Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Membongkar Mitos Fake Productivity pada Profesi Guru

6 Mei 2024   13:58 Diperbarui: 7 Mei 2024   17:11 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang guru mengajar mata pelajaran secara daring di ruang kelas yang kosong di SD. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Di tengah tekanan untuk tampil produktif dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, seringkali kita terjebak dalam jeratan produktivitas palsu atau yang dikenal dengan istilah "fake productivity". 

Salah satu ciri utama dari fake productivity adalah seseorang mungkin terlihat sangat sibuk dengan menyelesaikan banyak tugas, namun pada kenyataannya, apa yang dihasilkan tidak memenuhi standar yang diharapkan. 

Hal ini terjadi karena kurangnya perencanaan yang matang serta kurangnya fokus pada esensi dari setiap tugas yang dilakukan. Jadi, penekanannya adalah pada kuantitas daripada kualitas. 

Kebiasaan multitasking juga seringkali menjadi pemicu munculnya fake productivity. Meskipun mencoba efisien karena melakukan beberapa tugas sekaligus, namun penelitian telah membuktikan bahwa manusia sebenarnya tidak mampu untuk melakukan multitasking dengan baik. Akibatnya, kualitas pekerjaan pun memburuk, dan hasilnya menjadi tidak optimal.

Selain itu, tekanan dari atasan atau lingkungan kerja yang kompetitif juga dapat memicu terjadinya fake productivity. Dalam upaya untuk memenuhi target atau ekspektasi, seseorang menunjukkan kesibukan yang berlebihan alias "pencitraan". Bahkan jika itu berarti harus melakukan pekerjaan tambahan yang sebenarnya tidak terlalu berfaedah.

Penting untuk diingat bahwa produktivitas sejati bukanlah sekadar tentang seberapa banyak waktu yang dihabiskan di depan komputer atau seberapa banyak tugas yang diselesaikan dalam sehari. 

Lebih dari itu, produktivitas sejati berkaitan erat dengan pencapaian hasil yang nyata, berdampak, ada "value", dan memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. 

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memprioritaskan tugas-tugas yang benar-benar penting dan relevan dengan tujuan utama sebuah pekerjaan.

Dengan memahami dan mengenali gejala-gejala fake productivity, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih bijaksana dalam mengelola waktu dan energi kita di tempat kerja. 

Yang terpenting, kita perlu mengubah paradigma kita tentang produktivitas. Yaitu dari sekadar mengejar angka-angka dan target-target, menjadi upaya nyata untuk mencapai hasil yang berkualitas dan "bernilai" yang signifikan bagi diri kita sendiri, bagi lingkungan kerja, serta bagi orang-orang di sekitar kita.

Seorang guru mengajar mata pelajaran secara daring di ruang kelas yang kosong di SD. (KOMPAS/PRIYOMBODO)
Seorang guru mengajar mata pelajaran secara daring di ruang kelas yang kosong di SD. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Guru dan dilema fake productivity

Tak hanya pekerja kantoran, bahkan para pendidik dan guru pun tak luput dari dampaknya. Fenomena ini muncul ketika seseorang lebih fokus pada pencitraan kegiatan yang terlihat produktif daripada substansi sebenarnya dari pekerjaan yang dilakukan.

Sebagai seorang pendidik atau guru, terjebak dalam fake productivity dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan dan atau pembelajaran yang disampaikan kepada anak didik. 

Apa saja wujud fake productivity pada guru?

Guru, misalnya, sering merasakan tekanan untuk terlihat produktif di hadapan siswa, rekan kerja dan staf kependidikan, maupun di mata Kepala Sekolah. 

Mereka mungkin tergoda untuk memperbanyak jumlah tugas tambahan, proyek, ataupun pelatihan, yang sebenarnya tidak relevan atau bermanfaat bagi perkembangan siswa. 

Hal itu hanya akan menciptakan lingkungan yang fokus pada kuantitas pekerjaan dan "status" daripada kualitas dalam pembelajaran atau tugas mengajar dan mendidik.

Bila guru terlalu fokus agar terlihat produktif, seringkali itu akan mengabaikan aspek kreativitas, refleksi, dan pemulihan atau aksi tindak lanjut yang penting untuk meningkatkan kinerja guru secara keseluruhan.

Selain itu, produktivitas palsu juga mendorong guru untuk mengorbankan keseimbangan hidup dan pekerjaan. Guru mungkin menghabiskan jam kerja yang panjang di kantor atau di depan komputer sesudah jadwal mengajar, tanpa memperhitungkan waktu istirahat yang cukup.

Ataupun, dibalik misi untuk tampak tetap produktif, guru yang terkena fake productivity malah terjebak dalam interaksi sosial yang kurang sehat misalnya ngumpul-ngumpul ngobrol ngalor-ngidul sambil ghibah/gossip. 

Dan penyebab fake productivity pada guru?

Guru merupakan pilar penting dalam pembentukan generasi penerus, namun guru juga rentan terhadap fenomena produktivitas palsu yang dapat mengganggu efektivitas pengajaran dan proses pendidikan. 

Beberapa penyebab terjadinya produktivitas palsu pada guru adalah:

1. Masih terbatasnya kompetensi guru. Salah satu penyebab utama produktivitas palsu pada guru adalah kurangnya kompetensi yang memadai. Meskipun memiliki tanggung jawab yang besar dalam membentuk generasi mendatang, tidak semua guru memiliki pelatihan dan pengetahuan yang cukup dalam strategi pengajaran, pengelolaan kelas, atau pemahaman terhadap perkembangan anak atau profil siswa. 

2. Pengkotak-kotakan status kepegawaian guru. Sistem kepegawaian yang kaku dan timpangnya jumlah guru ASN dan guru honorer juga dapat menyebabkan produktivitas palsu. Birokrasi yang rumit dan prosedur rekrutmen guru seringkali malah membebani guru dengan tugas-tugas yang tidak langsung berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran. Jumlah tugasnya sama, tapi setelah betahun-tahun lamanya tetap belum juga menjadi ASN.

3. Gaji yang tidak memadai. Penerimaan gaji yang tidak memadai atau tidak sebanding dengan tanggung jawab dan beban kerja yang dimiliki oleh guru juga dapat menjadi penyebab produktivitas palsu. Ketidakpuasan guru pada level finansial dapat mengarah pada kurangnya motivasi untuk memberikan yang terbaik dalam pekerjaan atau tugas profesi guru. 

4. Padatnya jadwal mengajar dan beban administrasi. Guru sering menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara jam mengajar di kelas dan tugas administrasi di luar jadwal pelajaran. Padatnya jadwal mengajar seringkali membuat guru merasa terburu-buru dan terpaksa untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dengan cepat, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada kualitas pekerjaan yang dihasilkan. Misalnya, RPP/Modul Ajar yang asal jadi.

Guru dan siswa. (DOK. Kemendikbudristek)
Guru dan siswa. (DOK. Kemendikbudristek)

Apa saja dampak fake productivity pada guru?

Dari berbagai penyebab diatas, fake productivity memang dapat menimbulkan dampak yang buruk untuk seorang guru atau pendidik.

Guru tersebut mungkin cenderung terlibat dalam aktivitas yang tidak produktif atau tidak relevan untuk meningkatkan pembelajaran siswa.

Dan mereka mungkin terjebak dalam rutinitas produktivitas palsu dimana terlihat sibuk lebih diutamakan daripada efektivitas dalam mencapai tujuan pendidikan.

Mereka mungkin terpaksa menghabiskan waktu berharga mereka untuk mengurus administrasi daripada fokus pada pengembangan materi pembelajaran atau memberikan bimbingan kepada siswa.

Pada akhirnya, guru tersebut mungkin tergoda untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang dari segi tampilan memang terlihat produktif tetapi sebenarnya ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap apapun itu.

Akibatnya, bisa saja masalah kesehatan mental dan fisik dapat muncul dalam jangka panjang.

Menggapai produktivitas sejati untuk guru. (foto Akbar Pitopang)
Menggapai produktivitas sejati untuk guru. (foto Akbar Pitopang)

Agar guru terhindar "fake productivity", ini caranya..

Untuk menghindari jebakan fake productivity, penting bagi setiap guru untuk melakukan refleksi diri secara berkala. 

Hal ini meliputi evaluasi terhadap cara mengajar yang digunakan, memahami tupoksi, peninjauan terhadap prioritas pekerjaan, dan pengaturan waktu yang efektif. 

Selain itu, komunikasi yang terbuka dengan atasan dan rekan kerja juga dapat membantu dalam memastikan bahwa setiap tugas yang dilakukan memiliki nilai-nilai yang sesuai.

Beberapa kiat yang bisa dilakukan guru untuk menghindari produktivitas palsu, sebagai berikut.

  1. Membuat jurnal kegiatan guru. Penting bagi individu untuk mengembangkan pemahaman yang jelas tentang tujuan mereka dan menetapkan prioritas yang sesuai. Seperti untuk aktivitas belajar-mengajar, mendidik, menyusun materi interaktif, dan seterusnya. 

  2. Menyeleraskan 4 kompetensi dasar: pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional. Hal ini melibatkan pengakuan bahwa ada waktu untuk bekerja keras dan waktu untuk beristirahat serta menjaga keseimbangan yang sehat diantara semuanya. Guru masa kini juga sudah dapat memanfaatkan kecanggihan AI (artificial intelligence) dan menjadi guru konten kreator untuk menyeimbangkan empat kompetensi yang perlu dikuasai seorang guru.

  3. Bekerja dalam lingkungan kerja yang seimbang dan berkelanjutan. Dengan memahami bahaya produktivitas palsu, kita dapat memperhatikan kesejahteraan individu. Ini bukan hanya tentang penampilan yang mengesankan, tetapi tentang pencapaian yang substansial dan memuaskan yang memperkaya kehidupan dan karier kita. Guru dapat mengembangkannya melalui wadah komunitas belajar (KomBel).

  4. Peningkatan investasi dalam pelatihan dan pengembangan profesionalisme guru. Ini dapat membantu meningkatkan kompetensi mereka dan meningkatkan kepercayaan diri dalam mengajar. Selain itu, reformasi dalam sistem kepegawaian dan penyesuaian gaji yang lebih adil dapat mendorong guru untuk fokus pada kualitas pengajaran daripada sekadar penampilan produktif. Adanya Program Guru Penggerak (PGP) juga merupakan upaya untuk itu.

  5. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam mendorong budaya kerja. Hal yang berfokus pada hasil yang substansial daripada penampilan semata. Mereka harus mempromosikan transparansi, komunikasi terbuka, dan penghargaan terhadap pencapaian yang berkualitas daripada sekadar jumlah tugas yang diselesaikan.

  6. Pengurangan beban administratif dan pengembangan sistem pendukung yang efisien. Bila itu dilakukan maka dapat membantu guru untuk lebih fokus pada inti dari pekerjaan mereka, yakni mengajar dengan efektif dan memberdayakan siswa untuk meraih potensi penuh mereka.

Selain itu, guru juga perlu melawan norma-norma dari masyarakat yang mempertahankan citra sibuk sebagai ukuran kesuksesan atau produktivitas. Ini memerlukan pergeseran paradigma yang lebih luas tentang bagaimana kita menilai nilai kerja dan kontribusi seseorang terhadap masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi para pendidik untuk memahami bahwa keberhasilan bukanlah sekadar tentang seberapa banyak materi yang disampaikan kepada siswa, maupun seberapa banyak pelatihan dan seminar yang diikuti, namun lebih pada pemahaman dan penguasaan konsep yang diperoleh serta berdampak bagi kehidupan, karena guru bagian dari "agent of change".

Semoga bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun