Hingga kini, pembicaraan hangat tentang quiet quitting ini masih saja terus dibicarakan oleh berbagai kalangan. Baik di dunia nyata maupun di jagat maya.
Sebenarnya, fenomena ini telah terjadi sejak dulu kala. Hanya saja belakangan istilah ini bisa booming lantaran terdengar menarik dan kebarat-baratan.
Quiet quitting bermakna tindakan bekerja seperlunya sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh.
Tindakan ini bisa jadi adalah sebuah mekanisme pertahanan diri terhadap tuntutan tinggi dari perusahaan atau tempat bekerja.
Sedangkan quiet firing bermakna tindakan atau sikap perusahaan yang disinyalir menjadi respons terhadap aksi quiet quitting. Dengan cara mendiamkan karyawan yang hanya menunjukkan performa seperlunya tersebut dengan tidak melibatkannya dalam proyek, promosi atau hal penting lainnya yang mampu menunjang karir.
Secara sederhana, quiet quitting ini sebagai sesuatu yang dialami dan dirasakan oleh pekerja. Sedangkan quiet firing sebagai bentuk tindakan perusahaan untuk pekerja yang melakukan quiet quitting.
Quiet quitting dan quiet firing ini merupakan toksik atau virus yang dapat menggerogoti semangat dan etos kerja, serta dapat pula membuat lingkungan kerja menjadi tidak kondusif. Akibatnya pekerja yang terkena toksik ini mengalami demotivasi.
Hal ini dapat terlihat dari tindakan dan cara pandangnya terhadap pekerjaan. Bahkan ada kecenderungan untuk malas dan bekerja asal-asalan. Selain tentunya yang paling jelas terlihat adalah bekerja sesuai jobdesc yang telah ditentukan saja.
Toksik yang terjadi di dunia kerja ini dapat mewabah di berbagai kawasan pekerja, baik itu di instansi pemerintah maupun di instansi swasta. Termasuk pula di perusahaan dan lembaga lainnya.
Bahkan di dunia pendidikan pun toksik quiet quitting dan quiet firing ini nyata adanya.Â
Sehingga ketika Kompasiana mengangkat isu quiet quitting ini menjadi Topik Pilihan, ingatan kami langsung mengarah kepada kerabat kami yang telah terjangkit toksik quiet quitting ini secara akut.