Tahun 2014 ini adalah tahun politik. Di bulan april ini Indonesia akan memilih pemimpin-pemimpin baru dari legislatif hingga presiden. Inilah saat bagi kita bangsa Indonesia untuk memilih menentukan pemimpin baru yang akan membawa kita kepada perubahan yang lebih baik untuk lima tahun ke depan.
Setiap tahun jumlah calon pemilih akan berganti. Jumlahnya juga akan bertambah dengan kehadiran anak-anak muda yang sudah cukup usia alias telah berumur 17 tahun. Bagi yang tahun ini baru pertama kali ikut pemilu, akan ada pengalaman baru sebagai warga negara yang memiliki hak suara untuk memilih.
Namun, h-1 sebelum pencoblosan, masih banyak ditemukan anak-anak muda yang kurang antusias untuk mengikuti pemilu tahun ini. Bahkan banyak sekali ditemukan anak muda yang tidak ikut mencoblos padahal sudah punya hak suara. Kurangnya antusias anak muda dalam pemilu tahun ini tentu ada alasannya.
Pengamatan langsung dilakukan di kota Jogja sebagai kota pelajar. Jumlah pelajar atau mahasiswa yang notabene anak muda di kota ini sangat besar jumlahnya. Mereka datang dari berbagai daerah dan pelosok negeri. Kurangnya antusiasme anak muda ini kebanyakan ditemukan pada pelajar atau perantau muda.
Di salah satu asrama kedaerahan yang ada di kota Jogja, kami mendapati cukup banyak jumlah mahasiswa yang punya hak suara malah belum terdaftar sebagai pemilih. Hal tersebut diketahui setelah menanyakan langsung kepada para mahasiswa atau warga asrama tersebut dan diketahui bahwa sebagian besar penghuni asrama tidak ikut memilih.
Jumlah asrama kedaerahan yang dihuni oleh para mahasiswa di kota Jogja ini cukup banyak. Bisa jadi hal yang sama juga terjadi pada para mahasiswa di asrama kedaerahan yang lain. Ini baru yang tinggal di asrama kedaerahan. Lalu bagaimana sikap mahasiwa perantau muda yang tinggal sendiri atau ngekos? Jumlahnya tentu jauh lebih banyak lagi.
Selain yang ditemukan di asrama, ternyata juga banyak mahasiswa yang tidak ikut memilih yang kami temui di lingkungan kampus. Sebagian besar mahasiwa statusnya memang sebagai perantau muda.
“saya tidak ikut memilih pada pemilu tahun ini karena tidak sempat pulang,” ujar Nadhir mahasiswi salah satu universitas di kota Jogja.
Kebanyakan mahasiswa sebagai perantau muda memang tidak sempat pulang dan memilih di daerah asal sesuai kTP. Perhatian mahasiswa lebih difokuskan pada kegiatan perkuliahan yang meliputi kegiatan-kegiatan evaluasi seperti UTS dan pengerjaan tugas akhir sebagai syarat kelulusan.
Seperti contohnya di kampus tempat saya kuliah, beberapa minggu sebelum hari pencoblosan ini bertepatan dengan masa ujian tengah semester (UTS). Para mahasiswa sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian sehingga semua perhatiannya terfokus pada buku dan materi perkuliahan. Hal tersebut menyebabkan mahasiswa tidak sempat untuk memikirkan masalah pemilu.
Bukankah kita tak harus memilih di PPS daerah asal kita? Dimanapun kita berada saat ini, kita bisa ikut memilih dengan mengurusnya di kantor KPU di daerah tempat kita berada. Ya, itu benar. Kita tetap bisa ikut memilih di mana pun kita berada bahkan di luar negeri sekali pun.
Lalu kenapa perantau muda masih tetap tidak mendaftarkan diri sebagai pemilih?
“Malas rasanya ngurus-ngurus ke Pak RT atau jika harus ke kantor KPU” ujar Andri salah seorang mahasiswa dari luar daerah.
Kebanyakan perantau muda memang merasa enggan untuk melakukan pengurusan ke RT atau KPU terdekat. Selain faktor yang menyebabkan kemalasan alasanya yang di atas tadi, mahasiswa memiliki banyak kesibukan, ditambah dengan syarat-syarat untuk ikut memilih yang tidak dapat diserahkan.
Persyaratan yang harus ada; KTP, kartu keluarga (KK) dan surat keterangan pindah yang diberikan daerah asal. Tentu beberapa berkas tersebut harus dikirimkan dari daerah asal. Sangat merepotkan sekali. Sedangkan anak muda biasanya malas dengan hal-hal seperti itu.
Apalagi faktor kemalasan atau kurang antusiasnya perantau muda untuk memilih adalah kurangnya ekspektasi kepada para caleg. Banyak caleg yang tidak berkompeten, tidak jujur, dan belum tentu bisa memenuhi janji-janjinya. Sehingga percuma jika harus dipaksakan untuk memilih.
Perantau muda yang sudah punya hak untuk memberikan suara jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit. Suara-suara anak muda seharusnya dapat dirangkum untuk menggerakkan sebuah kekuatan jika menginginkan seseuatu yang berbeda. Sayang sekali, jika suara-suara perantau muda ini terbuang sia-sia karena tidak ikut memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H