. 

Bekas luka itu mungkin akan selalu ada, tapi mereka tidak lagi menyakitkan. Mereka menjadi bagian dari perjalanan hidup kita yang memperkaya jiwa.

Biarkan waktu bekerja, dan percayalah bahwa pada akhirnya, kita semua akan mencapai tahap untuk melupakan dan melangkah maju dengan hati yang lebih ringan.

Ilustrasi dari wikimedia commons via islampos.com 
Ilustrasi dari wikimedia commons via islampos.com 

Pelajaran Berharga dari Filosofi "Paku yang Menancap di Kayu"

Memaafkan dan melupakan seringkali diibaratkan seperti paku yang ditancapkan ke kayu atau dinding. Ketika paku itu akhirnya dilepas, yang tersisa adalah bekas yang mencolok, menunjukkan bahwa pernah ada sesuatu yang melukai permukaan itu. 

Begitu juga dengan hati kita. Ketika sebuah kesalahan terjadi, luka mungkin bisa disembuhkan, namun bekasnya seringkali tetap ada. 

Itulah mengapa, meskipun kita sudah memaafkan, melupakan adalah proses yang jauh lebih kompleks dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Bekas yang tertinggal setelah paku dicabut menunjukkan bahwa kerusakan telah terjadi. Untuk memulihkannya, terkadang kita harus mengganti kayu atau dinding itu dengan yang baru. 

Dalam konteks hubungan antar manusia, ini berarti kita perlu melakukan upaya ekstra untuk memperbaiki rasa sakit yang sudah terjadi. 

Memaafkan adalah langkah pertama, namun bekas luka itu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga perasaan orang lain agar tidak terluka lagi di masa-masa yang akan datang.

Hal ini meninggalkan kesan mendalam bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Oleh karena itu, alangkah bijaknya jika kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap kesalahan yang terjadi. 

Kesadaran ini mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertutur kata, karena dampaknya mungkin tidak hanya melukai hati orang lain, tetapi juga menciptakan bekas yang sulit dihapuskan.

Kita sebaiknya berusaha untuk menghindari tindakan yang bisa menyebabkan kerusakan yang fatal pada sebuah hubungan. Baik dalam pertemanan, keluarga, maupun hubungan profesional di tempat kerja.

Penting bagi kita untuk menjaga kepercayaan dan perasaan satu sama lain. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral yang harus kita emban dalam setiap interaksi yang kita lakukan.

Mari kita bersama-sama menghindari sesuatu yang bisa berdampak fatal pada hubungan kita dengan orang lain. Dengan kesadaran dan kehati-hatian, kita bisa membangun hubungan yang lebih kuat dan penuh dengan rasa saling menghargai.

Sehingga tidak ada lagi luka yang perlu disembuhkan, dan tidak ada bekas yang perlu dihapus.

Ilustrasi | pexels.com/AndreaPiacquadio
Ilustrasi | pexels.com/AndreaPiacquadio

Move On dengan Elegan: Memaafkan, Melupakan, dan Melangkah Maju

Selanjutnya, tentang memaafkan dan melupakan, jika kita telah berdamai dengan keadaan dan mencapai fase "bodo amat" maka keduanya bisa menjadi jauh lebih mudah untuk dipertemukan. 

Mengapa? Karena di fase ini, kita menyadari bahwa kesehatan mental dan kebahagiaan diri harus menjadi prioritas utama. 

Menyimpan rasa sakit atau terus-menerus mengingat kesalahan orang lain hanya akan menciptakan "toksik" atau racun emosional dalam diri kita. 

Hingga kapanpun, kita tidak akan menemukan kebahagiaan sejati jika kita tidak siap untuk melupakan.

Saya belajar banyak dari ibunda, seorang wanita tangguh yang kerap menjadi korban perasaan oleh berbagai situasi dan orang-orang di sekitarnya. Meski demikian, ibunda selalu mampu memaafkan dan tidak pernah membiarkan dirinya terjebak dalam kenangan buruk. Beliau memilih untuk tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain, karena baginya, melupakan adalah kunci untuk menjaga kedamaian batin. Dari ibunda, saya belajar bahwa memaafkan tanpa melupakan hanyalah beban yang sebenarnya tidak perlu.

Hari ini, saya sendiri merasakan sakit hati karena perlakuan kurang menyenangkan dari rekan kerja. Pada awalnya, saya merasa kecewa dan kesal, bahkan sempat meluapkan emosi dengan berbicara sendiri seperti orang gila. Tapi setelah itu, saya memilih untuk melupakan semuanya. 

Sadarlah, bahwa terkadang orang lain memang tidak bisa berubah secepat yang kita harapkan, maka tugas kita lah untuk mengatur kebahagiaan diri sendiri dengan cepat. 

Kesalahan yang sama mungkin akan terus diulang oleh orang lain, dan itu bukan lagi urusan kita. Biarkan Allah SWT yang membalas atau menuntun mereka untuk berubah. 

Tugas kita adalah menjaga hati tetap suci, move on, tersenyum lagi, dan melupakan semuanya. 

Dengan begitu, memaafkan tidak hanya menjadi tindakan yang mulia, tetapi juga menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi diri kita sendiri. Kita menjadi lebih bebas, lebih damai, dan lebih bahagia.

Memaafkan lalu melupakan adalah tentang menciptakan ruang bagi diri kita sendiri untuk tumbuh dan berkembang tanpa beban masa lalu. Ketika kita memilih untuk melupakan, kita bukan hanya melepaskan diri dari rasa sakit, tetapi juga membuka pintu bagi kebahagiaan yang lebih besar yang telah menanti kita. 

Dan itulah esensi dari memaafkan ---memahami, menerima, dan melangkah maju dengan hati yang lebih bijaksana.

Jika kita sudah menyadari betapa sulitnya melupakan, maka kita juga akan lebih menghargai pentingnya menjaga hubungan agar tetap harmonis. Memaafkan memang mulia, tetapi mencegah terjadinya kesalahan yang bisa melukai adalah langkah yang jauh lebih mulia. Insya Allah.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun