Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

4 Siklus Hambatan Kolaborasi Guru dan Orangtua

23 November 2023   11:12 Diperbarui: 23 November 2023   18:05 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada penghambat kolaborasi guru dan orangtua, mana jalan keluarnya? (Ilustrasi: Kompas.id)

Pendidikan bukanlah tanggung jawab eksklusif oleh sekolah atau guru semata. Keberhasilan proses pendidikan bagi putra-putri tercinta membutuhkan kolaborasi dan kerjasama yang erat antara orangtua dan guru. 

Tanpa dukungan dan keberpihakan orangtua, hubungan antara sekolah dan rumah dapat dipenuhi dengan ketegangan dan perselisihan, menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi semua pihak yang terlibat. Khususnya akan berdampak kepada anak atau siswa.

Dalam hal ini, orangtua memiliki peran yang tak kalah pentingnya dengan guru dalam membentuk masa depan pendidikan anak. Keterlibatan orangtua bukan sekadar kewajiban, melainkan investasi jangka panjang dalam perkembangan dan kesuksesan anak-anak. Menunjukkan contoh dan teladan yang baik bukanlah semata-mata tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga tugas orangtua di rumah.

Pentingnya kolaborasi antara orangtua dan guru bisa diibaratkan sebagai utang jasa yang harus dilunasi oleh orangtua. Menyadari peran penting guru dalam membimbing, mengajar, dan membentuk karakter anak, orangtua diharapkan dapat menjaga hubungan yang baik dengan sekolah. 

Sikap tantrum orangtua atau konflik tidak perlu menjadi cara untuk menyampaikan ketidakpuasan. sebaliknya, komunikasi yang terbuka dan positif dapat menjadi kunci untuk mencapai pemahaman bersama.

Sukses pendidikan anak tidak hanya terukur dari prestasi akademis, tetapi juga dari kemampuan anak dalam berinteraksi sosial, memahami nilai-nilai moral, dan terbentuknya karakter yang berakhlak mulia. 

Untuk itu, orangtua dan guru harus bersatu dalam mendukung perkembangan holistik anak, saling melengkapi peran masing-masing.

Hanya saja, semakin lama, terlihat adanya kerenggangan yang semakin melebar antara orangtua dan guru maka menjadi sebuah dinamika yang berpotensi merugikan perkembangan pendidikan anak. 

Beberapa kasus dan sikap tidak terpuji dari siswa atau bahkan orangtuanya telah menjadi tanda-tanda ketidakharmonisan dalam kolaborasi ini. Pada kesempatan ini, saya telah mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memutus tali hubungan kolaborasi tersebut.

1. Disinformasi bersumber dari anak

Pentingnya memahami ilmu parenting dengan baik dan benar menjadi semakin krusial di era informasi saat ini, di mana orangtua "jaman now" sering terpapar oleh berbagai konten terkait cara mendidik anak. 

Sayangnya, seringkali dampaknya terlihat dalam perilaku berlebihan orangtua terhadap anak, dimana kebutuhan anak dipenuhi tanpa memperhatikan peran penting dari fungsi orangtua sebagai penguat nilai-nilai kebajikan.

Sebagai contoh, kecenderungan orangtua untuk terlalu cepat memenuhi kebutuhan anak dapat mempengaruhi pembentukan karakter, terutama dalam hal kejujuran. Anak-anak belum sepenuhnya mampu menerapkan nilai kejujuran dengan baik, peran orangtua sebagai pendorong nilai ini menjadi sangat dibutuhkan.

Seringkali orangtua terlalu mudah percaya pada apa yang disampaikan anak di rumah, tanpa menyadari bahwa aspek kejujuran dari anak membutuhkan arahan dan penguatan dari orangtua. 

Kejujuran anak menjadi fondasi penting terhadap kelangsungan hubungan antara orangtua dan guru. Dengan ditanamkannya nilai kejujuran sejak dini, apa yang disampaikan anak kepada orangtua setelah pulang sekolah dapat dianggap sebagai informasi yang benar dan apa adanya. 

Hal ini menciptakan dasar kepercayaan antara orangtua dan guru, memperkuat kolaborasi dalam mendukung perkembangan anak.

Mendidik anak agar jujur bukan hanya tentang meminta mereka untuk mengatakan kebenaran, tetapi juga membimbing mereka untuk memahami arti dan konsekuensi dari ketidakjujuran.

Dalam menghadapi dinamika Kurikulum Merdeka dan konsep "Merdeka Belajar", penting untuk menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan anak dan penguatan nilai-nilai kebaikan. 

2. Adanya fenomena "miscommunication" 

Adanya fenomena "miscommunication" atau salah paham dari orangtua kepada guru dapat menjadi kendala serius. Terkadang, orangtua hanya berpedoman pada apa yang disampaikan anak tanpa melakukan konfirmasi dan validasi informasi kepada guru atau pihak sekolah. 

Kurangnya keingintahuan orangtua untuk memahami situasi atau informasi yang diterima dapat menciptakan kondisi yang berpotensi fatal jika dibiarkan berlarut-larut.

Salah satu risiko utama dari fenomena ini adalah terjadinya konflik antara orangtua dan guru, yang sebenarnya dapat dihindari dengan komunikasi yang terbuka dan bijaksana. 

Pentingnya mengkonfirmasi informasi yang diterima kepada guru menjadi kunci untuk mencegah "miscommunication" ini. Orangtua perlu mengembangkan kebiasaan untuk melakukan konfirmasi dengan cara yang santun dan bijaksana serta membuka diri terhadap sudut pandang guru.

Pendekatan ini dapat membantu orangtua mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan akurat. Konfirmasi yang dilakukan dengan cara yang santun dan bijaksana menciptakan lingkungan yang mendukung dan kolaboratif, dimana konflik dapat diatasi sebelum mencapai tingkat yang meresahkan.

Orangtua yang terbuka untuk belajar dan memahami situasi secara menyeluruh akan lebih mampu mengatasi potensi konflik dan mendatangkan solusi yang baik.

Langkah konfirmasi informasi kepada guru bukanlah tanda ketidakpercayaan, tetapi merupakan langkah bijak untuk memastikan bahwa orangtua dapat memiliki pemahaman dan visi yang sama. 

Faktor kesalahpahaman harus dihindari untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan antara orangtua dan guru. Demi keberhasilan dan perkembangan optimal anak didik.

3. Gosip, ghibah dan hoax

Dalam komite sekolah maupun komite kelas, tak jarang kita temui fenomena orangtua "toxic" yang cenderung menyebarkan informasi tanpa kejelasan dan suka menggosip saat antar-jemput anak mereka. 

Kebiasaan kumpul-kumpul di depan sekolah untuk membahas gosip-gosip atau obrolan berbau ghibah seringkali menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan merugikan bagi proses pembelajaran anak-anak di sekolah.

Pentingnya pencegahan dari sesama orangtua/wali murid menjadi kunci untuk membangun lingkungan sekolah yang positif dan kondusif. 

Upaya ini tidak hanya untuk melindungi kesejahteraan mental anak/siswa, tetapi juga untuk menciptakan suasana di lembaga pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai etika dan moral yang berlaku.

Pentingnya memberdayakan orangtua untuk bersama memahami dampak dari perilaku toksik, tidak hanya membantu menciptakan lingkungan sekolah yang sehat tetapi juga mendukung perkembangan anak secara menyeluruh. 

Sesama orangtua justru memiliki peran penting dalam mencegah perilaku toksik. Lebih baik bila kumpul-kumpul atau kelompok-kelompok kecil itu dijadikan forum diskusi yang positif, berfokus pada perkembangan anak dan pendidikan.

Saling mengingatkan untuk tidak terlibat dalam gosip dan ghibah, lalu membahas solusi atas masalah yang muncul akan memperkuat komunitas orangtua. Itu adalah alternatif yang bijaksana dan sangat relevan.

4. Kebiasaan "lapor" demi koten dan komentar netizen

Dalam era yang serba instan seperti saat ini, kita seringkali menyaksikan fenomena orangtua dengan cepat melapor atau merasa menjadi korban dengan mengambil jalur hukum atau bahkan mempolisikan guru. 

Padahal setiap masalah pasti memiliki solusinya. Bila melibatkan kuasa hukum dalam masalah-masalah pendidikan hanya akan mencoreng nama baik guru dan sekolah tanpa memberikan solusi yang konstruktif. 

Di era digital dan media sosial yang gampang viral menjadikan informasi yang menyebar seringkali hanya secara sepihak atau dari satu sisi yang belum tentu benar.

Seharusnya, orangtua terlebih dahulu memprioritaskan komunikasi secara baik-baik dengan guru dan sekolah dalam menyelesaikan masalah. 

Membicarakan permasalahan secara terbuka dan dewasa akan jauh lebih bermanfaat daripada asal langsung mempolisikan, yang bisa berdampak negatif pada semua pihak terutama anak didik.

Komunikasi yang terbuka juga memberikan contoh kepada anak bahwa masalah dapat diselesaikan melalui pembicaraan, negosiasi dan atau musyawarah mufakat.

Langkah awal yang sebaiknya dilakukan orangtua adalah mengajukan pertanyaan atau menyampaikan keprihatinan mereka kepada guru atau pihak sekolah. 

Yakin lah wahai para orangtua bahwa pembicaraan yang dilakukan dengan sikap terbuka dapat membuka ruang untuk solusi yang memuaskan semua pihak.

Sangat dibutuhkan kolaborasi dan keterlibatan orangtua dan keluarga dalam proses mendidik generasi. (Ilustrasi: Kompas.id)
Sangat dibutuhkan kolaborasi dan keterlibatan orangtua dan keluarga dalam proses mendidik generasi. (Ilustrasi: Kompas.id)

Kebutuhan ruang kolaborasi orangtua dan guru

Bagi orangtua, terlibat dalam kegiatan sekolah seperti rapat orangtua dan guru serta mengikuti perkembangan anak di sekolah, merupakan langkah konkret untuk mendukung proses pendidikan. 

Itu bukan hanya tanggung jawab guru untuk memastikan keberhasilan anak di sekolah, tetapi juga tanggung jawab orangtua untuk memberikan dukungan tanpa syarat.

Sinergi antara orangtua dan guru merupakan fondasi yang kokoh untuk memastikan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. 

Dalam upaya bersama ini, dukungan dan keberpihakan orangtua tidak hanya menentukan kualitas pendidikan anak tetapi juga membentuk generasi penerus yang memiliki nilai-nilai positif dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan masa depan.

Namun, belakangan ini timbul sebuah faktor yang memperparah kerenggangan hubungan orangtua dan guru akibat berkurangnya atau memudarnya penghargaan orangtua dan masyarakat terhadap peran guru. 

Beberapa orangtua, mungkin tanpa disadari seringkali merendahkan atau meremehkan tanggung jawab guru dalam mendidik siswa. Hal ini menciptakan suasana yang tidak kondusif, akhirnya kolaborasi sulit terjalin karena perbedaan pandangan terhadap peran masing-masing.

Selain itu, kurangnya komunikasi yang efektif juga dapat menjadi pemicu kerenggangan. Terkadang, orangtua lebih memilih untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka melalui gosip dengan sesama orangtua daripada berkomunikasi langsung dengan guru. 

Ingatlah bahwa kolaborasi yang baik membutuhkan sikap saling pengertian dan bersedia untuk bekerja bersama. Oleh karena itu, perlu dilakukan refleksi bersama antara orangtua dan guru untuk memahami peran masing-masing serta mengevaluasi cara berkomunikasi dan bersikap. 

Membangun kepercayaan dan saling menghargai adalah kunci dalam memperkuat kolaborasi ini. Hasilnya, antara orangtua dan guru akan membentuk anak-anak yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga berpegang pada nilai-nilai.

Pihak sekolah bisa saja mendesain sistem komunikasi yang transparan, sehingga orangtua merasa nyaman untuk mendekati guru dan mencari informasi yang mereka butuhkan secara langsung. 

Dalam mencapai tujuan pendidikan dan konsep Merdeka Belajar yang dikenalkan pada kurikulum saat ini, orangtua dan guru harus berkolaborasi untuk mendukung perkembangan anak. 

Terwujudnya lingkungan pendidikan yang kondusif dan mendukung pertumbuhan optimal anak-anak kita.

Dengan demikian, kita dapat membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan generasi yang lebih baik. Aamiin..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun