Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Alih-alih Menjaga Reputasi, Sekolah Harus Terbuka Menuntaskan Dugaan Perundungan Siswa

29 Januari 2024   16:27 Diperbarui: 20 Februari 2024   18:18 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Peran sekolah yang harus terbuka membantu menuntaskan kasus atau dugaan perundungan dialami siswa. (Kompas.id)

Kabar mengenai kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah TK swasta menghebohkan masyarakat pendidikan dan netizen. Ironisnya, pelaku dan korban dalam kasus tersebut ternyata adalah murid-murid di TK tersebut. Kasus ini menciptakan pemandangan yang mencekam di dunia pendidikan anak usia dini. 

Orangtua korban, terguncang oleh kejadian yang menimpa buah hati mereka, mencari dukungan di media sosial dan terus berusaha mencari keadilan.

Namun, yang lebih mencengangkan adalah tentang respons dari pihak TK terkait. Dalam situasi yang semestinya membutuhkan transparansi dan kejelasan, pihak sekolah terkesan memilih bungkam.

Itu terkesan bahwa mereka lebih memilih melindungi reputasi sekolah daripada memberikan kepastian kepada para orangtua dan masyarakat. 

Pilihan yang mungkin diambil demi menjaga nama baik sekolah, justru berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tersebut.

Sebagai informasi, membangun reputasi sebuah sekolah (swasta) memerlukan investasi besar dan strategi yang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Namun, ketika sekolah menghadapi situasi sulit seperti kasus pelecehan seksual ini, memilih bungkam bisa menjadi bumerang yang merugikan sekolah tersebut. 

Pihak sekolah seakan lupa bahwa kepercayaan masyarakat adalah fondasi utama dalam membangun reputasi sebuah institusi pendidikan.

Dalam era media sosial yang penuh dengan begitu cepatnya arus informasi dan interaksi, maka dengan bungkamnya pihak sekolah hanya akan mengundang sorotan dan kecaman dari masyarakat dan netizen. 

Keluarga korban yang berusaha mencari keadilan mendapat dukungan luas dari netizen yang ikut merasa prihatin. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan respons yang cepat dari pihak sekolah dalam menangani kasus serius seperti itu.

Sekolah seharusnya melibatkan diri secara aktif dalam menyelesaikan masalah ini. Lebih dari sekadar menjaga nama baik, mereka memiliki tanggung jawab moral dan etis terhadap para orangtua dan murid. 

Kasus pelecehan seksual di TK bukan hanya merugikan korban secara pribadi, tetapi juga mencoreng citra pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu, langkah-langkah transparan, tindakan nyata, dan dukungan penuh kepada korban dan keluarganya perlu diambil oleh pihak sekolah untuk memulihkan kepercayaan yang terkikis akibat kejadian ini.

Dalam situasi sulit seperti ini, bila sekolah dengan berani menghadapi kenyataan dan bertindak dengan tegas, maka sekolah dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat dan menjaga reputasinya sebagai lembaga pendidikan yang peduli dan bertanggung jawab.

ilustrasi. (dari Kompas.id)
ilustrasi. (dari Kompas.id)

"Stop perundungan", jangan hanya jadi slogan sekolah!

Nah, akan tetapi saya heran mengapa banyak sekolah memilih sikap "pura-pura tidak tahu" apabila tengah berhadapan dengan sebuah masalah yang menyangkut reputasi nama baik sekolah tersebut. 

Dalam beberapa kasus, pihak sekolah mungkin mengadopsi sikap "pura-pura tidak tahu" karena mereka merasa terjebak dalam dilema antara mengungkap kebenaran dan menjaga reputasi. 

Sekolah, terutama yang swasta, memiliki kepentingan besar dalam menjaga citra positif mereka sebagai lembaga pendidikan berkualitas. 

Pemberitaan negatif dapat berdampak pada pendaftaran siswa baru, dukungan finansial, dan bahkan eksistensi lembaga tersebut. 

Dalam upaya untuk melindungi diri, sekolah mungkin memilih untuk merahasiakan atau meminimalisir dampak masalah yang terjadi.

Selain itu, mungkin ada kekhawatiran bahwa jika masalah tersebut terkuak ke hadapan publik maka dapat memicu reaksi beragam dari masyarakat, termasuk orangtua murid, alumni, dan apalagi para netizen. 

Dalam beberapa kasus, ini bisa berujung pada aksi boikot, tuntutan hukum, dan atau penurunan reputasi secara signifikan. 

Oleh karena itu, sekolah mungkin berusaha mengendalikan situasi melalui "jalan rahasia" dengan cara menyembunyikan informasi yang tersedia dan mencari penyelesaian supaya ada kesepakatan "damai".

Meskipun kita memahami seperti ada tekanan yang dihadapi oleh sekolah, akan tetapi transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi nilai penting dalam bidang pendidikan. 

Padahal dalam kasus-kasus tertentu, kerjasama antara sekolah dan orangtua murid dalam menyelesaikan masalah secara internal dapat menjadi solusi yang lebih baik daripada sekolah mencoba menyembunyikannya begitu saja. 

 

Ilustrasi cepatnya informasi tersebar di era media sosial seperti saat ini. (via Kompas.id)
Ilustrasi cepatnya informasi tersebar di era media sosial seperti saat ini. (via Kompas.id)

Rentetan kasus perundungan, alarm bagi sekolah di era media sosial

Kehadiran media sosial telah merubah sekat dan batasan di dunia pendidikan. Hingga dapat membuka pintu informasi untuk tersebar dengan cepat dan menjadi "konsumsi" berbagai lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan kini harus menghadapi risiko bahwa setiap masalah atau kasus yang timbul dapat menjadi perbincangan netizen dan berpotensi menjadi viral. 

Di tengah maraknya informasi yang cepat tersebar, memilih diam tak berkutik bukanlah lagi pilihan yang bijak bagi sekolah. 

Sebaliknya, situasi ini menuntut pihak sekolah untuk bersikap "gentle" agar menghadapi masalah dengan transparan dan memikul tanggung jawab secara penuh.

Sikap bungkam dari pihak sekolah tidak lagi relevan, tetapi malah berisiko menjadi bumerang bagi reputasi sekolah itu sendiri. 

Masyarakat kini mengharapkan kejujuran dan keterbukaan dari lembaga pendidikan yang menjadi tempat anak-anak mereka belajar. 

Dalam menghadapi masalah seperti pelecehan seksual, kekerasan, bullying, pelanggaran proses PPDB, atau kasus lainnya, maka transparansi bukanlah pilihan melainkan suatu keharusan.

Pihak sekolah harus bersedia memberikan informasi yang akurat dan lengkap, memberikan klarifikasi, dan menggandeng semua pihak yang terlibat.

Di era media sosial seperti saat ini, sekolah tidak dapat lagi diam bersembunyi di balik tembok sekolahnya. 

Bersikap transparan dan bertanggung jawab merupakan langkah cerdas untuk memastikan keberlangsungan pendidikan yang bermutu bagi para siswa yang notabene masih berstatus sebagai pelajar di sekolah tersebut.

Ilustrasi. Pendidikan karakter menjadi langkah strategis meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. (Dok. Wahana Visi Indonesia via Kompas.com)
Ilustrasi. Pendidikan karakter menjadi langkah strategis meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. (Dok. Wahana Visi Indonesia via Kompas.com)

Pencegahan perundungan di sekolah belum efektif, perlu gerakan bersama! 

Misi menjaga reputasi nama baik sekolah memang telah menjadi agenda terselubung di setiap lembaga pendidikan. Sebenarnya bukan hanya di dunia pendidikan, tetapi juga di berbagai instansi lainnya. 

Menurut Helm et al. (2011), reputasi merupakan persepsi yang menggambarkan keseluruhan perilaku organisasi serta hubungannya dengan para stakeholder yang terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. [sumber] 

Dan saya turut menyimpulkan bahwa reputasi bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan mudah, melainkan hasil dari konsistensi dalam menjaga pencapaian positif, meraih prestasi, dan memelihara dukungan kepercayaan yang diberikan oleh berbagai pihak terhadap lembaga tersebut.

Di tengah tuntutan masyarakat dan adanya risiko di era media sosial yang memudahkan penyebaran informasi, menjaga reputasi sekolah bukanlah perkara sepele. 

Sebelum semuanya menjadi "ambyar," maka ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk membangun dan menjaga nama baik sekolah.

1. Fokus dalam upaya mendidik dan pendidikan karakter

Pendidikan bukan hanya sebatas transfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter siswa. Siswa harus terlibat dalam pembelajaran yang tidak hanya kognitif, tetapi juga memperkuat nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab sosial.

Hal itu akan menciptakan siswa yang lebih berkarakter dan berakhlak mulia sehingga akan berkontribusi positif pada reputasi sekolah.

Membangun reputasi sekolah melibatkan aspek karakter dan nilai-nilai yang ditanamkan kepada siswa. 

Bila siswanya berkarakter dan meresapi nilai-nilai moral, maka sudah jelas sekolah dapat membangun reputasi yang kuat.

2. Pengawasan perilaku siswa dengan tegas dan ketat

Melalui implementasi aturan dan pengawasan yang ketat terhadap perilaku siswa, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Mengatasi potensi masalah karakter atau perilaku sejak dini dapat mencegah dampak negatif pada reputasi sekolah.

3. Peningkatan integritas dan kesungguhan pendidik

Guru dan staf pendidik memegang peran kunci dalam membentuk reputasi sekolah. Peningkatan integritas dan komitmen terhadap pembelajaran yang holistik adalah bentuk partisipasi aktif dari pendidik dalam pengembangan program-program positif. 

Upaya ini dapat meningkatkan kepedulian dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan.

4. Sinergitas dan berkolaborasi dengan orangtua

Kerjasama yang erat melalui kolaborasi guru dan orangtua merupakan upaya yang sangat penting dalam menjaga reputasi sekolah. 

Sekolah harus memilih berkomunikasi secara terbuka mengenai perkembangan siswa, mengajak partisipasi orangtua dalam kegiatan sekolah, dan mengatasi masalah anak didik secara bersama-sama.

Berkomunikasi secara terbuka dan transparan menjadi kunci penting dalam menghadapi masalah atau tantangan yang mungkin muncul. 

Sikap proaktif dalam memberikan informasi kepada orangtua murid dan masyarakat bila membutuhkan, serta menunjukkan tanggung jawab penuh terhadap masalah yang terjadi.

Ilustrasi. Seorang anak dibonceng ibunya melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. (Agus Susanto/Kompas)
Ilustrasi. Seorang anak dibonceng ibunya melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara. (Agus Susanto/Kompas)

Melalui strategi-strategi ini, sekolah dapat membangun benteng reputasi yang kuat. Dengan mengutamakan pendidikan karakter, mengawasi perilaku siswa, meningkatkan integritas pendidik, dan berkolaborasi dengan orangtua, itu semua bukan hanya menjadi langkah-langkah pencegahan, tetapi juga fondasi yang mendukung perkembangan dan kemajuan sekolah dalam menghadapi setiap tantangan yang mungkin muncul.

Sebelum semuanya terlambat, serta sebelum nasi berubah menjadi bubur, (hendaknya) sekolah dapat meminimalkan risiko agar tetap dapat mempertahankan reputasinya.  

Sejatinya, upaya sekolah menjaga reputasi dan nama baik sekolah bukan semata-mata hanya tentang memastikan bahwa pencapaian positif yang dicapai tidak hanya mengharapkan apresiasi masyarakat.

Akan tetapi juga menjadi pijakan yang kokoh untuk menyelesaikan setiap tantangan yang mungkin timbul dalam sebuah perjalanan berharga di dunia pendidikan.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun