"Anakku, siapa kini yang akan menjagamu? Ibu harus pergi. Waktuku telah tiba. Siapa lagi yang akan menguatkanmu saat kau dicerca dan dihina? Ibu takkan lupa fitnah yang sungguh brutal kepada keluarga kita. Sangat menyakitkan. Alhamdulillah Gusti Allah menjaga kita anakku. Jangan pikirkan ibumu ini. Kuhabiskan usiaku dalam kemiskinan dan kulahirkan engkau dalam kesederhanaan. Ibu kuat. Tak pernah kubermimpi kau akan menjadi Presiden. Tak cukup langit dan bumi bagiku untuk menyatakan kesyukuranku untuk itu. Ibu bahkan tak paham apa pekerjaan seorang Presiden itu. Â Pasti berat. Begitu banyak orang yang harus kau urusi.
Tak usah kau pedulikan Ibu ini anakku. Cukup sudah kebahagiaanku melihatmu tak berubah menjadi manusia sombong. Mungkin kamu tahu begitu banyak orang datang padaku dengan maksud menjadikanku Ibu yang bisa mengaturmu untuk kepentingannya. Ibu mohon maaf sebab Ibu tetap menerima mereka. Tak mungkin Ibu tolak mereka yang sudah bersusah payah datang ke Solo dari berbagai tempat yang jauh. Itu bukan karakter keluarga kita. Tapi tak pernah kusampaikan kepadamu keinginan mereka sebab Ibu paham itu sangat tak layak. Ibu tak mau mengganggumu. Â Lagipula Ibu tak paham maksud mereka. Bagi Ibu, kamu sehat dan bisa menjadi Presiden yang baik saja sudah lebih dari cukup.
 Jaga dirimu anakku. Masih tersisa waktu empat tahun bagimu untuk menyelesaikan masa tugasmu. Masih lama. Itu kesedihan Ibu. Ibu tak bisa menemanimu lagi anakku. Gusti Allah telah memanggilku. Tapi Ibu telah memohon kepada Gusti Allah untuk menjagamu lebih baik dari Ibu. Percayalah Anakku. Gusti Allah tahu bagaimana keluarga kita  menjaga hati kita. Kutuliskan kesederhanaan dengan baik dalam hatimu, jantungmu. Kuminumkan air susu terbaik kepadamu selama kau kusapih. Air susu dari seorang Ibu yang tak meminta banyak kepada Gusti Allah kecuali kebaikan alam kepadamu, keluarga kita.
Anakku, menunduklah ke bumi ketika kau dihina. Lalu menengadahlah. Tak ada lagi Ibumu yang mencium keningmu kini. Tapi Ibu ada disitu memegang pundakmu, mengusap kepalamu.
Ibu yakin kau bersedih sebab kamu mencintai Ibumu.
Kamu harus tahu betapa Ibu merasa terhormat dipilih oleh Gusti Allah melahirkanmu dan merawatmu. Melihatmu menjadi Presiden hanya pelengkap bagiku. Sungguh. Terkadang ingin kutarik kau dalam dekapan Ibu saat kamu dihinakan. Ibu tak peduli mereka menuding sekasar apapun kepada Ibu. Keselamatanmu yang utama bagi Ibu. Gusti Allah telah memberiku demikian banyak kebaikan, pada keluarga kita. Dan kamu, Joko Widodo, adalah bentuk kebaikan itu.
Ibu pamit anakku".
-------
Bambu Apus, Jakarta, 26 Maret 2020
Akbar Faizal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H