Mohon tunggu...
Akbar Faizal
Akbar Faizal Mohon Tunggu... Konsultan - Politisi

Ayah dari tiga anak hebat, suami dari seorang istri yang tangguh dan anak dari seorang veteran TNI yang tak pernah menyerah pada seluruh tugas tempurnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tahir, Kamu Orang Baik bagi Hidup Ini

13 Januari 2017   14:02 Diperbarui: 13 Januari 2017   15:50 5166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Dan inilah kesalahan Bu Guru yang membuat Tahir luka. Ia sangat menyukai radionya yang dibanting ibu guru hingga berkeping. Tahir punya arloji murah yang melilit di tangannya. Namun ia lebih percaya informasi waktu sholat dari Radio As’adiyah. Tahir semakin pendiam sejak hari itu. Saya tak lagi pernah mendengar dan atau mencoba mengingat tentangnya setelah lulus lebih dahulu dari sekolah SMP kami itu.

Saya pernah mengingatnya saat mulai menjadi wartawan di sebuah koran nasional ketika meliput acara pemberian penghargaan lingkungan Kalpataru. Tahir bersama bapak dan beberapa saudara lelakinya saya dengar pernah membendung sungai yang setiap hari harus ia seberangi ke sekolah itu dengan cara tradisional. Selama bertahun-tahun mereka mengangkut tanah liat dari galian empang di sekitar sungai untuk membendung sungai.

Salah satu tujuannya adalah membuat kanal untuk mengantisipasi banjir yang menerjang setiap tahunnya menghanyutkan harapan petambak yang selanjutnya terlilit utang bibit bandeng dan udang. Saya bermaksud mengajukan Tahir sebagai calon penerima Kalpataru. Sayangnya saya tak lagi mengetahui keberadaannya. Beberapa kali saya tanyakan keberadaaan Tahir ke warga desa setiap pulang kampung. Namun tak ada yang mengetahuinya secara pasti. Sebenarnya mereka bingung mengapa saya menanyakan dan mencari Tahir. Mereka tak tahu saya menyimpan kenangan pertemanan dengannya.

Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke desa saya kembali untuk tujuan reses DPR. Saya juga singgah ke desa sebelah atas undangan seorang tokoh masyarakat untuk sekadar mampir di masjid desa yang sedang merayakan Maulid Baginda Rasul. Seorang lelaki berwajah tua dengan kopiah tinggi duduk di shaf ketiga menatapku lekat. Tapi saya tak terlalu memperhatikannya hingga saya pamit.

Namun sebuah sentuhan di lengan memaksa saya untuk berbalik. Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk mengidentifikasi siapa gerangan dia. Dia menatapku dengan wajah agak khawatir. Saya mengenalinya kini. Tahir. Kupeluk dia dalam tatapan heran warga lainnya. Tahir terlihat jauh lebih tua dari usianya yang lebih muda dariku. Tapi naluriku berkata Tahir takkan pernah berubah. Dia tetap orang baik. Saya sangat yakin tentang itu. (*)

Jakarta, 12 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun