Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kurban dan Transparansi: Menyoal Fenomena "Korupsi" Daging Kurban

18 Juni 2024   09:22 Diperbarui: 18 Juni 2024   19:21 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah, Idul Adha kembali hadir membawa keceriaan dan semangat berbagi. Salah satu momen yang paling dinanti adalah penyembelihan hewan kurban, sebuah ibadah sosial yang penuh makna. Melalui kurban, kita membantu sesama yang membutuhkan dan bersama-sama merasakan nikmatnya daging kurban. Ini adalah wujud nyata dari solidaritas dan kepedulian dalam masyarakat, sebuah nilai luhur yang diajarkan oleh agama Islam.

Penting untuk diingat, penyembelihan hewan kurban harus benar-benar sesuai dengan syariat Islam. Setiap tahap, mulai dari niat hingga pembagian daging, harus mengikuti ketentuan Islam agar ibadah ini diterima dan membawa berkah. 

Kesalahan sekecil apapun bisa membuat ibadah ini cacat di mata agama. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang tata cara penyembelihan dan pembagian kurban sangatlah penting bagi kita semua.

Namun, kenyataan di lapangan seringkali berbeda. Masih banyak oknum yang menyelewengkan amanah ini. Sebelumnya, sudah disampaikan terkait penyalahgunaan dana kurban. Dana yang sudah dikumpulkan dari jamaah seharusnya digunakan untuk membeli hewan kurban yang layak, tetapi malah dibelikan hewan yang lebih murah. Sisa uangnya masuk ke kantong pribadi oknum yang tidak bertanggung jawab. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan umat dan mencederai nilai-nilai kurban itu sendiri.

Masalah tidak berhenti pada proses pembelian hewan kurban saja. Dalam praktik pembagian daging kurban, sering kali ditemukan pelanggaran ketentuan syariat. Sebagian oknum tidak mendistribusikan daging kurban dengan adil dan merata. 

Ada yang mengambil bagian lebih besar untuk diri sendiri atau kelompoknya, sementara seharusnya daging tersebut dibagikan kepada yang berhak, termasuk fakir miskin dan masyarakat sekitar. Praktik seperti ini tentu bertentangan dengan esensi kurban sebagai ibadah sosial.

Untuk itu, penting bagi kita semua untuk lebih kritis dan berpartisipasi aktif dalam proses kurban. Pengawasan bersama dan transparansi dalam pengelolaan dana hingga pembagian daging kurban harus diperkuat. 

Sebab, Idul Adha seharusnya menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan memperkuat nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan melaksanakan ibadah kurban sesuai syariat, kita tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga memberdayakan masyarakat dan menebarkan kebahagiaan. 

Kasus penyelewengan dalam pembagian daging kurban

Mengantre daging kurban. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Mengantre daging kurban. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Penyembelihan hewan kurban hingga pendistribusian dagingnya biasanya dilakukan dengan semangat gotong royong, baik di desa maupun di kota. Namun, semangat ini kadang terganjal oleh minimnya pengetahuan agama di antara warga yang ikut berpartisipasi. 

Banyak dari mereka yang menguasai proses pembagian daging kurban, tetapi jarang aktif beribadah di masjid atau mushola. Ironisnya, saat hari penyembelihan hewan kurban, mereka malah terlihat seperti orang yang harus dilibatkan.

Di era digital, media sosial menjadi tempat curhat masyarakat mengenai berbagai hal, termasuk pengalaman buruk mereka dalam proses pembagian daging kurban. Banyak netizen yang berbagi cerita dan komentar tentang ketidaksesuaian yang mereka alami dan amati di kawasan tempat tinggalnya. 

Salah satu masalah yang sering muncul adalah oknum yang menyembunyikan daging sebelum ditimbang dan dibagikan. Praktik ini jelas merugikan, karena membuat distribusi daging kurban menjadi tidak adil dan tidak transparan.

Selain itu, ada cerita tentang kebiasaan di beberapa kampung, dimana panitia seenaknya memutuskan warga yang dianggap mampu tidak layak mendapatkan daging kurban. 

Kupon daging hanya diberikan kepada yang dianggap miskin, menyebabkan daging berlebih yang kemudian dikuasai oleh panitia atau pekerja yang memotong kurban. Ini tentu bertentangan dengan semangat kurban yang seharusnya menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.

Cerita lain yang muncul adalah pengurangan jumlah pembagian daging per orang. Taktik ini dilakukan agar ada lebih banyak daging yang bisa diambil oleh oknum-oknum tertentu. Akibatnya, ada saja yang membawa pulang daging dalam jumlah besar, bahkan menggunakan karung. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan transparansi dalam proses pembagian daging kurban di beberapa tempat.

Ada pula kasus dimana warga atau pengurus menguasai daging sesuka hatinya. Baik warga biasa maupun pengurus terkadang tidak segan-segan mengambil lebih banyak dari yang seharusnya. Tindakan ini jelas mencederai semangat gotong royong dan keadilan dalam pembagian daging kurban, serta merugikan mereka yang lebih membutuhkan. 

Ironisnya, ada juga cerita tentang warga yang tidak kebagian daging meski sudah memiliki kupon. Situasi ini terjadi karena daging sudah habis diserbu oleh warga lain yang mungkin tidak memiliki kupon atau mengambil lebih dari jatahnya. 

Dalam hal ini, saya juga pernah mengalaminya, saya tak kebagian daging lagi padahal dapat kupon dari panitia. Hal ini mencerminkan kurangnya disiplin dan pengaturan yang baik dalam proses distribusi daging kurban.

Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam proses penyembelihan dan distribusi daging kurban. Edukasi tentang syariat kurban dan pentingnya keadilan dalam pembagian harus terus digalakkan. 

Pengawasan yang ketat dan transparansi dalam setiap tahap proses kurban juga harus diperkuat. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa semangat gotong royong dalam Idul Adha benar-benar tercermin dalam praktik yang adil dan sesuai syariat.

Cara pembagian daging kurban menurut syariat

Daging kurban yang siap dibagikan setelah ditimbang dengan adil. (foto Akbar Pitopang)
Daging kurban yang siap dibagikan setelah ditimbang dengan adil. (foto Akbar Pitopang)

Hendaknya pembagian daging dilakukan secara adil dan sesuai ketentuan syariat. Berkurban, dilansir dari laman Muhammadiyah.or.id, merupakan ibadah sebagai ungkapan rasa syukur yang membangun kesadaran dan kepedulian kepada sesama, sebagai realisasi ketakwaan kepada Allah SWT dengan mengambil hikmah dari kisah Nabi Ibrahim a.s dan anaknya Nabi Ismail a.s.

Dengan merujuk kepada ayat-ayat dan hadist, maka orang yang menerima kurban dapat dikelompokkan pada empat, yaitu; 

  • 1) Shohibul qurban; 
  • 2) Orang yang sengsara lagi fakir [QS. al-Hajj: 28]; 
  • 3) Orang yang yang tidak minta-minta (al-Qaani') maupun yang mintaminta (al-Mu'tar) [QS. al-Hajj: 36]; 
  • 4) Orang-orang miskin (HR. Muslim dari Ali).

Sedangkan mengutip laman Badan Amil Zakat Nasional dan NU Online, menyebutkan bahwa daging kurban dibagi untuk yang berkurban, untuk fakir miskin, untuk tetangga dan kerabat (masyarakat biasa).

Sayangnya dalam pembagiannya kerap dikorupsi oleh oknum. Terkadang ada saja yang pulang membawa bagian hewan seperti kaki atau kepala utuh dengan jumlah yang sangat banyak. Padahal yang sebenarnya adalah semua bagian tubuh hewan kurban tetap dibagi-bagi.

Apakah panitia kurban atau pengurus mendapatkan upah atau berhak mengambil tambahan daging di luar jatah yang ditentukan?

Kembali mengutip laman Muhammadiyah.or.id, Ali Ra. ia berkata; Rasulullah saw. telah memerintahkan kepadaku agar membantu dalam pelaksanaan kurban untanya dan agar membagikan kulit dan pakaiannya dan beliau pun memerintahkan kepadaku agar aku tidak memberikan sedikitpun dari hewan kurban kepada jagal. Ia (Ali) berkata: Kami memberikan upah (jagal) dari harta kami." (HR. Abu Dawud).

Partisipasi dalam memotong dan mengurusi daging kurban sering kali disalah artikan oleh beberapa orang sebagai hak untuk mendapatkan tambahan daging, bahkan mengatur pembagian daging sesuka hati. Padahal, dalam ajaran Islam, mereka tidak berhak melakukan hal tersebut. 

Proses penyembelihan dan distribusi daging kurban adalah bentuk gotong royong dan kebersamaan, bukan ajang untuk mencari keuntungan pribadi.

Gotong royong dalam Idul Adha seharusnya dilandasi oleh niat ikhlas dan semangat membantu sesama. Para peserta yang terlibat dalam proses penyembelihan seharusnya memahami bahwa peran mereka adalah untuk memfasilitasi ibadah kurban agar berjalan sesuai syariat, untuk kelancaran (efektifitas dan efesiensi) pelaksanaan kurban, bukan untuk mengambil keuntungan dari daging kurban yang seharusnya didistribusikan kepada yang berhak. 

Jika ada keinginan untuk mendapatkan upah atas kerja keras yang dilakukan dalam proses penyembelihan dan distribusi daging, sebaiknya hal ini dibicarakan terlebih dahulu dengan shohibul qurban (orang yang berkurban). 

Sikap mengambil tambahan daging sebagai bentuk upah tanpa persetujuan shohibul qurban adalah tindakan yang tidak dibenarkan dalam ajaran agama. Hal ini karena daging kurban memiliki alokasi tertentu yang harus diberikan kepada fakir miskin dan masyarakat yang berhak menerima.

Wasana kata

Ilustrasi gotong-royong mengur daging kurban untuk dibagikan. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Ilustrasi gotong-royong mengur daging kurban untuk dibagikan. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Penting untuk diingat bahwa kurban adalah ibadah yang mengajarkan kita tentang pengorbanan dan keikhlasan. Mengambil daging kurban tanpa hak atau lebih dari yang seharusnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai ini. 

Selain itu, tindakan tersebut juga bisa menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan di antara masyarakat, yang pada akhirnya merusak semangat kebersamaan yang seharusnya terjalin di Hari Raya Idul Adha.

Masalah ini semakin nyata dengan adanya banyak laporan maupun gunjingan tentang ketidakadilan dalam pembagian daging kurban. Ada warga yang tidak kebagian daging meski memiliki kupon, sementara yang lain membawa pulang daging dalam jumlah besar. 

Kisah-kisah seperti ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat dan aturan yang jelas dalam proses distribusi daging kurban.

Untuk itu, kita harus kembali mengingatkan diri sendiri dan sesama tentang pentingnya mengikuti aturan syariat dalam berkurban dan memperoleh daging kurban. 

Panitia kurban di setiap komunitas harus memastikan bahwa pembagian daging dilakukan dengan adil dan transparan. 

Edukasi tentang syariat kurban harus terus digalakkan. Jamaah perlu diberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya mengikuti aturan dalam kurban. Sosialisasi melalui ceramah, seminar, dan media sosial dapat menjadi sarana efektif untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan umat. 

Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa ibadah kurban dilaksanakan dengan penuh amanah dan keikhlasan.

Dengan menjaga semangat gotong royong dan keadilan dalam proses kurban, kita bisa menjadikan Idul Adha sebagai momen yang benar-benar membawa berkah dan kebahagiaan bagi semua. 

Mari kita laksanakan ibadah kurban dengan penuh amanah, jadikan setiap tetes darah kurban menjadi simbol pengorbanan yang tulus dan ikhlas untuk kebaikan bersama.

Literasi: satu, dua.

Semoga bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun