Dasarnya adalah adanya ABK yang awalnya pada saat PPDB tidak terdeteksi sebagai ABK dan kini sudah belajar bersama siswa normal di kelas yang sama di sekolah negeri.
Di setiap kelas saat ini ada ABK. ABK yang dimaksud bukan hanya anak yang terbatas kemampuan panca inderanya atau tunanetra, tunawicara, dan sebagainya.
Jika ada anak yang mahir dan berbakat dalam pelajaran olahraga sedangkan ia tidak tertarik sama sekali dengan pelajaran matematika maka anak tersebut juga termasuk sebagai ABK.
Ada siswa yang bakatnya menggambar atau melukis saja sedangkan jika ditanya tentang pelajaran Bahasa Indonesia ia tidak tahu sama sekali.
Dari kasus di atas maka yang umumnya terjadi saat ini adalah siswa berkebutuhan khusus dari segi lambat belajar dan anak yang kesulitan belajar.
Jika guru menemukan di kelas ada siswa kelas 5 tapi masih belum bisa membaca, masih mengeja atau belum bisa menyusun kata-kata maka siswa bersangkutan patut dicurigai ada indikasi sebagai siswa yang berkebutuhan khusus.
Tapi masalahnya adalah guru biasa tentu tidak bisa asal mengatakan bahwa siswa tersebut berkebutuhan khusus. Pihak yang memiliki hak prerogatif untuk bisa menyimpulkan siswa tersebut berkebutuhan khusus adalah psikolog.
Apabila akan dilakukan tes psikologi atau psikotes, maka coba petakan semisal dalam satu kelas terdapat 1 atau 2 orang siswa yang terindikasi berkebutuhan khusus.
Untuk pembiayaannya mungkin bisa diambil dari dana BOS. Ataupun orangtua siswa bersangkutan diajak untuk bekerja sama.
Perlunya menyatukan visi-misi dan dukungan dari orangtua
Pihak sekolah bisa membujuk orangtua dengan mengatakan permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh anaknya saat belajar di kelas.
Misalkan guru atau pihak sekolah bisa menyampaikan informasi tentang kondisi anak kepada orangtuanya dengan cara seperti di bawah ini.
“Ayah dan bunda.. Kami melihat ananda ini luar biasa, tapi kami juga melihat ananda ini mengalami hambatan-hambatan dalam pembelajaran.”
“Bagaimana jika ananda kita bawa ke psikolog untuk diperiksa untuk memastikan kendala apa saja yang dihadapi ananda dalam proses pembelajaran”
“Ayah bunda, apakah bersedia membawa ananda ke psikolog?”