Tak ada yang berani lewat di jalan kecil yang sejajar dengan alur sungai dan berakhir di muara berbakau saat maghrib tiba. Ada hantu yang sering menampakkan diri di atas batu besar persis di bawah pohon raksasa. Begitu cerita yang makin santer terdengar. Kadang ceritanya menjadi berlebihan. Ada hantu yang sering melolong perih yang membuat bulu kuduk berdiri.
Ada pula yang mengisahkan beberapa kali melihat sendiri sesosok perempuan berbaju putih yang duduk di atas batu sambil menimang bayi yang tentu saja juga bayi hantu. Paling sering hantu itu terlihat pada saat hujan keras atau saat banjir setelah hujan semalaman. Tak ada yang berani membantah cerita-cerita itu. Kisahnya semakin seru dan menyeramkan saat Si Pendengar cerita menceritakan kembali dalam versinya sendiri. Padahal hantu yang dimaksud adalah Tahir, adik kelas saya di SMP.
Tahir bukan atlet, apalagi hantu. Meski badannya gempal pendek, cara berjalannya masuk kategori gemulai. Tapi otot kaki dan lengannya kuat kasar. Beberapa kali kupergoki kuku kakinya berwarna hitam kemerahan sebagaimana kaki para petambak di kampung kami. Tahir keluarga petambak. Tinggal di desa seberang sungai mengharuskannya bergantung pada kebaikan alam, baik untuk tambak ikan bandeng mereka maupun untuk pergi ke sekolah. Jika banjir datang setelah hujan semalaman, ikan-ikan ditambaknya akan hanyut.
Kerugian besar pasti menimpa, dan Tahir tak akan bisa kesekolah. Arus sungai terlalu keras dan dalam. Tak ada jembatan penyeberangan ke kampung sebelah. Namun paling repot jika banjirnya datang saat Tahir sedang di sekolah, alamat dia tak akan bisa pulang. Dia harus menunggu di bawah pohon besar di tepi sungai. Seringkali Tahir harus menginap di atas batu di bawah pohon besar itu jika gelap lebih cepat datang. Batu besar itu sebagai ranjangnya sekaligus untuk sholat. Tahir sangat religius. Ia tak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Kopiah yang sedikit lebih tinggi dari ukuran kopiah kami saat itu menjadi trademark Tahir, plus tas sekolah anyaman berisi sarung selain beberapa buku tulis.
Terlalu pendiam. Saya tak terlalu yakin berapa kali mendengar suara Tahir selama saya mengenalnya. Jika kami berbaris upacara bendera di pagi hari atau upacara penurunan bendera saat sekolahan usai, Tahir terlihat selalu berdiri di bagian belakang dalam barisan anak-anak sekelasnya. Satu-satunya pelanggaran yang paling sering dilakukannya hanya terlambat datang ke sekolah. Siswa yang terlambat pasti terlihat mencolok sebab pintu gerbang sekolah langsung berhadapan dengan barisan upacara. Tapi Tahir tak pernah berupaya mengelabui guru piket yang berjaga di depan gerbang utama. Bersama beberapa kawan yang hobi terlambat, saya seringkali memutar ke arah kebun nanas penduduk di belakang sekolah dan menerabas pagar kawat berduri. Beberapa kali seragam kami robek di bagian punggung karenanya dan menjadi masalah saat ditanya orang tua masing-masing.
Kami sering meledeknya Pak Ustads karena kopiahnya yang unik. Juga karena perilakunya yang sangat sopan. Jika disuruh guru ke depan kelas, Tahir melangkah dengan penuh rasa malu. Tangannya saling berpegangan di belakang tubuhnya. Salah satu sikap Tahir yang kami kenang adalah pantang kekerasan apalagi membunuh. Jika ada nyamuk yang hinggap di tangannya, ia hanya meniupnya agar si nyamuk pergi yang tentu saja akan kembali lagi. Lha wong bebas dari kematian koq. Begitu seterusnya. Tak tega dia membunuhnya dengan tepukan keras. Jika si nyamuk nakal berputar di dekat telinganya, ia mengibaskan tangan dengan lembut sekadar mengusir.
Pagi itu, ruang kelas sebelah yang biasanya ribut oleh siswa kali ini senyap dan hanya menyisakan suara Ibu Guru Bahasa Inggris yang marah setengah berteriak. Tak jelas apa kesalahan siswa. Petaka bagi Tahir. Tergopoh-gopoh masuk ke ruang belajar, Tahir tak paham badai sedang menerjang. Bu Guru sedang ngamuk. Sebuah teriakan membuat lutut Tahir gemetar. Bu Guru mendatangi kursinya dan menarik keras tas anyamannya lalu membantingnya dengan keras ke lantai. Praaak. Buku, sarung, kopiah berhamburan dan juga sebuah radio kecil dua band merek transistor hancur berantakan.
“Apa ini?” kata Bu Guru masih dalam nada marah.
“Radio, Bu,” Tahir menjawab putus asa
“Kenapa bawa radio ke sekolah?” Bu Guru makin marah.
“Untuk dengar waktu masuk sholat dari Radio As’adiyah Bu,” jawab Tahir terpatah-patah ketakutan.
Bu guru tiba-tiba terdiam, tercekat. Ada rasa penyesalan di wajahnya.
Pesantren As’adiyah adalah pesantren terbesar di kawasan timur Indonesia saat itu dan mungkin hingga kini. Santrinya berasal dari seluruh Indonesia bahkan dari kawasan Asean seperti Malaysia, Thailand daerah Pattani, Filipina Selatan bahkan dari Bangladesh. Kebesaran nama KH M.Yunus Martan, pendiri dan pemimpin puncak pesantren adalah penarik utama santri berdatangan ke Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, kota tempat Pesantren As’adiyah berdiri. Jika bulan puasa tiba, santri-santri As’adiyah disebar ke masjid-masjid di seluruh pelosok Sulsel hingga ke seantero negeri untuk berceramah. Selain menjadikan santri tangguh dalam syiar Islam, juga menjadi alat marketing yang sangat efektif bagi keberadaan As’adiyah.
Semakin lengkap sebab As’adiyah punya stasiun radio AM. Lemparan siarannya menjangkau Sulawesi Tenggara. Masa itu, praktis Radio As’adiyah satu-satunya media radio selain RRI dan TVRI tempat kami mendapatkan informasi dunia luar. Suara para penyiarnya yang khas masih terngiang di telinga kami hingga saat ini. Kesalahan penyebutan di berbagai kosa kata semisal ‘mungkin’ menjadi ‘mungkinG’ (kelebihan huruf ‘g) atau kata ‘penerangan’ berubah menjadi ‘penerangaM’ atau kata ‘pedagang’ berkurang menjadi ‘pedagan’ kami anggap wajar dan dimaafkan. Khas Sulsel. Itulah SDM yang tersedia saat itu. Kini, Radio Suara As’diyah telah beralih ke frekuensi FM dengan teknologi dan manajemen yang jauh lebih baik sejak di-take over oleh kawan sekolah saya di SMA, salah satu keluarga kaya di kampung kami sejak dulu namun tetap menjadi bagian dari As’adiyah.