Hingga dalam kurun waktu berikutnya, mertua dan adik ipar saling bergantian untuk membantu kami mengasuh anak di perantauan.
Pada waktu yang telah dirasa cukup bagi kami untuk hanya mengurusi anak secara berdua saja, akhirnya mertua dan adik ipar kembali ke kampung dan meninggalkan kami hanya bertiga di perantauan.Â
Akhirnya kami kembali berjuang berdua sebagai pasangan muda dan sebagai orangtua dalam memerankan tugas untuk bekerja, melanjutkan berbagai aktivitas dan rutinitas pekerjaan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah mengasuh anak.Â
Syukurlah, anak kami bisa bekerja sama memahami keadaan dan mau dititipkan kepada tetangga selama ayah dan ibunya sama-sama sedang bekerja.
Tapi, keberadaan tetangga sebagai tempat untuk menitipkan anak bukanlah sebuah pilihan yang bisa benar-benar diandalkan. Karena tetangga kami tersebut juga punya kegiatan lain yang terkadang tidak bisa ditinggalkan.
Sehingga kami lah yang benar-benar memutar otak mensiasati kondisi tersebut dengan mengatur jadwal istri berdinas di rumah sakit. Serta penulis yang pulang ke rumah setelah bekerja dengan tepat waktu.
Untuk saat ini kami masih belum bisa menitipkan anak ke TPA (Tempat Penitipan Anak) karena usia anak kami yang masih dibawah tiga tahun. Serta kami khawatir jika terjadi sesuatu pada anak kami yang sangat aktif bergerak dan diluar kontrol pihak TPA.
Lama-kelamaan, keadaan sering tidak bersahabat. Kami menjadi galau dan dilematis menghadapi situasi yang sangat pelik ini.
Akhirnya, kami bersepakat untuk menitipkan anak dengan keluarga di kampung untuk beberapa saat. Pilihan kami dalam strategi pola asuh tersebut dapat diistilahkan dengan long distance parenting atau pengasuhan secara jarak jauh.
Pola asuh berbasis long distance parenting ini memang susah-susah gampang. Sepertinya di Indonesia sendiri pola asuh seperti ini masih jarang ditemui.