Momen pulang kampuang adalah sesuatu hal yang sangat dinantikan oleh para perantau Minang, dimanapun tanah rantaunya.
Orang Minang yang melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman ini mengenalnya dengan istilah pulang kampuang, bukan mudik.
Walaupun sebenarnya istilah mudik sekarang ini merupakan istilah yang lebih populer dan menjadi kosakata yang lebih mudah dipakai oleh para perantau untuk membahasakan perjalanan pulang ini. Baik dengan sesama perantau maupun dalam penggunaan literasi ketika berinteraksi.
Begitupula dengan istilah Hari Raya yang menjadi istilah dari kosakata budaya dan sebenarnya bukan istilah lebaran. Walaupun tetap sama seperti yang telah disampaikan diatas, istilah lebaran akan digunakan secara umum dan tergeneralisasi.
Pada momen menjelang Hari Raya ini para perantau Minang akan kembali pulang ke kampung halamannya. Kampung tanah kelahirannya sebagai fondasi awal kesiapan diri untuk perjalanan hidup di perantauan.
Sehingga walau dimanapun orang Minang merantau, mereka pasti tetap akan kembali pulang. Bahkan ketika orang Minang merantau ke planet mars sekalipun.
"Sajauah-jauah bangau pai tabang, jatuahnyo ka kubangannyo juo". Sejauh apapun tanah rantaunya, perantau Minang tetap akan pulang.
Di suatu nagari (baca: desa) atau dalam skala paling kecil yaitu jorong/korong (baca: dusun) didiami oleh masyarakat Minang yang berbeda sukunya.
Orang Minang mengelompokkan lapisan masyarakatnya dalam istilah suku. Berbeda dengan masyarakat dari Sumatera Utara yang mempopulerkan dengan istilah marga.
Dalam suatu jorong tadi terdapat banyak pembagian suku di sebuah kampung tersebut. Ada banyak suku yang berasal dari ranah Minang.