Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pentingnya "Financial Planning" dari Pengalaman Single Parent Biayai Anak Kuliah

30 Juli 2022   19:50 Diperbarui: 31 Juli 2022   15:31 1652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengelolaan keuangan untuk biaya pendidikan anak (Dok. Shutterstock via Kompas.com)

Ketika Kompasiana mengulas topik tentang estimasi biaya kuliah yang semakin mahal di masa mendatang, seketika terlintas dalam benak penulis tentang pengalaman orang tua kami  dalam menguliahkan anaknya.

Ya, sesuai judul di atas kami hidup bersama orang tua single parent yaitu ibunda yang berjuang membesarkan, menyekolahkan serta mencukupi segala kebutuhan dari 5 orang anaknya.

Kami paham betul betapa besarnya pengorbanan, perjuangan dan keikhlasan yang dimiliki oleh ibunda dalam menerima keadaan yang sangat sulit itu yang belum tentu orang lain mampu memikulnya seorang diri.

Ayahanda kami memang benar-benar tidak bisa membantu dari segi finansial karena alasan kesehatan. Ditambah kakek dan nenek kami juga tidak peduli dengan nasib ibunda kami yang nestapa dan menderita.

Tapi syukurlah ibunda kami seorang PNS yang memikul tugas yang sangat mulia yakni sebagai tenaga pendidik. Itulah salah satu yang mempelopori penulis untuk mengikuti jejak ibunda.

Meskipun berstatus PNS, dengan seorang diri mengurusi 5 orang anak, gaji yang diterima setiap bulannya dengan nominal yang tidak terlalu besar tentu tetap saja mengalami defisit.

Maka untuk menyiasati keadaan itu agar tetap ada tambahan dana finansial untuk bertahan hidup orang tua kami melakukan berbagai cara.

Mulai dari ikut orang memanen padi, beternak itik, berjualan kue-kue, hingga ketika situasi benar-benar sedang tidak bisa diajak kompromi maka ibunda akan melakukan rumus “gali lubang, tutup lubang”.

Para pembaca budiman pasti sudah tahu tentang pola pembiayaan tersebut. Baik dilakukan dengan cara meminjam ke perorangan maupun ke pihak eksternal misalnya kepada bank atau koperasi.

Begitu besar perjuangan ibunda demi dapat melihat anak-anak tumbuh berkecukupan (tidak lebih dari cukup) dan demi dapat melihat anak-anaknya menjadi “orang” dan tidak menjadi “beban” dalam kehidupan bermasyarakat di kemudian hari.

Untuk kakak pertama, ia tidak bisa kuliah karena ketika ibunda memang dalam kondisi sangat terpuruk. Padahal kakak pertama termasuk anak yang berprestasi semasa SMA.

Sedangkan kakak kedua, ia bisa kuliah di Universitas Terbuka secara mandiri dengan biayanya sendiri karena ketika itu ia nyambi kerja.

Lalu, untuk penulis sendiri alhamdulillah bisa mengecap pendidikan hingga di bangku kuliah karena semasa SMA selalu menempati posisi tiga besar yang diterima lewat jalur PMDK atau undangan.

Hanya saja, dua orang adik kami tidak berminat sama sekali untuk kuliah. Tak apa, lagian ibunda pasti akan dibuat pusing tujuh keliling untuk menyediakan biaya kuliah. Toh, sekarang hidup mereka sudah cukup mapan dari segi finansial.

Ok baiklah, itu hanya intermezo sekedar curhat tentang kondisi sesungguhnya yang kami alami untuk memberikan gambaran tentang kondisi finansial yang dialami oleh ibunda.

Nah, sekarang saya akan bagikan pengalaman orang tua single parent yang berjuang membiayai anaknya kuliah di perantauan.

Penulis sempat kuliah di salah satu universitas negeri di Kota Pelajar, Yogyakarta. Kami memulai masa kuliah pada 2010. 

Selama masa kuliah yang tepat waktu yakni kurang dari 4 tahun, kalau tidak salah kami hanya sempat menerima bantuan finansial dari pihak kampus sebanyak 2 kali dengan syarat IPK harus diatas 3.00.

Itupun jumlahnya tidak besar, palingan hanya cukup untuk bantuan biaya bertahan hidup di perantauan. Karena untunglah semasa tahun 2010 hingga penulis lulus, biaya kuliahnya sangat murah dibanding kampus lain karena mendapat subsidi dari pemerintah.

Sehingga ibunda hanya perlu menyediakan dana bulanan untuk penulis agar dapat bertahan hidup selama di perantauan. Jika dicomparasi dengan dana kiriman orang tua rekan-rekan kami yang lain, jumlah uang yang ditransfer oleh ibunda bisa dibilang tidak sebanding.

Namun, dengan menerapkan gaya hidup minimalis, penulis bisa bertahan hidup dengan uang kiriman ibunda yang terbatas. Gaya hidup ala frugal living memang benar-benar sudah mulai penulis terapkan semasa itu. Bahkan, beberapa kali uang kiriman tersebut bersisa dan bisa penulis tabung.

Dengan jumlah nominal gaji tiap bulan yang tidaklah besar, pendapatan itu dimanfaatkan ibunda untuk keperluan sehari-hari, biaya sekolah dua orang adik, serta disisihkan untuk kiriman bulanan bagi kami sendiri.

Jika dipikir-pikir, sepertinya memang tidak akan cukup dan akan selalu defisit. Dulu, kami sempat menyampaikan maksud kepada ibunda untuk mengisi waktu luang dengan bekerja. 

Tapi ibunda melarangnya karena khawatir kami bisa mempertaruhkan jadwal perkuliahan. Kata ibunda, serahkan masalah keuangan ini kepada ibunda saja, dan kami dituntut untuk kuliah dengan baik dan kalau bisa lulus tepat waktu.

Karena itulah kami tidak bisa nyambi kerja sambil kuliah. Kami selalu patuh pada arahan dan nasehat ibunda. Jika kami nekad, bisa saja kuliah menjadi terbengkalai. Oleh sebab itu, selain kuliah kami aktif berorganisasi, kegiatan kerelawanan, hingga aktif menulis di Kompasiana ini dimulai pada 2011 atau semester ketiga perkuliahan.

Ternyata fakta yang sebenarnya telah terjadi terkuak setelah kami lulus kuliah dan balik ke kampung. 

Untuk mencukupi semua kebutuhan yang diperlukan termasuk untuk biaya kuliah, karena gaji PNS tidak mencukupi maka ibunda terpaksa harus meminjam ke bank.

Pinjaman di bank tersebut terus diperbarui bahkan diperbesar jumlah dana dan tenornya. oleh karena itulah akhirnya ibunda kami harus angsuran ke pihak bank hingga kini, walaupun penulis sudah lulus sejak 8 tahun yang lalu.

Belum lama ini ibunda mengatakan kepada kami bahwa hampir keseluruhan gajinya digunakan untuk mencicil angsuran di bank. Bahkan ketika nanti ibunda sudah pensiun 2 tahun lagi maka uang pensiun tersebut tidak akan bisa dinikmati karena sudah menjadi jatah bank akibat adanya pinjaman tersebut.

Mendengar fakta sesungguhnya yang disampaikan oleh ibunda, kami menjadi sangat sedih sekali. Bagaimana tidak, demi bisa menguliahkan anak, terpaksa ibunda harus berhutang ke bank yang tenornya sangat lama hingga ibunda memasuki masa purnabakti.

Walau begitu, satu hal yang selalu ditunjukkan oleh ibunda adalah raut keikhlasan dan tak pernah mengutuk nasib yang telah digariskan Tuhan.

Orang tua single parent peduli pendidikan anak (via huffpost.com/entry/single-parent)
Orang tua single parent peduli pendidikan anak (via huffpost.com/entry/single-parent)

Kami benar-benar telah beruntung mendapatkan ibunda yang kuat dan sangat tegar seperti beliau. Pantaslah jika penulis menyematkan “superwoman” karena perjuangan yang telah dilakukan ibunda selama ini.

Selain kami belajar tentang nilai-nilai kebaikan dari sosok seorang ibunda yang berstatus single parent, kami juga perlu mengambil hikmah dan pelajaran penting khususnya untuk masalah finansial atau bijak mengelola keuangan.

1. Para milenial harus mulai menerapkan gaya hidup minimalis dan frugal living. Bagi yang belum menikah jika sudah terbiasa menerapkan gaya hidup minimalis dan frugal living akan sangat membantu dirinya untuk lebih siap nantinya mengelola keuangan ketika sudah berkeluarga. Coba kita lihat kondisi keuangan global saat ini yang terus menerus mengalami inflasi maka untuk itu perlu lah dari sekarang menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Biasakan menabung untuk sebuah hal yang penting. Seperti untuk biaya kuliah anak nantinya. ketika tabungan dirasa cukup untuk modal usaha ataupun untuk investasi maka kesempatan tersebut bisa dicoba dulu daripada uang mengendap begitu saja di rekening bank.

3. Hindari berhutang sekecil apapun itu. Jika sudah terbiasa berhutang maka keuangan kita akan kacau karena pendapatan per bulannya harus disiapkan untuk alokasi pembayaran cicilan. Kondisi keuangan akhirnya menjadi sangat pas-pasan sehingga susah untuk berkembang atau mencoba berinvestasi. Bisa saja kita sementara waktu berhutang misalkan ke bank asal jelas perputaran uangnya dalam artian mungkin saja dimanfaatkan untuk tambahan modal usaha.

4. Tawaran asuransi pendidikan untuk anak boleh dicoba. Jika dibandingkan dengan menabung, sebenarnya opsi asuransi ini cukup menguntungkan. Untuk ibunda kami sendiri sedari awal juga bergabung dalam asuransi pendidikan. Sehingga ketika anaknya masuk sekolah maka pihak asuransi mencairkan sejumlah uang untuk meringankan beban para orang tua untuk masalah keuangan apalagi jika dalam satu tahun memiliki anak yang sama-sama baru masuk sekolah atau lanjut ke jenjang berikutnya.

5. Selagi anak masih kecil bisa mencoba investasi tanah. Misalkan membeli tanah di kampung, kemudian lahannya bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam yang hasilnya bisa dijual dan uangnya juga bisa ditabung atau digunakan untuk modal investasi lainnya. Jika konsisten maka kami rasa uang yang terkumpul akan cukup untuk membiayai anak kuliah nantinya.

Demikianlah beberapa hal penting yang bisa kami bagikan disini terkait bagaimana kita semua khususnya para milenial mengambil ancang-ancang dari sekarang terkait persiapan finansial untuk biaya kuliah anak nantinya.

Setiap orang tua di dunia ini pasti ingin melihat anaknya bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Agar semua itu dapat terealisasi dengan baik maka mulai dari sekarang harus mempersiapkan finansial karena biaya kuliah anak nantinya diprediksi akan terus melonjak.

Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua tentang bagaimana kita mengelola keuangan sejak saat ini.

******

Salam berbagi dan menginspirasi.

[Akbar Pitopang]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun