Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surau Dipun, Sebuah Surau di Minangkabau

3 Mei 2013   14:03 Diperbarui: 12 November 2022   10:45 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Surau sebenarnya berupa bangunan musholah. Hanya saja masyarakat Minang biasa dengan sebutan surau. Surau dipun terletak tak jauh dari pinggir banda. Banda, bentuknya sama dengan saluran irigasi untuk mengairi persawahan. Nama dipun sendiri diambil dari nama lokasi surau berada. Dipun hanya berupa lahan perkebunan dan tanah lapang milik beberapa warga. 

Dulu, ketika masih kecil aku dan teman-teman sekampung suka sekali bermain di lingkungan surau dipun. Surau itu dibangun sudah sangat lama. Mungkin sebelum aku dan orang tuaku ada di dunia ini, surau itu sudah berdiri. Maka tak heran jika kondisinya kini cukup memprihatinkan. Jika misalkan ada angin puting beliung, bisa dipastikan surau itu akan terbawa angin dan akan rata dengan tanah dalam sekejap.

Sebuah surau yang kondisinya sangat sederhana. Tiang yang sudah mulai miring namun tetap saja kuat menahan hembusan angin yang menerjang. Atapnya dari seng hanya saja sudah berubah warna, kehitaman dan mengelupas. Siang menahan panasnya sinar mentari dan malam menahan dinginnya malam. Menahan terjangan guyuran hujan dan embun di pagi hari. Jendela dan pintu sudah banyak yang rusak. Beberapa sudut loteng ada yang sudah bolong. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu sudah sangat termakan usia. Kondisi fisiknya amat memprihatinkan. 

Namun, surau kami masih bisa menjadi tempat bagi kami untuk mendekatkan diri kepada sang khalik. Suara azan pun terdengar memecah kehangatan di siang itu. waktunya bagi kami untuk beribadah. Kali itu aku diajak ayah untuk shalat ke surau dipun.

“Ayo siap-siap! Kita shalat di surau dipun siang ini..” Seru ayah kepadaku.

“Kenapa shalat di surau yah? Kenapa gak dirumah aja?” Tanyaku pada ayah.

“Tak apa lah.. Ayah hanya ingin shalat di surau. Sudah beberapa hari ini ayah tidak shalat disana”.

“Baiklah yah.. Tunggu sebentar ya..”

“baik. Jangan lama-lama, ampil sarung dan kopiahmu saja” kata ayah mengingatkanku.

Aku pun langsung bergegas menuju kamarku. Aku ambil sarung yang tergeletak diatar kasur lalu aku mencari dimana letak kopiahku. Aku memeriksa diatas kasur, diatas meja belajar dan aku juga coba periksa di dalam lemari pakaian tapi aku tidak menemukan keberadaan kopiahku. Aku bingung karena lupa dimana terakhir aku meletakkannya. Aku coba tanyakan kepada ayah. Mungkin ayah yang menyimpannya.

“Yah, tahu dimana letak kopiahku?” Aku bertanya pada ayah.

“ayah tak tahu dimana letaknya. Itu kan kopiahmu berarti kamu yang tahu dimana letaknya”

“iya yah.. Tapi aku lupa dimana terakhir meletakkannya. Seingatku,terakhir kali aku sudah meletakkannya di meja belajar” aku coba yakinkan ayah.

“Hmm.. Ya sudah taka apa lah tak pakai kopiah. Ayo berangkat sebentar lagi mau iqomah. Jangan sampai terlambat”. 

“Baiklah yah.. Kita langsung ke surau saja..”

Aku dan ayah akhirnya langsung segera menuju surau. Khawatir jika terlambat sampai di surau dan shalatnya masbuk. Tapi syukurlah kami tepat waktu ketika tiba di surau. Ketika selesai berwhudu di tepi banda kami langsung masuk ke dalam surau dan suara iqomah pun datang menyambut kedatangan kami di rumah allah itu. Kami pun shalat berjamaah dengan khusu. Setelah shalat para jamaah berzikir lalu satu per satu pergi meninggalkan surau. Ketika aku dan ayah hendak bangkit meninggalkan surau, tiba-tiba buya memanggilku.

“Izan, apakah ini kopiahmu?” Tanya buya kepadaku sambil menunjukkan sebuah kopiah di tangan kanannya.

“Hmm.. Coba izan lihat dulu ya buya..”

“Baiklah, ini silahkan..” Buya menyerahkan kopiah itu untuk ku periksa terlebih dahulu. Apakah itu memang kopiahku atau bukan.

“Ternyata ini benar kopiah Izan, Buya.. Kenapa bisa sama Buya?” Tanyaku sedikit heran.

“Iya.. Kemaren ketika kau selesai shalat di surau ini, ketika kau asyik bercanda bersama temanmu affan, kau tak sadar telah menjatuhkan kopiahmu. Lalu buya meletakkannya diatas lemari pengeras suara itu..” Kata buya kepadaku.

“Oh.. Begitu ya buya.. Izan tak sadar kalau kopiah ini tertinggal di surau. Terima kasih ya buya..” Aku tersenyum pada buya yang baik hati itu.

“Lain kali kau harus selalu menjaga barang-barang kau miliki supaya tidak hilang. Dan tidak membuatmu bingung ketika kau membutuhkannya. Apakah kau mengerti?” Buya mengingatkanku.

“Sekali lagi terima kasih, buya.. Lain kali izan akan lebih hati-hati..” 

Ternyata kopiah kesayangan pemberian Ayah tertinggal di surau. Aku tak sadar kalau kopiah itu terjatuh saat aku bercanda dengan Affan sehabis shalat dan hendak pulang. Tapi untunglah ada Buya yang baik hati yang menyimpannya dulu agar tidak dibawa jamaah lain. 

Buya itu memang dikenal baik dan rajin beribadah. Setiap hari Buya pasti shalat ke surau walaupun tidak selalu lima waktu shalat Buya ke surau. Namun setidak-tidaknya ia rajin datang ke surau. Sepertinya Buya punya kenangan tersendiri bersama surau itu. 

Walaupun rumahnya tidak terlalu dekat dengan surau tapi Buya tetap setia datang ke surau untuk shalat. Dan walaupun umurnya sudah sangat tua dan pelan ketika berjalan.

Surau dipun yang sudah sangat tua itu sebenarnya berdiri di lahan tanah milik seorang warga. Surau berdiri di pinggir kolam yang tidak ada ikannya. Yang terkadang kolam itu dijadikan oleh pemiliknya untuk sebagai tempat bermain kerbaunya di malam hari. Itu hak pemilik tanah. 

Tak tahu siapa yang ikut membangun surau itu. Buya pun tak tahu pasti kapan dan siapa saja yang ikut membangun surau. Namun yang pasti usia surau itu sudah sangat tua. Mungkin bisa diperkirakan umur surau sudah ratusan tahun. Sebelum Buya ada di dunia ini, kata Buya surau itu juga sudah ada. 

Tapi, sangat disayangkan sekali ketika melihat kondisi surau yang sangat memprihatinkan. Kerusakan sudah terjadi disana sini. Sepertinya tinggal menunggu waktu kapan surau itu akan roboh. Surau sudah renta dan sakit-sakitan. Tinggal menunggu angin ribut atau hujan badai menerjang surau. 

“Izan.. Izan.. Bangun.. Ayo kita shalat subuh di surau. Ayah ingin sekali shalat subuh ini disana” suara teriakan ayah membangunkanku.

“Duh.. Ayah ini.. Kok ayah mau shalat di surau subuh ini? Biasanya kita shalat subuh berjamah dirumah saja” kataku pada ayah. Aku bingun dengan sikap ayah yang tidak biasanya.

“Ayo.. Sudahlah! Bergegaslah meninggalkan ranjangmu itu. Ayo whudu dirumah supaya tidak terlalu dingin kalau nanti whudu di banda pasti akan sangat dingin rasanya suhu udara subuh ini. Apalagi malam tadi hujan turun cukup lebat..” 

“Iya.. Ayah.. Tunggu izan sebentar..”

Lalu aku pun lekas bersiap-siap untuk berangkat ke surau. Kemudian setelah itu kami langsung menuju ke surau bertiga bersama Bundo.

Beberapa langkah lagi sebelum tiba di surau, ayah sedikit terperanjat melihat kondisi yang ada di hadapan kami subuh itu. beberapa orang jamaah yang hendak shalat subuh di surau, yang sudah tiba duluan sebelum kami juga merasakan kekecewaan lantaran melihat kondisi surau yang sudah tak ada lagi.

Tak ada? Apa maksudnya? Yaa.. ternyata surau sudah rata dengan tanah. Mungkin karena hujan lebat yang turun tadi malam. Surau yang sudah sangat tua ini pasti sudah tak mampu menahan kerusakan yang selama ini ditanggugnya. Kini surau dipun sudah tak ada lagi hanya tinggal sisa-sisa bangunannya diatas tanah di pinggir kolam. 

Banyak para jamaah yang merasa sedih kehilangan surau. Surau itu selama ini sudah menjadi tempat ibadah favorit oleh banyak warga kampung. Banyak kenangan yang tersimpan bersama surau itu. tapi apa daya, kini kami sudah tidak bisa lagi shalat disana. Surau hanya tinggal kenangan. 

Mungkin ini memang sudah waktunya. Surau sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Surau hanya bisa dikenang dalam ingatan dan bayangan penuh angan-angan…

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun