Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Dikelola oleh Akbar Fauzan, S.Pd.I, Guru Milenial Lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | Mengulik Sisi Lain Dunia Pendidikan Indonesia | Ketua Bank Sampah Sekolah, Teknisi Asesmen Nasional ANBK, Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri Diterbitkan Bentang Pustaka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Generasi Carut-Marut

29 Maret 2022   15:13 Diperbarui: 30 Maret 2022   11:32 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tahu bersama bahwasanya saat ini kita hidup di zaman yang disebut zaman globalisasi. Budaya barat maupun budaya dari luar sudah dengan mudahnya menggempur kearifan dan nilai-nilai yang ada pada budaya lokal. 

Nilai-nilai luhur yang ada pada budaya lokal lambat laun semakin terkikis. Bagai tanah terkikis air, berubah menjadi lumpur yang ketika bercampur lagi ke air yang lebih jernih, keruh sudah!

Pengaruh dan gempuran budaya luar secara terus-menerus tanpa henti. Semua kalangan sudah merasakan efeknya. Tidak hanya orang dewasa yang telah terkontaminasi, namun kalangan anak-anak dan generasi muda juga sudah ternodai. 

Semua menjadi candu. Menganggap semua itu adalah hal yang biasa. Tanpa ada filterisasi nilai-nilai yang terbawa dalam arus gelombang globalisasi itu sendiri.

Banyak sekali faktor yang berpengaruh dalam prosesnya. Campur tangan media yang memberikan arus doktrininasi. Benteng budaya lokal yang sangat mudah diruntuhkan karena orang-orang yang berjuang menahan gempuran sudah terlalu sepuh. 

Lalu yang cukup signifikan adalah pelonggaran kontrol di dunia pendidikan baik itu pendidikan formal, maupun terutama pendidikan informal yang kontrolnya secara penuh dipegang oleh orang tua dan keluarga.

Kembali kita kepada judul dari artikel ini bahwa apa sih yang dimaksud penulis dengan generasi carut-marut? Apakah anda sudah ada sedikit bayangan? Apakah mengerikan mendengar kata-kata "generasi carut-marut"?

Tentu fokus utama kata dari carut-marut yang dimaksud adalah tentang sebuah nilai. Ya, nilai norma dan kesopanan. 

Dari sebuah nilai luhur yang sudah meluntur itu maka barulah akan keluar dari masing-masing mulut ucapan-ucapan kotor tak layak untuk didengar yang kita sebut dengan ucapan carut-marut.

Saya sebagai seorang guru telah menggaris bawahi hal ini. Saya menemukan ada siswa yang mengeluarkan kata kotor dalam kategori carut-marut yang terlontar ketika pembelajaran di kelas. 

Saat pembelajaran berakhir setelah saya meninggalkan kelas pun siswa tersebut masih suka berkata carut kepada temannya. Kenapa bisa terjadi? 

Jelas kami sebagai guru tidak pernah mengeluarkan kata-kata carut-marut walau sejengkel apapun kepada siswa pada saat mereka berbuat salah atau semacamnya.

Diluar kelas, tepatnya di lingkungan rumah pun telinga saya tak henti-hentinya mendengar ucapan carut-marut yang dilontarkan anak-anak seusia jenjang SD hingga SMA. 

Namun yang paling sering saya temukan malah anak-anak yang masih dalam jenjang SD yang sudah bercarut-marut kepada temannya. Apakah ini pengaruh teman sejawat? Dimana semua hal baru yang didapat dari teman adalah sangat mudah untuk ditiru kembali oleh si anak.

Memang kebanyakan atau hampir pada umumnya yang suka bercarut-marut ini adalah dari kalangan anak laki-laki. Di perumahan tempat saya tinggal saja kebetulan jumlah anak laki-lakinya lebih dominan jumlahnya daripada jumlah anak perempuan. 

Mungkin selisih jumlahnya 3 banding 1. Dan anak laki-laki di lingkungan perumahan tempat saya tinggal didominasi berada pada usia jenjang SD dan SMP.

femina.co.id
femina.co.id

Seringkali saya mendengar mereka berkata carut-marut pada saat mereka bermain bola bersama. Atau sesekali saat mereka main game online dibawah pohon atau teras rumah milik seorang warga yang sudah turun-temurun tinggal di lokasi perumahan tersebut. 

Ketika ada seorang anak yang sedikit kesal karena ulah temannya, ia bisa langsung dengan mudah melontakan ucapan carut-marut. Padahal yang mendengar ucapan kotor itu tidak hanya temannya itu namun juga teman-temannya yang lain yang berada disekitarnya.

Saya menilai kebanyakan anak-anak tersebut mengeluarkan kata atau ucapan carut-marut itu tanpa adanya rasa malu ataupun rasa bersalah. 

Terkadang sesekali saya melihat orang tua salah seorang anak menegur anak yang berkata kotor tersebut tapi si anak malah acuh sambil senyum-senyum sendiri seakan-akan itu semua hanya guyonan semata. Memang beberapa anak mengeluarkan carut-marut itu sambil bercanda dengan temannya.

Ucapan carut-marut yang terlontar dari mulut anak-anak itu tidak hanya menyebut panggilan seekor hewan, namun juga sering menyebut istilah atau kata popular yang viral di media sosial atau mungkin sering terdengar di media televisi. 

Seperti ucapan anjirrr, anying, anjrit, dan lain sebagainya yang semua kata itu sudah sama-sama kita tahu berkonotasi kepada seekor hewan yang tidak bersalah yang biasanya menjadi sasaran berbagai kekesalan.

Sekali dua kali saya mendengar anak-anak tersebut bercarut-marut saya hanya diam atau mendiamkan dulu sambil mencari cara bagaimana langkah preventif atau persuasif yang tepat yang akan disampaikan kepada mereka. 

Walau saya sebagai guru, setiap siswa memiliki karakternya masing-masing. Begitupun karakter siswa saya di sekolah akan jauh berbeda dengan karakter siswa dari seekolah lain dari latar belakang yang berbeda-beda pula tentunya.

Seorang anak dengan inisial D yang masih duduk di bangku SMP, mengaku suka mengelurkan kata carut-marut karena sering mendengar ayahnya mengeluarkan kata-kata itu. 

Sehingga ia menjadi sudah sangat biasa mendengar ayahnya saat berada dirumah. Namun, dia mengaku hanya bercarut-carut kepada temannya saat ia merasa kesal. Sedangkan saat dirumah ia pun tidak berani bercarut walaupun ia tahu bahwa itu semua karena pengaruh ayahnya.

Selain itu, si anak dengan inisial Z yang masih duduk di bangku SD mengaku juga sering bercarut karena disebabkan sering mendengar teman-teman seusianya bercarut-marut. 

Saya menilai anak-anak di usia jenjang SD ini menganggap bahwa kata-kata itu hanya sebatas kata-kata pergaulan dengan teman. Mereka belum dapat mengkategorikan kata-kata yang didapat dari teman apakah itu tergolong kata kotor atau kata yang baik.

Kenapa ini harus terjadi? Apakah orang dewasa atau para orang tua menganggap hal ini sesuatu yang biasa saja? Apakah tidak ada pengawasan atau ketegasan dari para orang tua di lingkungan rumah karena berbagai alasan dan bersembunyi dengan kata-kata kesibukan? 

Frekuensi waktu anak dengan orang tua yang berkurang sehingga lebih banyak berinteraksi dengan teman di lingkungan luar rumah. Ditambah lagi dengan minimnya literasi yang anak-anak peroleh dari orang tuanya terkait hal itu.

Apakah hal ini akan terus dibiarkan? Apakah kedepannya kita menganggap bahwa anak-anak kecil itu berkata kotor karena memang itulah bagian dari fase tumbuh kembangnya yang kemudian pada masanya akan berubah seiring dengan berjalannya waktu?

Saya tak setuju dengan orang dewasa yang terkesan membiarkan anak-anak ini berkata kotor, bercarut-marut dimana-mana di lingkungan bermasyarakat. 

Apakah sebegitu sulitkah kita kembali menanamkan nilai baik dari sebuah kata yang semestinya keluar dari mulut seorang anak? Apakah bercanda harus dengan berkata kotor bercarut-marut?

Benteng utama sebegai kunci penanaman nilai-nilai dasar seperti nilai etika dan moral ini sejatinya memang berasal dari lingkungan rumah dari pihak orang tua dan keluarga. 

Orang tua yang memegang kunci keberhasilan penanaman nilai baik ini. Seorang anak bisa dicap buruk itu lantaran karena berasal dari keluarga yang buruk pula.

Apakah selama ini para orang tua menganggap anaknya adalah anak yang baik dan sopan lantaran orang tua tidak pernah mendengar anaknya mengeluarkan kata kotor dirumah. 

Padahal bisa aja anak-anak mereka adalah anak-anak yang terkenal suka bercarut-marut di lingkungan rumahnya. Maka, setelah ini kami harapkan para orang tua mencoba mendekati anaknya tanpa menyalahkan namun cukup memberikan literasi berisi penanaman nilai-nilai yang positif dan bersikap dan bertutur kata.

Bukankah generasi maju berasal dari generasi yang bermoral? Generasi bermoral itu adalah kita!

Sumber gambar: lldikti13.kemdikbud.go.id
Sumber gambar: lldikti13.kemdikbud.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun