Jacques Pangemanann, dalam Rumah Kaca, tulisan Pramoedya Ananta Toer (Pram), sedikit menyinggung anak muda Indonesia yg membakar semangat bangsanya.
Pram menulis Rumah Kaca di zaman yg jauh sudah lampau. Zaman pergolakan cara berpikir, Asia, Eropa atau melayu. Baru saja Tiongkok bangkit di Asia. Menginspirasi cara berpikir revolusioner; meninggalkan aristokrasi dan ulet mengolah demokratisasi.
Sun Yat Zen adalah tokohnya. Anak muda yang mendongkrak martabat jelata berkuasa. Para raja di sana menyingkir. Pemimpin Tiongkok lahir dari proses demokrasi. Kekuasaan berada dalam genggaman bersama. Siapa menulis dan berpikir, merekalah yang mewarnai kekuasaan.
Anak Muda hebat bukanlah mereka yg penuh dengan simbol dan lambang-lambang kebesaran. Anak Muda hebat itu, Â bukan pula mereka yang bermewah-mewah di depan kekasihnya. Mereka --pemuda hebat itu-- berpakaian sederhana, tapi langkahnya tegap dipenuhi kewibawaan yg kukuh. Pemunculannya mengesankan dia seorang yg punya pendirian.
Ia mampu menuliskan pikiran-pikirannya yang terukur. Tutur katanya membakar semangat, dan bisa memotivasi orang lain, bangkit dan berubah.
Anak Muda yang berkeperibadian, selalu menjadi dirinya sendiri -- tak perlu menjadi orang lain untuk melakukan sesuatu. Ia tak pernah membanggakan keturunan dan kebesaran nenek moyang.
Jacques Pangemanan belum menemukan anak muda seperti itu dalam Seratus Tahun ini.
Anak Muda hebat, biasanya lahir dari pergolakan. Bukan dari suguhan kasih sayang yang memanjakan. Bukan dari nama besar nenek moyang yg dibanggakan. Dia ada karena dia berpikir, bekerja dan melakukan yg terbaik.
Karena pengetahuan dan kemauan baiknya, anak muda hebat itu dapat mempersatukan ribuan orang tanpa mengatasnamakan raja, jabatan, pangkat atau iblis sekalipun.
Beribu-ribu org mengikutinya, terdiri dari elit hingga abangan. Juga ia diterima oleh golongan proleetar. Dia tak gagap memilih menu makan di restoran-restoran mewah, dan tak risih makan di warung kaki lima. Dia hebat jika di atas, dan juga hebat jika di bawah.
Bagaimana anak muda kita sekarang?
Jacques Pangemanan, baru menemukan satu org saja. Belum lebih. Anak Muda sekarang, mau berkuasa dan sekaligus jadi raja.
Tentu beda dengan anak muda yg bernama Sun Yat Zen, di Tiongkok, seabad yang lalu. Menyingkirkan raja, dan menggenggam kekuasaan tanpa menggunakan mahkota di kepala. Ia memajukan Tiongkok dengan semangat kebersamaan.
Begitulah. Tiongkok hanya satu cerita yg pernah memiliki anak muda berpengaruh tanpa silau dgn simbol-simbol dan gelar-gelar kekuasaan : raja, pangerang atau karaeng.
Negeri kita pernah punya Soekarno, Soeharto, Habibie, SBY, Â dan kini Jokowi. Mereka pemimpin tanpa gelar dan simbol kerajaan. Sekalipun mereka diberi gelar oleh tokoh-tokoh adat sebagai pangeran atau raja atau karaeng atau apa saja, Soekarno tetap Soekarno, Soeharto tetap Soeharto, anak petani dari Kemusuk, Habibie tetap BJ Habibie, anak kampung yang cerdas, SBY tetap Bambang Yudhoyono yang tinggal di Cikeas, Jokowi tetap Joko Widodo, pemimpin yang datang dari Solo menaklukkan Ibu Kota, tanpa gelar Sultan.
Saya tak hanya kagum pada Sun Yat Zen, tokoh Tiongkok itu. Saya pun salut dan bangga dengan pemimpin bangsa kita yg pernah ada yg selalu menjadi dirinya sendiri.
Mereka malu jadi raja di era demokrasi. Sebab menjadi raja hari ini, Â berarti mempertahankan cara berpikir kolot, kampungan alias ketinggalan zaman.
Akhirnya, tulisan ini kuwajibkan anak saya membacanya. Jadilah diri kalian dengan keinginan kalian. Banggalah pada dirimu sendiri sebab engkau generasi yg membanggakan. Jadilah kelak pemimpin tanpa harus menjadi raja.
Khalil Gibran, dari Lebanon, menulis untuk kita. Anak-anakmu bukanlah milikmu, mereka anak sang zaman yang rindu pada dirinya sendiri. Agar mereka melejit seperti anak panah. Engkau melepas busurnya, dan ia mencapai sasarannya.
Akhirnya, saya ingin selalu menjadi Akbar Endra tanpa gelar! #salamAE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H