Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Budaya Sensor Mandiri: Ada 5 Wawasan Pentingnya Nonton Film sesuai Usia

7 Agustus 2022   16:29 Diperbarui: 24 Agustus 2022   10:46 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang menonton film (via pexels.com/cottonbro)

Belakangan kita melihat perkembangan film-film horor yang ditayangkan di bioskop sangat ramai dengan para penggemarnya. Ada euforia yang sangat besar yang ditunjukkan oleh para penikmat film-film bergenre horor.

Seakan-akan kali ini menjadi momentum kebangkitan film-film horor yang ada di Indonesia. Coba kita tengok betapa tingginya antusias masyarakat untuk menonton film KKN di Desa Penari yang tembus hingga berjuta-juta penonton.

Hal tersebut menjadi sangat luar biasa dan mungkin bisa menjadi prestasi tersendiri bagi sutradara dan produser film horor sehingga ada kecenderungan tentang minat genre film di negeri ini. 

Sepertinya untuk genre film horor masih akan terus memiliki pangsa pasar yang sangat besar di negeri ini. Para peminat film horor sepertinya akan terus teregenerasi dengan baik.

Selain karena budaya di Indonesia yang masih percaya terhadap hal-hal yang mistis. Disamping itu pula kini produksi film-film horor semakin naik daun dengan tampilan, alur cerita, tokoh dan di-setting dengan sedemikian rupa sehingga film bergenre horor menjadi cukup layak untuk ditonton. 

Hanya saja kini para penikmat film horor tidak hanya di kalangan orang dewasa namun juga ditonton oleh para remaja dan atau anak-anak yang masih di bawah umur.

Padahal anak-anak sejatinya belum dibolehkan untuk menonton film horor karena dampaknya yang cukup besar dalam mempengaruhi regulasi emosi bagi anak-anak tersebut. 

Menyikapi fenomena tersebut Lembaga Sensor Film (LSF) bekerja sama dengan pengusaha bioskop mengkampanyekan "Budaya Sensor Mandiri". 

Meski demikian budaya sensor mandiri masih dalam tahap pembahasan sehingga belum ada prosedur jelasnya seperti apa. 

Menyoal sikap dari lembaga sosial film dan dan pengusaha bioskop yang mengkampanyekan budaya sensor mandiri ini, kami menilai ada beberapa poin yang perlu kita cermati bersama.

1. Budaya sensor mandiri versus keuntungan pengusaha bioskop

Kami menilai budaya sensor mandiri ini mencuat ke permukaan bisa menjadi salah satu bentuk atau cara lembaga sensor film dan pengusaha bioskop untuk "cuci tangan". Masyarakat disuruh untuk menerapkan budaya sensor mandiri ini seakan-akan masyarakat lah yang memiliki tanggung jawab dan andil yang sangat besar untuk menentukan film mana yang ingin mereka tonton. 

Sedangkan masyarakat dicekoki dengan berbagai macam genre film termasuk genre yang tidak pantas ditonton oleh kalangan anak-anak. 

Oleh sebab itu kami menilai kampanye ini sebagai bentuk kamuflase dari pengusaha bioskop karena ia tidak ingin merugi atau berkurang pendapatannya. 

Jika nanti kampanye budaya sensor mandiri ini telah diatur secara jelas dan pelaksanaannya diawasi secara ketat tentu ada regulasi atau ketentuan terkait batas usia yang diperbolehkan untuk menonton film berdasarkan genre tertentu. Salah satunya genre horor ini, penonton anak-anak bisa jadi akan dibatasi. 

2. Budaya sensor mandiri sebagai bentuk edukasi

Gerakan ini mungkin ada dampak positifnya sebagai bentuk ajakan kepada penonton untuk cerdas memilih film sesuai usianya. Kita tahu bahwa film-film yang ditayangkan di bioskop tidak hanya film-film yang berasal dari negeri sendiri tetapi juga dari mancanegara. 

Tentu sudah jelas banyak sekali adegan-adegan yang mungkin tidak pantas untuk dipertontonkan kepada anak-anak. 

Jika memang Lembaga Sensor Film (LSF) dan pengusaha bioskop seperti lepas tangan dan menyuruh masyarakat untuk melakukan filterisasi secara mandiri melalui budaya sensor mandiri ini maka kita sebagai masyarakat harus cerdas memilih film mana yang akan ditonton.

Hal mudah yang bisa kita lakukan adalah sebelum kita memutuskan untuk menonton suatu film kita bisa melihat informasi terkait film tersebut bisa melalui review yang sudah dilakukan oleh orang lain maupun melalui video trailer atau cuplikan film yang disediakan.

Nah Dengan begitu kita bisa menilai apakah film tersebut pantas untuk kita tonton. Jika sekiranya tidak pantas maka kita lebih baik untuk tidak menontonnya dan memilih menonton film lainnya yang sesuai dengan norma yang ada.

Ilustrasi anak-anak nonton film di bioskop (Shutterstock via Kompas.com)
Ilustrasi anak-anak nonton film di bioskop (Shutterstock via Kompas.com)

3. Tanggung jawab dan kontrol orang tua kepada anak yang ingin menonton film di bioskop

Sebagai orang tua hendaknya tidak lepas tangan begitu saja ketika anaknya ingin menonton film di bioskop bersama teman-temannya. Ketika anak meminta izin untuk menonton bioskop bersama temannya, orang tua bisa bertanya atau memastikan film apa yang hendak ditonton. 

Jika sekiranya genre film tersebut belum layak untuk ditonton anak maka orang tua bisa memberi penjelasan yang masuk akal tentang film tersebut. 

Orang tua harus mampu mengarahkan anak untuk mau mengganti genre film yang akan ditonton. 

Di sini yang sangat perlu untuk dibangun adalah komunikasi dan sikap saling percaya antara orang tua dan anak. 

Jika kedekatan dan hubungan emosional sudah terbangun di antara orang tua dan anak maka kami rasa anak bisa mampu menjaga keinginannya untuk menonton genre film yang belum pantas untuk mereka tonton.

Sesekali orang tua juga bisa mengajak anaknya untuk nonton ke bioskop yang diawali dengan memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan genre film yang hendak ditonton. 

Dari sana orang tua bisa menilai seperti apa kecenderungan atau ketertarikan anak terhadap suatu genre film, apakah sudah sesuai dengan usianya atau belum. 

Jika sekiranya belum maka disanalah peran orang tua untuk mengedukasi dan mengarahkan anak ke genre film yang pantas untuk mereka tonton.

4. Perlu aturan jelas tentang penerapan budaya sensor mandiri

Lembaga sensor film dan pengusaha bioskop perlu menggodok dan menyamakan visi dan misi tentang seperti apa penerapan budaya sensor mandiri yang memiliki aturan dan regulasi yang jelas agar bisa diterapkan dengan baik dan penuh tanggung jawab. 

Berbagai kebijakan dan aturan yang dikeluarkan selama ini saja sudah memiliki ketentuan yang jelas tetap saja memiliki pelanggaran dan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mematuhinya. 

Apalagi jika suatu aturan tidak ada aturan sebagai bentuk penegasan tentu masyarakat menganggap hal tersebut hanya sesuatu yang biasa saja dan jika pun dilanggar tidak memiliki efek kehidupan sosial dan kemasyarakatan.

Oleh sebab itu kami menilai karena budaya sensor mandiri ini niatnya baik sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat maka hendaklah memiliki regulasi dan aturan yang jelas.

5. Dorongan untuk menghasilkan karya film yang berkualitas

Hendaknya para sineas perfilman tanah air terus semakin berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah karya film yang layak tonton, pantas untuk ditonton, dan memiliki kualitas yang baik. 

Adanya budaya sensor mandiri ini maka para sineas perfilman akan memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan film-film yang berkualitas. 

Sehingga dengan begitu masyarakat tidak perlu lagi merasa terlalu khawatir dan was-was jika film yang hendak ditonton tersebut mengandung adegan yang tak pantas atau menyalahi norma yang ada.

Jika pihak terkait sudah membuat film yang berkualitas maka dengan sendirinya masyarakat atau para penikmat film akan berbondong-bondong menyaksikan film tersebut dengan sendirinya. Dengan begitu keuntungan atau target penonton pun dapat diraih.

Semoga kedepannya masyarakat bisa lebih teredukasi dengan baik dan mampu melakukan filterisasi secara mandiri terkait genre film yang hendak ditonton. 

Khususnya kalangan anak-anak perlu diberikan pengertian yang masuk akal dan perlu dilakukan pengawasan yang ketat agar anak tidak menonton film yang belum pantas untuk mereka tonton.

Menonton film di bioskop atau di layar kaca, walaupun niatnya untuk hiburan, jika tidak diawasi dengan baik maka bisa saja tetap memberikan dampak yang negatif bagi pada penikmatnya, terutama kalangan anak-anak.

*****

Salam berbagi dan menginspirasi.

[Akbar Pitopang]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun