Istilah content creator atau pembuat konten belakangan memang telah populer dan familiar bagi masyarakat Indonesia.
Banyak orang yang berlomba-lomba untuk menjadi content creator. Karena apa yang sebenarnya dilakukan oleh para pembuat konten ini memang terbilang mudah untuk dilakukan oleh kebanyakan orang.
Menurut Gramedia.com, content creator bertugas membuat konten baik berupa tulisan, gambar ataupun video yang akan ditampilkan pada berbagai media populer seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan berbagai media sosial lainnya. [sumber]
Content creator seharusnya melakukan cara-cara kreatif untuk menjaring ide pembuatan konten yang berkualitas.
Content creator biasanya dituntut multitasking berupa soft skill dan hard skill dalam berbagai hal, seperti mengumpulkan ide serta data, melakukan riset untuk membuat konsep yang memenuhi tujuan yang disepakati dari sebuat konten.
Selain itu, dibutuhkan pengetahuan tentang media produksi, komunikasi, serta teknik dan metode sharing kontennya. Termasuk alternatif pengetahuan tentang teknik, peralatan, dan prinsip desain termasuk dalam memproduksi rencana teknikal dalam proses pembuatan dan pengolahan konten.
Akan tetapi, fenomena mengemis online ini mengindikasikan bahwa untuk menjadi para pembuat konten tidak terlalu memerlukan skill diatas secera mumpuni.
Alhasil, yang terjadi adalah asal membuat konten dan yang di-share ke media sosial adalah konten yang asal-asalan, asal mendatangkan sensasi dan perhatian viewers.
Pergeseran pemahaman mengenai kesenjangan sosial
Bagaimanapun, fenomena mengemis online ini tak lepas pula dari adanya kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat.
Di satu sisi pada awalnya karena alasan membutuhkan yang erat dengan nilai kemanusiaan, namun di sisi lain ada pula yang ingin meraup peluang dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.