Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PR Dulu dan Kini Berbeda, "Mindset" Guru Juga Harus Berubah

28 Oktober 2022   13:44 Diperbarui: 30 Oktober 2022   09:44 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkait dengan rencana Walikota Surabaya yakni Bapak Eri Cahyadi yang hendak meniadakan pemberian PR bagi peserta didik mulai dari SD hingga SMA/SMK. 

Beliau menyatakan bahwa peniadaan PR ini dengan tujuan agar dapat dilakukan penguatan karakter peserta didik bersama orang tua dan keluarganya di rumah. 

Padahal sejatinya PR memberikan manfaat yang baik bagi peserta didik. Jika kebijakan ini direncanakan guna memberikan kesempatan yang luas bagi orang tua dan keluarga dalam upaya membentuk karakter peserta didik atau anak, maka seharusnya PR tidak perlu ditiadakan. 

Padahal sebenarnya ketika anak mengerjakan PR di rumah dan memperoleh bimbingan dari orang tua maka sebenarnya hal tersebut sudah bagian dalam proses penguatan karakter anak. 

Peranan dan fungsi orang tua di rumah akan menjadi lebih maksimal sehingga posisi guru sebagai orang tua  kedua di sekolah tidak menjadi lebih dominan.

Pada saat pengerjaan PR tersebut antara anak dan orang tua dapat menjalin interaksi, komunikasi, dan relasi yang kuat guna mewujudkan hubungan anak dan orang tua secara hakiki. 

Namun terkadang memang ada beberapa kasus seperti jumlah PR yang banyak sehingga peserta didik menjadi kewalahan, stres hingga frustasi yang membuat anak menjadi kehilangan motivasi bahkan cenderung malas untuk mengerjakan PR.

Sebenarnya kasus semacam itu sempat kami dialami oleh keponakan kami sendiri yang terjadi di masa pandemi ketika masa Belajar Dari Rumah (BDR).

Hal tersebut bisa saja menjadi alasan mengapa PR perlu ditiadakan bagi peserta didik. 

Baik guru maupun kita semua yang ada di sini harus mengetahui betul tentang definisi PR.

Dilansir dari laman dictio.id, terdapat pengertian PR (pekerjaan rumah/resitasi) ialah sebagai berikut.

Pekerjaan rumah ialah suatu tugas yang diberikan oleh guru kepada murid-murid, tugas tersebut dikerjakan dan diselesaikan serta dipecahkan di rumah, dalam hubungannya dengan suatu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran. Pekerjaan rumah memberikan kesempatan belajar di rumah dan kegiatan-kegiatan ini merupakan pelengkap bukan sebagai duplikat dari kegiatan belajar di sekolah. 

Nah dari sini dapat kita tarik sebuah argumen bahwa pekerjaan rumah harus dapat merangsang para siswa untuk aktif belajar baik secara individual maupun secara berkelompok. 

Dalam pelaksanaan PR ini siswa dapat mengerjakan tugasnya tidak hanya di rumah, mungkin di perpustakaan, laboratorium, kebun percobaan dan sebagainya untuk dipertanggungjawabkan.

Intinya disana ada semangat proses belajar yang kontinyu karena belajar dapat dilakukan dimana saja dan dalam cara atau model pembelajaran yang beragam.

Kami rasa hampir semua guru yang ada di negeri ini tetap mendukung dan sepakat bahwa PR masih tetap diperlukan bagi peserta didik.

Di masa terkini sekaligus dengan diterapkannya kurikulum yang baru yakni Kurikulum Merdeka maka hendaknya para guru dapat mengevaluasi gaya mengajar hingga pemberian tugas atau PR secara terus-menerus dan penuh tanggung jawab. 

Agar PR tidak menjadi sebuah momok yang harus dihindari oleh peserta didik. Maka di bawah ini ada beberapa hal yang perlu dicermati oleh para guru tentang sebuah pandangan visioner dan fungsional dalam memaknai pemberian PR bagi peserta didik.

Memberikan PR dengan konsep dan cara yang menyenanangkan (oleh Akbar Pitopang)
Memberikan PR dengan konsep dan cara yang menyenanangkan (oleh Akbar Pitopang)

1. Pentingnya memperhatikan kesiapan dan kesehatan mental peserta didik

Ketika guru hendak memberikan PR maka hendaklah guru selalu terlebih dahulu memperhatikan kondisi dan kesiapan mental seluruh peserta didiknya. 

Kesiapan peserta didik ini dapat dicermati melalui gaya belajar dan motivasinya saat mengikuti pembelajaran di kelas.

Kesiapan peserta didik juga dipengaruhi dari tingkat kemampuan dan kompetensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik satu sama lainnya yang pasti berbeda dan kontras.

Hal tersebut dapat diketahui oleh guru misalnya melalui proses asesmen yang terstruktur dengan baik layaknya apa yang ditekankan pada kurikulum Merdeka saat ini. 

Contohnya saja di awal masa pembelajaran guru semestinya melakukan asesmen diagnostik untuk mengelompokkan peserta didik sesuai kemampuannya.

Dengan begitu guru dapat memberikan PR yang berbeda antar peserta didik yang dapat ditingkatkan lagi secara bertahap.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan guru agar peserta didik tidak menganggap PR sebagai sebuah beban atau tekanan batin yang akan berpotensi mempengaruhi kesehatan mentalnya.

Ini juga akan mempengaruhi tingkat kesulitan maupun jumlah PR tersebut. PR tidak perlu banyak asal memiliki manfaat dan tujuan yang jelas dan terukur.

PR sebagai wujud reflektif penguatan karakter siswa (Dokpri/Akbar Pitopang)
PR sebagai wujud reflektif penguatan karakter siswa (Dokpri/Akbar Pitopang)

2. Menjadikan PR sebagai wujud reflektif untuk penguatan karakter

Pemberian PR seharusnya dapat pula dijadikan wadah untuk merefleksikan cita-cita mulia pendidikan yakni untuk penguatan karakter peserta didik.

Pun pemberian PR tidak hanya sebatas untuk meningkatkan kemampuan kognitif namun PR juga bisa berikan guna mewujudkan kemampuan sosial maupun spiritual dari peserta didik.

Ketika di rumah peserta didik dapat merefleksikan apa yang tadi telah dipelajari di sekolah.

Orang tua dapat melihat keseriusan anak dalam mengerjakan PR yang dapat pula menjadi gambaran seperti apa keseriusan anak ketika di sekolah.

Jika ada hal-hal yang perlu diubah, ditingkatkan maupun diperbaiki dari gaya belajar anak maka orang tua bisa melakukan hal tersebut agar anaknya dapat mengikuti proses pembelajaran di sekolah dengan baik dan penuh tanggung jawab di masa-masa yang akan datang.

Kalau sebab itu PR masih relevan untuk diberikan kepada peserta didik sebagai bagian dari refleksi pembentukan karakter oleh orang tua dan keluarga kepada anak perasaan berada di rumah.

3. Memaknai akronim PR sebagai 'pekerjaan rumah'

PR yang diberikan kepada peserta didik tidak hanya semata-mata dalam bentuk tugas yang jawabannya harus ditulis di buku tugas atau lembar kerja.

Melainkan bisa dalam bentuk pengerjaan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga guna meringankan tugas orang tua dirumah.

Peserta didik bisa membantu menyapu atau mengepel lantai, membersihkan halaman atau pekarangan, mencuci piring, mencuci atau menjemurkan pakaian, membantu ibu memasak serta berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya.

Dengan cara seperti itu maka posisi PR pun bisa menjadi langkah tepat untuk pembentukan karakter siswa.

Di masa pandemi yang lalu padahal para guru sudah menempuh cara demikian dengan memberikan PR dalam bentuk penyelesaian pekerjaan rumah guna membantu tugas orang tuanya selama berada di rumah.

Maka hendaknya cara seperti itu dapat terus dimaksimalkan agar guru dapat selalu membangun budaya positif bagi peserta didik tidak hanya di sekolah namun juga ketika berada di rumah.

Di negara lain sudah banyak yang menerapkan pemberian PR bagi peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas atau pekerjaan rumah tangga.

Sekolah menganjurkan siswa mengelola sampah rumahan untuk projek bank sampah, bisa menjadi PR yang esensial (Dokpri/Akbar Pitopang)
Sekolah menganjurkan siswa mengelola sampah rumahan untuk projek bank sampah, bisa menjadi PR yang esensial (Dokpri/Akbar Pitopang)

4. Menjadikan PR berbasis proyek untuk mengasah skill dan passion peserta didik

Jika memang pemberian tugas dalam bentuk PR yang selama ini sudah menjadi budaya belajar bagi peserta didik saat berada di rumah akan ditiadakan, maka hendaklah tetap harus ada penggantinya. 

Misalnya saja peserta didik diberikan tugas yang berhubungan dengan kehidupan sosial atau mengamati alam sekitar sesuai Kompetensi Dasar atau Tujuan Pembelajaran pada kurikulum sekolah.

Siswa bisa diarahkan untuk dapat melakukan unjuk kerja dengan cara dibagikan di media sosial, blog pribadi ataupun melalui Kompasiana (siswa SMA/SMK sudah memiliki ketertarikan dalam bidang blogging).

Siswa yang ada saat ini sudah banyak yang belajar editing konten sehingga kemampuannya akan semakin bertambah sesuai dengan perkembangan zaman.

PR yang dulu dan kini sudah berubah. Ada banyak cara menarik bisa dilakukan guru (oleh Akbar Pitopang)
PR yang dulu dan kini sudah berubah. Ada banyak cara menarik bisa dilakukan guru (oleh Akbar Pitopang)

5. Memberikan PR sesuai kemajuan teknologi dan tuntutan zaman

Agar pengerjaan PR ini menjadi lebih menyenangkan maka bisa memanfaatkan teknologi melalui aplikasi atau platform pembelajaran secara daring.

Bagaimanapun saat ini semua peserta didik sudah tidak bisa dijauhkan lagi dengan yang namanya gadget atau handphone.

Ini memaksimalkan fungsi handphone agar tidak memberikan efek yang negatif kepada peserta didik maka handphone tersebut dapat digunakan untuk menunjang proses pembelajaran karena mengakses aplikasi atau platform pembelajaran.

Sebagaimana yang sudah kami lakukan hingga kini bahwa kami seringkali memilih untuk melakukan kegiatan asesmen atau pemberian PR melalui aplikasi atau platform pembelajaran.

Sehingga asesmen melalui pemberian PR dengan cara seperti itu akan menjadi lebih seru dan menyenangkan. Peserta didik tidak merasa terbebani dengan adanya PR tersebut.

Sehingga penggunaan handphone oleh anak menjadi lebih bermanfaat dan sedikit-banyak dapat menghindarkan anak dari efek negatif penggunaan handphone yang bisa saja menimbulkan terjadinya loss control beserta dampak buruknya.

***

Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa PR yang merupakan salah satu budaya positif ini sejatinya masih relevan untuk diberikan kepada peserta didik.

Namun hendaknya guru dapat melakukan transformasi PR ke dalam wujud yang lebih esensial dan memiliki manfaat jangka panjang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan mengakomodir kemajuan zaman.

Semoga hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi semua guru, orang tua, masyarakat, maupun segala bentuk stakeholder bahwa pemberian PR tidak harus benar-benar dihapuskan.

Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua terutama untuk para guru dimanapun berada.

Agar para guru dapat bertransformasi dengan berbagai kemajuan zaman sehingga memberi dorongan pembangunan mindset tentang PR yang lebih esensial dan fungsional bagi peserta didik.

======================

Salam berbagi dan menginspirasi.

Akbar Pitopang untuk Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun