"Oh, saya kira kamu pulang bawa mobil itu"
"Belum pak, belum ada mobilnya. Nanti-nanti dulu lah ya. Kemarin saya pulang naik travel aja"
"Iya gampanglah masalah itu ya. Kamu kan sudah jadi pegawai. Oh iya, si Alif udah sukses juga ya. Baru abis bangun rumah besar. Bentar lagi kayaknya dia bakal punya mobil juga ya?"
"Alhamdulillah pak, semua atas izin Allah SWT"
Dari percakapan singkat itu bisa kita simpulkan bahwa masyarakat memiliki ekspektasi yang tinggi kepada perantau. Atau setidaknya masyarakat menganggap bahwa orang yang merantau harus ada sesuatu hal yang ditampakkannya di pandangan mata masyarakat.
Terperangkap Pamer
Dari percakapan diatas pula, akan menimbulkan beragam reaksi bagi perantau. Ada yang menilai itu biasa saja. Namun banyak pula yang menganggapnya sebagai cambukan. Semua tergantung pada prinsip masing-masing pribadi yang menjalani.
Bagi orang "baperan" dan senantiasa memperhatikan atau mempertimbangkan omongan masyarakat jelas akan menganggap perlakuan dari masyarakat seperti diatas sebagai sebuah cambukan.
Motivasi perantau untuk berubah adalah sebesar ekspektasi masyarakat kepadanya. Ia akan bangkit dan terpacu dalam kompetisi merubah nasib ketika ada perhatian atau atensi yang diutarakan anggota masyarakat kepadanya terlebih dahulu.
Berbeda dengan perantau yang berprinsip tentang apapun pendapat orang lain, dia "no coment" saja. Ketika dia sukses lalu dipuja-puji, alhamdulillah. Ketika masih dalam proses merintis dan belum bisa "mempertontonkan kesuksesan" kepada masyarakat, dia pun tidak akan peduli jika ada yang menggunjingkannya.
Dengan adanya ekspektasi dari masyarakat kepada para perantau tentang penilaian keberhasilan. Beberapa perantau menganggap penting sebuah kesusksesan materi. Materi yang dibawa pulang ke kampung halaman menjadi sebuah tolak ukurnya.