Tahun politik yang mencapai puncaknya pada 17 April 2019 nanti, sungguh semakin banyak gesekannya. Mulai dari gerakan #2019GantiPresiden hingga pada gerakan #2019HarusNikah menjadi suguhan menarik. Baik di media massa maupun dalam debat atau selingan meme di media sosial.
Agenda demokrasi melalui proses suksesi langsung untuk menghadirkan pemimpin: Presiden hingga Anggota MPR- DPR, DPD dan DPRD usungan Partai Peserta Pemilu 2019 diwarnai dengan perebutan simpati rakyat sebagai pemilik suara yang akan menentukan siapa bakal mereka percaya mengurus negeri tercinta ini, ke depan.
1000 cara akan digunakan para politikus agar mereka mendapat mandat rakyat di bilik suara nanti. Ada yg mengandalkan basis keluarga dan warga kampungnya, ada juga yang hanya mensosialisasikan visi dan misi lalu menjanjikan harapan, ada pula yang menyiapkan amplop bersisi uang yang akan dibagikan kepada pemilih (money Politik) utk meraih kursi-kursi politik yang diperebutkan.
Bahkan, ada juga yang blusukan menjabat tangan rakyat dan mengajak mereka bersama mengisi ruang kekuasaan dengan cara memilihnya sebagai calon anggota parlemen.
Itu semua lumrah. Tapi yang sedikit mengganggu batin saya, adanya sejumlah politisi yang mendatangi dukun dan memaksakan nasib mereka diramal pada akhir tahun politik nanti. Petunjuk dukun ini tentu umum-umum saja. Agar dipilih rakyat dan meraih jabatan terhormat nanti, harus melalui syarat yg sesuai disyaratkan sang dukun. Syarat itu, sadar atau tidak, telah menyembelih iman di dada para politisi yg memercayai dukun.
Di sebuah warkop di tepi kota Barru, saya ngopi bersama keluarga. Seorang mantan "garong" mendatangi saya dan memperkenalkan seorang kawannya. Menatap wajah saya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ngeri juga.
Lalu ia memperkenalkan kawannya, yang mengaku sebagai orang pintar dan memiliki ilmu supranatural. Tapi ia tak ingin disebut sebagai dukun.
"Pak AE, setelah saya lihat fotonl Anda dan membaca aura di wajah anda, peluang Anda terpilih sangat besar!" Kata pria yang mengaku supranaturalis itu.
Saya diam dan membiarkannya bicara banyak. Karena apa yg diucapkan bagi saya biasa saja. Pilihan katanya juga lazim, semua org punya peluang, tapi harus ada usaha. Logika batin saya menjawab dalam hati.
"Hanya saja Pak AE, Anda punya saingan banyak. Kalau mau terpilih saingannya itu harus Pak AE kalahkan mereka!"
Dalam hati saya tertawa. Bibir saya tersenyum. Logika supranaturalnya betul, ada saingan atau lawan dan kalau mau menang mereka harus saya kalahkan. Itu Pasti. Anak kecil juga tahu!
Dia kembali melanjutkan. "Saya punya ilmu utk menang. Dan mau saya kasih jimat agar Pak AE mengalahkan para saingannya itu!"
Lelaki paruh baya ini membuka tasnya. Ia mengeluarkan potongan kayu kecil. Yah, kayu manis. Dibungkus kain merah. Ada juga tulisan Arab.
"Jimat ini Pak AE harus pakai. Kalau mau buang hajat, harus dilepas agar jimatnya tidak kehilangan barokahnya!" Lalu ia menyodorkan jimat dari kayu manis yang berbungkus kain merah.
Ini soal akidah saya sebagai Muslim, Umat Rasulullah SAW. Saya tidak mempercayai jimat, karena saya beriman kepada Allah! Titik.
"Maaf Pak!" sambil menepuk pundak "sang dukun" sebagai tanda penolakan secara halus. "Saya ini dilarang memakai jimat! Jadi Jimatnya tak usah saya pakai. Cukup bapak simpan saja. Kalau bapak berkenaan, bantu saya bertemu banyak orang agar mereka bisa mengenal saya, dan saya pun mengenal mereka!"
Wajah lelaki itu agak mengkerut. Saya tidak peduli. Wajib bagi saya menghindari hal-hal yang bisa membuat saya musyrik. Saya harus tegas menolak jimat itu.
"Pak AE mau menang atau mau kalah?" ia bertanya dengan wajah agak ketus.
"Saya mau terpilih Pak. Tapi kalau terpilih gara-gara pakai jimat, lebih baik tidak usah. Saya mau terpilih dengan cara bapak dan keluarga bapak pilih saya nanti!"
Ia menjabat tangan saya. JIMATNYA ia simpan kembali ke dalam tasnya yang sdh pudar. Ia lalu memperkenalkan namanya, Ahmad Robert Bentul. Ia dipanggil Bentul. Konon ia diberi nama kecil Bentul karena ayahnya memanggilnya Bentul, seperti nama rokok Bentul Biru kesukaan ayahnya.
Bentul tak lagi bicara soal jimat dan hal-hal yang keramat. Ia mengulas soal politik. Bahkan ia mengaku ngefans dengan AHY dan sangat mengidolakan SBY. Ia pernah menerima BLT dan bangga memiliki pemimpin yang berwibawa seperti SBY.
Saya kembali menyimak.
"Pak SBY itu gagah dan cerdas. Kenapa yah cuman dua kali saja bisa menjabat Presiden padahal Soeharto berkali-kali jadi Presisen. Ini gara-gara reformasi!" kata Bentul lugu.
"Harus seperti itu Pak Bentul. Harus ada regenerasi. Setiap zaman harus ada pemimpin yang lahir, jangan dibelunggu generasi kita dengan cara berkuasa terlalu lama. Reformasi ini tujuannya sudah benar, Pak Bentul!" saya mencerahkan sejenak.
Akhirnya Pak Bentul menyusun agenda. Ia ingin  membawa saya bersilaturahmi dengan keluarganya. Ia juga ingin mengundang sahabat dan teman-temannya untuk berkenalan dengan saya.
Dalam hati saya berdzikir. La Ilaha Illallah, Subhanallah. Saya akan bersilaturahim dengan keluarga besar Bentul tanpa jimat. Dan ia tidak kecewa sedikitpun Jimatnya itu saya tolak.
Pak Bentul menceritakan pengalaman politiknya 5 Tahun silam. Konon, ada beberapa Caleg yang memakai jimatnya. Tak ada yang terpilih karena mereka lupa melepasnya saat kencing. Dia bercerita sambil tertawa lepas. Saya pun mafhum.
Begitulah dinamika politik di akar rumput. Saya ikuti saja arus positif dan mengalir seperti air. Bagi saya berpolitik tanpa memakai jimat adalah upaya mengokohkan iman dan menguatkan akidah. Cukup usaha dan pasrahkan hasil pada putusan Langit Tertinggi. Semua sudah tercatat dalam kitab Lauh Mahfudz. #salamAE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H