Apa yang anda bayangkan ketika mendengar kata-kata keraton? Pasti anda akan langsung membayangkan istana, keluarga raja, abdi dalem, dan lainnya yang identik dengan perkeratonan. Ya.. sama.. saya juga berpikir seperti itu.
Banyak keraton kita temukan di indonesia ini. Kebanyakan terdapat di pulau jawa. Yang sering kita dengar dan cukup popular di masyarakat adalah keraton jogja, solo dan Cirebon. Ketiga keraton tersebut sering sekali diekspose dan banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Hingga saat ini keraton-keraton tersebut masih tetap terjaga dan dipelihara. Keraton masih dimanfaatkan untuk berbagai keperluan terutama untuk kegiatan budaya dan sejarah. Walaupun keraton sekarang sudah membuka pintu dan mempersilahkan wisatawan berkunjung namun pihak keraton tetap menjaga privasi dan tata etika yang seharusnya.
Namun terkadang wisatawanlah yang bersikap kurang menghargai keraton. Ada pengalaman yang membuat saya hingga sekarang masih bertanya-tanya ketika telah berkunjung ke keraton solo. Pengamatan yang tak biasa. Jika anda berada di posisi saya saat itu pasti juga akan merasakan hal yang sama.
Kunjungan ke keraton solo sudah berlalu beberapa waktu yang lalu. Saya kesana beriga bersama sahabat-sahabat saya. dalam suasana memanfaatkan waktu liburan. Kebetulan jarak antara jogja dan solo juga cukup dekat. Kami menumpangi kereta api menuju solo.
kami berangkat pagi menjelang siang. Dan sampai di solo hari sudah cukup cerah dan panas matahari sudah sangat terik. Solo terasa sangat panas di siang hari. Membuat kami kepanasan dan berkeringat. Setelah melewati alun-alun kami langsung menuju keraton.
Keraton solo pada hari itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang mahasiswa kesenian, wisatawan asing dan lokal, kru salah satu stasiun televisi swasta, petugas keraton, tukang becak, pedagang jualan di depan keraton dan kami. Pada hari itu keraton sedang tutup jadi wisatawan tidak boleh masuk ke dalam keraton. Wisatawan hanya boleh berkunjung di depan keraton.
Karena keraton sedang tutup pada hari itu, kami merasa cukup kecewa. Padahal niat kedatangan kami sedari awal memang untuk berkunjung ke keraton. Melihat dan menikmati peninggalan yang ada dalam keraton. Mungkin kami yang salah dalam menentukan hari. Jarak jogja dan solo juga tidak jauh. Akhirnya kami pasrah dan berlapang dada. Kami memilih untuk duduk-duduk santai di beranda keraton sambil berfoto ria mengabadikan momen kunjungan anak muda. He he he..
Ketika kami hendak berfoto di depan kaca dan pintu keraton, kami dilarang naik menggunakan alas kaki. Jika memang ingin berfoto silahkan tapi dimohonkan untuk menanggalkan alas kaki. Larangan itu disampaikan untuk semua orang yang ada disana yang ingin menginjakkan kaki diatas ubin depan keraton. Namun ada hal yang berbeda saat terlihat keluarga yang sepertinya cukup berada ingin berfoto. Mereka dibolehkan naik tanpa harus menanggalkan alas kaki. Loh.. kok gitu??!!
Keluarga berada itu beranggotakan empat orang. Suami-istri dan dua orang anak mereka. Ketika mereka menginjakkan kaki keatas ubin keraton, petugas yang mengawasi hanya membiarkan begitu saja. tak melarang sedikitpun namun malah melayani dan mempersilahkan mereka berfoto-foto ria seenaknya. Kenapa petugas bisa seperti itu? apakah petugas merasa segan? Saya lihat petugasnya memang masih muda. Seorang pemuda.
Ketika kami menjumpai fenomena seperti itu kami bertiga merasa sangat kesal. Apakah hanya orang kaya yang dipersilahkan seperti itu? apakah orang kaya boleh berbuat seenaknya? Apakah orang berada harus dilayani seperti itu? kami sempat berburuk sangka lantaran rasa kecewa yang menyesakkan dada.
Kami mencoba protes. Tapi kami lebih memilih diam. Rasa protes hanya kami tunjukkan dengan memandangi tingkah laku keluarga kaya itu. kami pandangi dengan ekspresi wajah tidak menyukai kelakuan mereka. Namun mungkin karena mereka orang kaya jadi tidak peduli seperti apa kami memandangi mereka. Mereka seperti tidak punya rasa peka terhadap sekitarnya. Mereka malah enak-enakkan foto-foto tanpa menghiraukan sekitarnya.
Dari sana kami berpikir, apakah orang kaya boleh meremehkan keraton dengan berbuat seperti itu? apakah petugas keraton membeda-bedakan mana orang biasa dan mana orang berada? Hingga saat ini kami masih merasa kecewa dan selalu bertanya-tanya.. ingin mengetahui jawaban pastinya, namun yang mampu menjawabnya mungkin hanya “rumput yang bergoyang… “
Selayaknya petugas tidak boleh berbuat seperti itu. seperti apapun orang berkunjung, orang kaya atau biasa, pejabat atau rakyat, semuanya harus dilayani dengan baik tanpa membeda-bedakan. Tak peduli mereka kaya atau tidak. Yang jelas yang namanya aturan dan tata tertib harus tetap berlaku sama pada semua orang.
Pengunjung juga hendaknya bersikap sewajarnya. Ada tata etika yang seharusnya dipahami oleh wisatawan. Jika berkunjung ke tempat-tempat yang sangat dihormati dan dihargai seperti keraton, maka wisatawan juga harus menghormati dan menghargai sebagaimana mestinya. Jadilah wisatawan yang beretika,itu jauh lebih baik!
Dengan tulisan ini semoga ada baiknya untuk kita semua. Terutama bagi para calon pengunjung. Berwisatalah dengan baik. Dengan menghargai kearifan lokal yang ada. Jadilah wisatawan beretika, oke..
Salam..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H