Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mahasiswa Tidak Wajib Skripsi, Syarat Kelulusan, dan Cara Mendidik Kultur Literasi

31 Agustus 2023   13:08 Diperbarui: 1 September 2023   16:30 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Unila membangun kultur literasi di Kabupaten Lampung Barat. (via Kompas.com) 

Sebuah angin segar telah berhembus dunia pendidikan tinggi, menyulut kegembiraan di kalangan mahasiswa. Berita yang dinantikan selama ini akhirnya tiba, dengan keluarnya pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi --Mendikbudristek Nadiem Makarim. 

Melalui Peraturan Menteri No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, aturan baru telah lahir yang mungkin bakal mengubah wajah sistem pendidikan tinggi. mahasiswa tidak lagi diwajibkan menyusun skripsi untuk meraih gelar S1 dan D4. 

Bukan rahasia lagi bahwa skripsi, meski memiliki manfaatnya dalam dunia akademis dan sebagai wadah aktualisasi diri mahasiswa, ternyata juga menjadi sumber polemik yang bisa mempermalukan wajah pendidikan Indonesia. 

Karena skripsi, kesehatan mental mahasiswa bisa menjadi taruhannya lantaran terjebak dalam kecemasan dan tekanan menghadapi tuntutan pengerjaan skripsi. Tak sedikit yang harus menelan pahitnya kegagalan dan akhirnya terpaksa merasakan duka keluar dari institusi karena kena DO (drop out). 

Sementara itu, fenomena kelam joki skripsi pun menjadi senjata pamungkas bagi oknum akademisi yang tak beretika. Moralitas dan etika akademik pun tercoreng, merusak pondasi integritas pendidikan tinggi. Keberadaan joki skripsi menjadi cermin kegagapan sistem yang telah berlarut-larut terjadi di negeri ini. 

Di samping dampak emosional dan moral, aspek finansial juga turut menjadi topik dalam perdebatan ini. Proses penyusunan skripsi menghabiskan dana yang tidak sedikit, mulai dari biaya seminar, penelitian, hingga ujian akhir. Ritual-ritual kampus dalam proses ujian skripsi pun tak terhindarkan dari biaya ekstra. 

Peraturan Menteri No 53 Tahun 2023 ini adalah hembusan angin segar, perubahan paradigma, dan keberanian untuk membuka babak baru dalam dunia pendidikan tinggi. Apapun akibatnya, satu hal yang pasti yakni perubahan yang memberikan celah bagi pembaruan-pembaruan mendalam di dunia pendidikan tinggi kita. 

Bagaimana setiap perguruan tinggi menjalankan kebijakan ini, bagaimana dampaknya terhadap kualitas lulusan, dan bagaimana mahasiswa menjalani perjalanan kuliahnya tanpa bayang-bayang skripsi, apakah akan memiliki dampak positif atau negatif nantinya. 

Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Unila membangun kultur literasi di Kabupaten Lampung Barat. (via Kompas.com) 
Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Unila membangun kultur literasi di Kabupaten Lampung Barat. (via Kompas.com) 

Kalau gitu, gimana prosedur kelulusan mahasiswa?

Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan tinggi pasti akan muncul dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No 53 Tahun 2023 yang menggeser persyaratan kelulusan mahasiswa dari tradisi skripsi menjadi sesuatu yang inovatif. 

Pada pasal 18 dalam peraturan tersebut menjadi sumber inspirasi baru yang membuka jalan menuju lulusan yang lebih siap menghadapi tuntutan dunia kerja yang terus berkembang.

Tidak lagi terpaku pada penulisan skripsi yang terkadang menyulitkan, pasal ini memperkenalkan prosedur kelulusan yang lebih dinamis dan berdaya guna. Mengedepankan kepentingan penerapan teori dalam praktik, mahasiswa diarahkan untuk melangkah ke dunia nyata melalui program magang. 

Proses magang minimal selama satu semester atau setara dengan 20 satuan kredit semester akan membekali mahasiswa dengan pengalaman yang berharga dalam dunia usaha, industri, atau dunia kerja.

Namun, mahasiswa program studi kedokteran, kebidanan, dan keperawatan dikecualikan dari ketentuan magang. Hal ini mungkin sejalan dengan kekhususan bidang-bidang tersebut yang mengharuskan pemahaman mendalam melalui pendekatan medis atau klinis.

Bagi program studi sarjana atau sarjana terapan, penentuan kelulusan tak lagi bergantung pada penyusunan skripsi, melainkan pada upaya mewujudkan kompetensi melalui tugas akhir yang bervariasi. Ini bisa berbentuk prototipe inovatif, proyek berdampak masyarakat, atau bentuk tugas akhir lain yang relevan. 

Pendekatan ini memberikan mahasiswa peluang lebih besar untuk menerapkan ilmu dan konsep yang telah mereka pelajari dalam lingkungan nyata, memberikan dampak positif yang langsung terasa bagi masyarakat.

Dalam era digital yang terkadang haus akan aksi nyata, pendekatan ini terasa lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Mahasiswa tidak hanya terpaku di ruang perkuliahan, melainkan terlibat secara langsung dalam mengatasi tantangan dan peluang yang ada di masyarakat. 

Ketika ide-ide bermunculan dalam bentuk proyek atau inovasi, mereka dipacu untuk merancang solusi konkrit yang bermanfaat bagi komunitas masyarakat.

Momentum ini juga berperan penting dalam mengasah berbagai keterampilan esensial. Dari aspek kreativitas hingga kepemimpinan, mahasiswa dihadapkan pada situasi nyata yang memerlukan kemampuan problem solving. 

Dalam proses pelaksanaan proyek, mereka belajar berkomunikasi dengan efektif, bahkan melalui public speaking, serta memupuk rasa tanggung jawab dan sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat.

Dengan menerapkan peraturan yang lebih adaptif ini, dunia pendidikan tinggi akan lebih membuka peluang yang lebih luas bagi mahasiswa untuk meraih keberhasilan. 

Tak hanya mengejar gelar, tetapi juga mampu menyelami realitas sosial dengan memberikan kontribusi nyata. 

Tetap menjaga kultur literasi di kalangan mahasiswa. (via merdekabelajar.kemdikbud.go.id)
Tetap menjaga kultur literasi di kalangan mahasiswa. (via merdekabelajar.kemdikbud.go.id)

Mahasiswa tidak wajib skripsi, dianggap kemunduran literasi dan jadi tak berkualitas?

Tak bisa dipungkiri bahwa terobosan baru dalam dunia pendidikan selalu memicu gelombang perdebatan dan kontroversi. Ketika aturan terbaru ini dikeluarkan menghapuskan keharusan skripsi sebagai syarat kelulusan, maka muncul pula kekhawatiran dengan menuduh bahwa ini adalah langkah mundur dalam memupuk literasi mahasiswa dan merosotkan kualitas lulusan sarjana. 

Namun, perlu disadari bahwa hadir atau tidaknya skripsi tidak serta-merta mengukur kualitas seorang mahasiswa. Pada dasarnya, menjaga budaya literasi di kalangan akademisi adalah tugas kampus. 

Sedangkan bila diaplikasikan dengan pijakan yang tepat, kebijakan baru ini justru bisa menjadi peluang untuk mengukuhkan kultur literasi yang lebih beragam dan inklusif.

Bila kampus mengeluarkan kebijakan bahwa skripsi tidak menjadi syarat kelulusan, maka untuk terus menjaga budaya literasi mahasiswa bisa dilakukan dengan cara berikut ini.

Pertama, salah satu langkah penting untuk mempertahankan literasi di era baru ini adalah melalui pembuatan makalah. 

Seiring dengan perkembangan teknologi pendidikan, makalah pun bisa diperluas dengan berbagai inovasi. Konsep presentasi dalam bentuk video bisa menggantikan cara konvensional dengan memanfaatkan berbagai platform digital yang semakin canggih. 

Langkah ini mungkin saja dapat mendukung perkembangan pendidikan yang lebih dinamis, juga berperan dalam meningkatkan literasi digital di tengah masyarakat yang semakin terkoneksi dengan internet dan media sosial.

Kedua, tak berhenti di situ, kampus juga dapat memberikan tugas-tugas alternatif yang memupuk literasi. 

Sebagai contoh, pihak kampus bisa menetapkan pembuatan laporan dari buku-buku tertentu yang relevan dengan program studi. 

Setiap semester, mahasiswa dapat diarahkan untuk menyelesaikan tugas membaca dan meresensi sejumlah buku. Langkah ini akan membantu melatih kemampuan analisis, lalu mengekspresikan pemahaman mereka dalam bentuk tulisan atau bahkan video interaktif.

Ketiga, mendorong mahasiswa untuk aktif menulis juga menjadi bagian krusial dalam menjaga budaya literasi. 

Sudah banyak universitas yang menggunakan platform seperti Kompasiana sebagai sarana untuk menerbitkan artikel atau konten literasi. 

Tinggal lebih dimaksimalkan lagi, kampus bisa mendorong mahasiswa untuk merangkai gagasan-gagasan mereka dalam bentuk tulisan, blog, atau reportase dalam bentuk video pendek, dan membagikannya dengan publik melalui platform-platform digital yang ada.

**

Perubahan dalam dunia pendidikan tidak selalu merugikan literasi mahasiswa. Dengan panduan yang tepat, kebijakan baru ini dapat menjadi peluang untuk mengembangkan budaya literasi yang lebih beragam dan relevan dengan era digital. 

Pembuatan makalah dalam bentuk video, tugas laporan dari buku-buku yang dipilih, dan dorongan untuk menulis/blogging, bisa menjadi opsi dalam membentuk kultur literasi bagi generasi mahasiswa, tetapi juga mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman yang terus berkembang. 

Dalam perjalanan dan seperti apa proses eksekusinya nanti, Perguruan Tinggi memiliki peran krusial dalam menjaga api literasi terus menyala dalam setiap benak mahasiswa. Sambil tetap menemukan formula yang tepat untuk meningkatkan kualitas lulusan.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun