Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dilema "Student Loan" antara Menuntut Ilmu dan Menanggung Beban Hutang

31 Mei 2024   00:58 Diperbarui: 2 Juni 2024   10:20 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan adalah salah satu tiket menuju masa depan yang lebih cerah. Namun, kenyataan yang sering kali dihadapi adalah tingginya biaya pendidikan, terutama biaya kuliah, yang dirasakan sangat memberatkan oleh sebagian besar masyarakat. Bagi banyak orang, keinginan untuk kuliah adalah harapan agar dapat menjadi individu yang cerdas dan bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Namun, harapan ini sering kali berbenturan dengan kenyataan bahwa biaya kuliah terus merangkak naik, mengancam akses pendidikan yang seharusnya terbuka untuk semua anak bangsa tanpa terkecuali.

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sempat viral beberapa waktu lalu menjadi cermin dari persoalan ini. Banyak pihak menyuarakan penolakan terhadap mahalnya biaya UKT, mengingat kuliah merupakan jalan bagi banyak anak bangsa untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. 

Penolakan ini semakin diperparah dengan pernyataan bahwa kuliah tidak wajib karena sudah termasuk kebutuhan tersier. Pernyataan ini seolah mengatakan bahwa orang miskin dilarang berpendidikan, membiarkan mereka tetap bodoh, sementara hanya mereka yang kaya atau memiliki modal saja yang bisa menikmati bangku kuliah.

Gelombang penolakan ini akhirnya memaksa Mas Menteri (Mendikbud) untuk menyatakan pembatalan kenaikan UKT. Keputusan ini disambut baik oleh masyarakat, meskipun kekhawatiran terhadap tingginya biaya pendidikan masih menggelayuti pikiran banyak orang. Mungkin hanya sementara sampai gelombang penolakan ini teralihkan oleh isu lain.

Namun, belum sempat reda kegaduhan mengenai UKT, muncul wacana baru yaitu skema student loan. Skema ini secara sederhana dapat dipahami sebagai cicilan kredit biaya pendidikan bagi mahasiswa, layaknya pinjaman dana pendidikan yang sudah ada di beberapa negara maju.

Skema student loan ini menawarkan solusi bagi mereka yang kesulitan membayar biaya kuliah secara langsung. Dengan skema ini, mahasiswa dapat menunda pembayaran hingga setelah mereka lulus dan memiliki penghasilan. Namun, skema ini juga menimbulkan kekhawatiran baru. 

Apakah dengan adanya student loan, beban utang mahasiswa setelah lulus tidak akan menjadi masalah baru yang membebani mereka? 

Bagaimana jika setelah lulus, mereka sulit mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang cukup untuk melunasi pinjaman tersebut?

Persoalan biaya pendidikan ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan. 

Mewujudkan janji untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak hanya soal menyediakan akses pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa akses tersebut terjangkau bagi semua kalangan. 

Pendidikan harus menjadi hak yang bisa dinikmati oleh setiap warga negara tanpa terkecuali, tanpa memandang latar belakang ekonomi. 

Sebab, hanya dengan demikian, kita bisa benar-benar mewujudkan masyarakat yang cerdas, bijak, dan mampu bersaing di kancah global.

Ilustrasi wisuda kuliah. (KOMPAS.COM/Shutterstock via kompas.com)
Ilustrasi wisuda kuliah. (KOMPAS.COM/Shutterstock via kompas.com)

Dampak student loan, kuliah untuk belajar atau gelar?

Ketika biaya kuliah tinggi dan mahasiswa terpaksa mengambil student loan, fokus utama mereka tidak hanya pada cepat-cepat lulus dan meraih gelar, tetapi juga bekerja keras untuk melunasi cicilan kredit biaya kuliah tersebut. 

Kecenderungan untuk segera memperoleh gelar agar bisa melamar pekerjaan menjadi sangat kuat. Hal ini bisa berdampak pada berbagai aspek kehidupan mahasiswa dan kualitas pendidikan itu sendiri.

Pertama, adanya beban utang membuat mahasiswa merasa tertekan untuk segera lulus. Tekanan ini bisa berdampak negatif pada pengalaman belajar mereka. Alih-alih fokus pada pengembangan diri dan penyerapan ilmu, mahasiswa mungkin lebih cenderung mencari cara tercepat untuk memenuhi persyaratan akademis. 

Mereka mungkin lebih memilih mata kuliah yang mudah dan menghindari mata kuliah yang lebih menantang namun penting untuk pengembangan kompetensi. Akibatnya, kualitas pendidikan yang mereka terima menjadi kurang optimal.

Kedua, tekanan finansial dari cicilan pinjaman dapat mengurangi keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan ekstrakurikuler dan organisasi kampus. Padahal, kegiatan-kegiatan tersebut seringkali memberikan pengalaman berharga yang tidak didapatkan di ruang kelas, seperti keterampilan kepemimpinan, kerja tim, dan jaringan profesional. 

Dengan fokus yang teralihkan pada kebutuhan untuk segera bekerja, mahasiswa bisa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan soft skills yang esensial bagi karier mereka di masa depan.

Selain itu, adanya bunga pada pinjaman pendidikan dapat memperburuk situasi. Jika bunga terus bertambah selama masa studi, jumlah utang yang harus dilunasi setelah lulus menjadi lebih besar. 

Ini bisa menjadi beban psikologis tambahan bagi mahasiswa, yang mungkin sudah merasa stres dengan tuntutan akademis. Akibatnya, mereka bisa mengalami burnout atau kelelahan mental yang mempengaruhi kesehatan mereka secara keseluruhan.

Dalam jangka panjang, ketergantungan pada student loan bisa menciptakan siklus hutang yang membebani generasi muda. Mahasiswa yang baru lulus seringkali dihadapkan pada realitas sulitnya mencari pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk membayar kembali pinjaman tersebut. 

Jika mereka tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang memadai, beban utang tersebut bisa menghambat kemampuan mereka untuk membangun kehidupan yang stabil, membeli rumah, atau bahkan menunda menikah.

Solusi untuk masalah ini tidak bisa hanya bergantung pada individu mahasiswa. Diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dari pemerintah dan institusi pendidikan. Salah satunya adalah mengontrol dan menekan biaya pendidikan agar tetap terjangkau. 

Selain itu, menyediakan lebih banyak beasiswa dan bantuan keuangan bagi mahasiswa berprestasi dan kurang mampu juga sangat penting. 

Hendaknya, pendidikan harus menjadi alat untuk memberdayakan generasi muda, bukan menjadi beban yang menghantui mereka di masa depan.

(Ilustrasi via pajak.com)
(Ilustrasi via pajak.com)

Demi keadilan, bisakah student loan tanpa bunga?

Konsep student loan atau pinjaman pendidikan memang menawarkan solusi bagi mahasiswa dan atau orangtua yang menghadapi masalah finansial. Skema ini memungkinkan mahasiswa untuk tetap melanjutkan kuliah meskipun situasi ekonomi keluarga sedang sulit, tanpa buru-buru harus mengambil cuti kuliah. 

Cicilan pinjaman ini bisa dilunasi setelah mahasiswa lulus dan mendapatkan pekerjaan atau penghasilan, memberikan kesempatan untuk fokus pada studi tanpa tekanan finansial yang berlebihan.

Namun, di balik wacana penerapan student loan di Indonesia, muncul pertanyaan penting yaitu bisakah skema pembiayaan pendidikan ini diterapkan tanpa bunga? 

Skema pinjaman tanpa bunga akan meringankan beban mahasiswa dan mendorong mereka untuk lebih fokus pada belajar dan pengembangan diri. 

Pinjaman pendidikan tanpa bunga dapat diimplementasikan dengan menggantinya dengan biaya administrasi yang wajar atau konsep "margin" seperti pada pembiayaan syariah.

Pembiayaan syariah yang menggunakan konsep margin, dapat menjadi saran model yang tepat untuk student loan tanpa bunga. Dalam sistem ini, penyedia pinjaman dan penerima pinjaman menyepakati margin keuntungan yang tetap, bukan bunga yang terus bertambah seiring waktu. 

Dengan demikian, jumlah utang tidak membengkak, dan mahasiswa bisa merencanakan keuangan mereka dengan lebih baik setelah lulus.

Jika banyak kampus berani menerapkan skema student loan tanpa bunga, hal ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan. 

Mahasiswa akan dapat mengikuti kuliah dengan lebih tenang dan fokus, tanpa dibebani oleh kekhawatiran tentang bunga pinjaman yang terus bertambah. Mereka bisa lebih konsentrasi pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang akan berguna di masa depan, tanpa harus terburu-buru lulus hanya untuk segera melunasi hutang.

Selain itu, skema student loan tanpa bunga akan membuat pendidikan tinggi lebih inklusif dan adil. Mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi akan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. 

Dengan demikian, pendidikan tinggi dapat benar-benar berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan.

Penerapan student loan tanpa bunga juga membutuhkan dukungan dari pemerintah dan lembaga keuangan. Pemerintah bisa memberikan insentif kepada institusi pendidikan dan lembaga keuangan yang menawarkan pinjaman pendidikan tanpa bunga. 

Sementara itu, transparansi dalam pengelolaan dana dan pemantauan penggunaan pinjaman akan memastikan bahwa semua ini berjalan dengan efektif dan tepat sasaran.

Supaya pada tujuan utama dari student loan adalah memastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki akses yang sama terhadap pendidikan tinggi, tanpa dibebani oleh masalah finansial yang mencekik. 

Dengan penerapan skema tanpa bunga, harapannya adalah mahasiswa dapat fokus belajar, meningkatkan pengetahuan dan wawasan mereka, dan lulus dengan membawa manfaat secara luas. 

Ini adalah langkah penting menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan di Indonesia tercinta.

Semoga bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun