Terjadinya fatherless karena pengaruh sosial-budaya-ekonomi?Â
Dalam menggali pemahaman yang lebih dalam tentang fatherless serta peran ayah dalam keluarga Indonesia, penting bagi kita untuk menghadapi realitas yang ada.Â
Meskipun hampir semua ayah di Indonesia yang pasti dengan sepenuh hati memberikan perhatian dan kepedulian terhadap tumbuh kembang anak-anak mereka, kita tidak boleh mengabaikan fenomena fatherless yang mungkin terjadi tanpa disadari.Â
Fatherless merupakan kondisi ketika kehadiran seorang ayah dalam kehidupan anak terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Mengakui fenomena ini adalah langkah awal untuk mengatasi dampaknya dan memberikan dukungan yang diperlukan.
Fenomena fatherless atau ketiadaan ayah dalam kehidupan anak adalah sebuah permasalahan yang kompleks dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam konteks keluarga Indonesia, terdapat beberapa penyebab yang dapat menjadi pemicu terjadinya fatherless.Â
Faktor sosial dalam masyarakat Indonesia dapat berkontribusi terhadap terjadinya fatherless. Adanya dinamika sosial seperti urbanisasi atau migrasi penduduk, ayah yang terpaksa bekerja di luar kota atau bahkan negara untuk mencari penghidupan sering kali menghadapi kesulitan dalam mempertahankan keterlibatannya bagi anak.Â
Faktor budaya juga memainkan peran penting dalam fenomena fatherless. Fenomena budaya patriarkis yang masih melekat dalam masyarakat Indonesia dapat menyebabkan ayah lebih fokus pada peran sebagai pencari nafkah semata, sementara tanggung jawab dalam mendidik anak seringkali dianggap menjadi tugas ibu.Â
Selain itu, stigma yang begitu kuat tentang ayah yang terlibat dalam peran domestik seperti mengurus anak atau pekerjaan rumah tangga, jelas akan mempengaruhi keterlibatan ayah dalam urusan keluarga dan kehidupan anak.
Aspek ekonomi juga memiliki dampak signifikan dalam fenomena fatherless. Ketidakstabilan ekonomi di negeri ini, rendahnya tingkat pendapatan, atau pengangguran dapat memaksa ayah untuk bekerja lebih keras dan dengan jam kerja yang lebih lama demi mencukupi kebutuhan keluarga.Â
Keterbatasan waktu dan sumber daya yang dihabiskan untuk mencari nafkah pasti akan menyebabkan berkurangnya waktu yang tersedia untuk berinteraksi dengan anak-anak.Â
Sementara itu, beban atau tuntutan ekonomi yang tinggi juga dapat menjadi pemicu konflik dalam rumah tangga yang pada akhirnya sering berujung pada perceraian yang jelas-jelas akan merugikan anak-anak itu sendiri.