Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | akbarpitopang.kompasianer@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kondisi Terkini Rumah Gadang di Minangkabau yang Semakin Terabaikan

6 Mei 2022   08:55 Diperbarui: 26 Mei 2022   07:57 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu rumah gadang yang kosong karena pemiliknya meninggal dunia (Dokpri)

Momen pulang kampuang adalah sesuatu hal yang sangat dinantikan oleh para perantau Minang, dimanapun tanah rantaunya.

Orang Minang yang melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman ini mengenalnya dengan istilah pulang kampuang, bukan mudik.

Walaupun sebenarnya istilah mudik sekarang ini merupakan istilah yang lebih populer dan menjadi kosakata yang lebih mudah dipakai oleh para perantau untuk membahasakan perjalanan pulang ini. Baik dengan sesama perantau maupun dalam penggunaan literasi ketika berinteraksi.

Begitupula dengan istilah Hari Raya yang menjadi istilah dari kosakata budaya dan sebenarnya bukan istilah lebaran. Walaupun tetap sama seperti yang telah disampaikan diatas, istilah lebaran akan digunakan secara umum dan tergeneralisasi.

Pada momen menjelang Hari Raya ini para perantau Minang akan kembali pulang ke kampung halamannya. Kampung tanah kelahirannya sebagai fondasi awal kesiapan diri untuk perjalanan hidup di perantauan.

Sehingga walau dimanapun orang Minang merantau, mereka pasti tetap akan kembali pulang. Bahkan ketika orang Minang merantau ke planet mars sekalipun.

"Sajauah-jauah bangau pai tabang, jatuahnyo ka kubangannyo juo". Sejauh apapun tanah rantaunya, perantau Minang tetap akan pulang.

Di suatu nagari (baca: desa) atau dalam skala paling kecil yaitu jorong/korong (baca: dusun) didiami oleh masyarakat Minang yang berbeda sukunya.

Orang Minang mengelompokkan lapisan masyarakatnya dalam istilah suku. Berbeda dengan masyarakat dari Sumatera Utara yang mempopulerkan dengan istilah marga.

Dalam suatu jorong tadi terdapat banyak pembagian suku di sebuah kampung tersebut. Ada banyak suku yang berasal dari ranah Minang.

Beberapa suku Minangkabau diantaranya adalah Bodi, Caniago, Piliang, Kampai, Malayu, Guci, Jambak, Sikumbang, dan lainnya. Termasuk suku penulis sendiri yakni Pitopang.

Salah satu bangunan rumah gadang yang terbengkalai (Dokpri)
Salah satu bangunan rumah gadang yang terbengkalai (Dokpri)

Zaman dahulu di setiap kampung pasti akan ada minimal satu rumah gadang milik masing-masing suku yang ada di kampung tersebut.

Misalkan suku Pitopang akan punya rumah gadang sendiri. Suku Caniago punya rumah gadang sendiri juga. Begitupun dengan suku-suku lain yang ada di kampung tersebut pasti punya rumah gadang mereka masing-masing.

Zaman dahulu keberadaan rumah gadang sebagai bentuk eksistensi dari sebuah suku. Pun sebagai bentuk pengakuan di lingkungan masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Di suatu jorong atau kampung tersebut akan terjalin interaksi sesama suku yang ada. Istilahnya, walaupun berbeda-beda suku semuanya tetap Minang.

Minangkabau bagaikan Indonesia mini. Dalam suku Minangkabau terdapat beragam suku. Semuanya saling menjalin hubungan yang harmonis guna persatuan dalam kehidupan Minangkabau.

Posisi Rumah Gadang bagaikan istana negara. Dengan Balai Adat sebagai Mahkamah Konstitusi.

Rumah Gadang yang ditempati suku Pitopang masih cukup memadai (Dokpri)
Rumah Gadang yang ditempati suku Pitopang masih cukup memadai (Dokpri)

Zaman dahulu, rumah gadang ditempati oleh perempuan tertua sebagai Bundo Kanduang dari sebuah suku. Perempuan di Minangkabau adalah gender yang sangat diperhitungkan. 

Jadi, sudah sangat lama orang Minang menerapkan kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat. Tapi tetap posisi laki-laki adalah berada satu tingkat diatas perempuan.

Ketika para lelaki Minang pergi merantau kemanapun mereka tuju. Kaum perempuannya tidak akan ikut merantau dam akan menjaga marwah suku dengan keberadaan Rumah Gadang.

Ketika para lelaki pulang kampuang, mereka akan menuju rumah gadang sebagai tempat tinggal saudara-saudara perempuan dan termasuk orang tuanya. Jadi, rumah gadang di Minangkabau adalah simbol kedigdayaan sebuah suku. 

Bagaimana dengan kondisi terkini Rumah Gadang di Kampung Halaman?

Pada tahun ini menjadi kesempatan berharga bagi penulis untuk pulang kampung di Hari Raya Idul Fitri ini. Namun penulis menjadikan momentum pulang kampung ini untuk menengok sejauh mana eksistensi rumah gadang apakah masih ada atau berdiri dalam bentuk sebuah bangunan.

Saat ini, individu-individu Minang telah membangun rumahnya masing-masing. Mereka membangun rumah untuk tempat tinggal dengan menerapkan gaya arsitektur luar.

Rumah gadang yang dulunya berdiri kokoh ditempati oleh kaum Bundo Kanduang, kini kondisinya banyak yang sangat memprihatinkan.

Di kampung penulis, ada beberapa suku. Setiap orang Minang dengan suku yang sama biasanya tinggal di sekitar rumah gadang yang ditempati Bundo Kanduang.

Ketika kami menengok kondisi rumah gadang yang berada di wilayah suku Bodi. Ternyata rumah gadangnya sudah tak ditempati lagi. Hanya berbentuk bangunan kosong dan lusuh.

Setelah itu, kami langsung berpindah ke wilayah yang banyak terdapat warga bersuku Pitopang. Alhamdulillah, rumah gadangnya masih berdiri kokoh dan ditempati dengan baik oleh pemiliknya.

Oh ya, saat ini rumah gadang bukan lagi ditempati oleh seorang Bundo Kanduang dari sukunya. Namun, telah dikuasai secara perorangan.

Lalu, setelah puas menengok salah satu rumah gadang yang ditempati oleh warga sesama bersuku Pitopang. Maka kami menengok rumah gadang warga Piliang.

Rumah gadang yang ditempati oleh salah seorang warga bersuku Piliang masih dalam kondisi yang sangat layak untuk ditinggali.

Namun disamping rumah gadang suku Piliang yang masih pantas tersebut, ternyata masih berdiri bangunan rumah gadang lain yang berdiri di tanah salah seorang warga bersuku Piliang. 

Namun kondisinya sangat memprihatikan. Bahkan bisa dikatakan bangunan tersebut tinggal menunggu ambang kehancuran.

Setelah itu, kami singgah di wilayah rumah gadang milik suku yang lainnya. Namun kondisinya sudah menyedihkan. 

Bisa disimpulkan ketika pertama kali menengok, dapat dikategorikan rumah gadang tersebut adalah sebuah bangunan kosong dan sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. 

Kondisi rumah gadang yang sangat memprihatikan (Dokpri)
Kondisi rumah gadang yang sangat memprihatikan (Dokpri)

Memang rumah gadang di kampung kami jumlahnya tidaklah banyak. Dari jumlah keseluruhan rumah gadang yang masih ada, sebagian ada yang masih ditempati dan sebagiannya lagi sudah tidak bisa ditempati lagi tinggal menunggu rumah gadang tersebut rata dengan tanah.

Bagi rumah gadang yang masih berpenghuni, pada umumnya disamping rumah gadang tersebut berdiri bangunan permanen yang kokoh menyentuh tanah sebagai beranda atau pintu masuk menuju rumah gadang.

Sedangkan rumah gadang yang tidak lagi ditempati, dari hasil penelusuran kami diketahui bahwa rumah gadang tersebut kosong karena beberapa faktor. Diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Penghuninya pindah domisili dan keluarga inti sudah punya rumah sendiri. Terkadang karena alasan yang sangat mendesak, seseorang musti pindah domisili mungkin karena dibawa oleh anaknya yang ikut suami atau karena sudah punya usaha dan penghasilan sendiri di tempat yang baru.
  2. Penghuni rumah gadang meninggal dunia. Salah satu rumah gadang yang kami tengok diatas sudah kosong dan tak ada tanda-tanda kehidupan lagi dikarenakan pemiliknya sudah meninggal dunia. Sedangkan anak-anaknya sudah punya rumah permanen masing-masing.
  3. Dibiarkan karena biaya perawatan yang mahal. Rumah gadang memang dibangun sepenuhnya dari kayu. Hanya beberapa bagian yang dibangun dengan batu misalkan bagian lantai yang dibawahnya dijadikan gudang atau kandang hewan peliharaan. Untuk itu, biaya perawatan kayu lebih mahal dari biaya rumah yang dibangun secara permanen dari batu atau beton. Sedangkan tak semua penghuni sebelumnya memiliki penghasilan yang mapan. Sehingga terpaksa rumah gadang ditinggalkan dan akhirnya membangun rumah permanen atau semi permanen yang minim biaya perawatan bangunannya.
  4. Gempuran pengaruh arsitektur modern. Masyarakat Minangkabau saat ini lebih memilih membangun rumah pribadi dengan gaya arsitektur modern yang sedang tren saat ini karena dinilai lebih mudah untuk diaplikasikan menjadi sebuah model bangunan untuk tempat tinggal.

Salah satu rumah gadang yang kosong karena pemiliknya meninggal dunia (Dokpri)
Salah satu rumah gadang yang kosong karena pemiliknya meninggal dunia (Dokpri)

Jadi, demikianlah alasan mengapa rumah gadang kondisinya saat ini banyak yang terbengkalai, kosong, dan sudah lapuk dimakan usia.

Walaupun saat ini rumah gadang kondisinya banyak yang sangat memprihatikan. Namun keberadaan Balai Adat diharapkan dapat berfungsi dengan baik untuk berbagai aktifitas dan kegiatan di masyarakat hingga saat ini.

Balai Adat yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Minang saat ini (Dokpri)
Balai Adat yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Minang saat ini (Dokpri)

Balai Adat milik semua suku yang ada di sebuah jorong atau kampung. Keberadaan Balai Adat dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal untuk kepentingan bersama.

Misalnya untuk kegiatan posyandu, vaksinasi, sosialisasi kesehatan ataupun yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Hingga sebagai wadah untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan suku maupun semua warga kampung. 

Seperti itulah gambaran rumah gadang di kampung kami saat ini. Memang dalam kondisi yang memprihatikan dan perlu penanganan yang serius oleh semua pihak yang terlibat.

maka disini izinkan kami untuk mengutakan beberapa masukan untuk solusi terkait permasalahan yang menimpa rumah gadang ini. diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Memberdayakan fungsi LKAM (Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau) untuk memberikan pehamanan kepada masyarakat minang bahwa betapa begitu pentingnya menjaga eksistenti rumah gadang yang menyimpan kekayaan nilai bersamanya.
  2. Pemerintah daerah atau provinsi mengalokasikan dana untuk perbaikan atau restorasi rumah gadang yang mengalami kerusakan parah. setiap tahun dananya dialokasikan untuk itu. Walaupun proses restorasi tidak bisa dilakukan langsung secara keseluruhan. Namun bisa dilakukan bertahan dan berangsur-angsur hingga semuanya dapat diperbaiki kembali.
  3. Memberikan apresiasi kepada pemilik atau ahli waris yang masih menghuni dan merawat rumah gadang dengan baik. apresiasi bisa dilakukan dengan pemberian plakat atau piagam penghargaan. Disamping itu pula bisa diserahkan dana untuk tambahan biaya perawatan rumah gadang.
  4. Pemerintah daerah atau provinsi harus merekap jumlah rumah gadang yang tersisa dalam semua kondisi yang ada. Kemudian dimasukkan datanya ke dalam database yang datanya benar-benar berasal dari kondisi secara real.
  5. Mengalihkan rumah gadang untuk keperluan yang menunjang kegiatan kepariwisataan. Misalkan ada event pariwisata maka para turis bisa diarahkan untuk menginap di rumah gadang. Sehingga langkah tersebut dapat memberikan pemasukan bagi pengelola rumah gadang. Dana tersebut tentu bisa dimanfaatkan pula untuk perawatan rumah gadang.

Kondisi seperti itu kemungkinan juga terjadi di kampung-kampung lain di seluruh daerah di Sumatera Barat. Walaupun sebenarnya juga masih banyak rumah gadang yang tetap terpelihara dengan baik di beberapa tempat.

Rumah gadang di beberapa tempat menjadi spot pariwisata menarik yang dikemas menjadi desa wisata. Seperti di Surga (Saribu Rumah Gadang) di Solok Selatan. Sarugo (Saribu Rumah Godang) di Limo Puluah Kota. Dan di kawasan lainnya di Sumatera Barat.

Akankah rumah gadang keberadaannya berubah hanya sebatas identitas kepariwisataan di Sumatera Barat di kemudian hari? Istana Baso Pagaruyuang di Tanah Datar misalnya.

.........."Padahal rumah gadang merupakan sebuah mahakarya warisan nenek moyang yang menyimpan nilai filosofis, historis, sosiologis, antropologis, ekonomis, bahkan nilai estetis yang sangat tinggi dan menakjubkan".

Banyak orang yang mengagumi kemegahan dan keotentikan rumah gadang ini. Hendaknya rumah tangga terus eksis selamanya. Begitulah harapan kita semua hendaknya.

Sebuah catatan untuk masa depan,
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun