Dia kembali melanjutkan. "Saya punya ilmu utk menang. Dan mau saya kasih jimat agar Pak AE mengalahkan para saingannya itu!"
Lelaki paruh baya ini membuka tasnya. Ia mengeluarkan potongan kayu kecil. Yah, kayu manis. Dibungkus kain merah. Ada juga tulisan Arab.
"Jimat ini Pak AE harus pakai. Kalau mau buang hajat, harus dilepas agar jimatnya tidak kehilangan barokahnya!" Lalu ia menyodorkan jimat dari kayu manis yang berbungkus kain merah.
Ini soal akidah saya sebagai Muslim, Umat Rasulullah SAW. Saya tidak mempercayai jimat, karena saya beriman kepada Allah! Titik.
"Maaf Pak!" sambil menepuk pundak "sang dukun" sebagai tanda penolakan secara halus. "Saya ini dilarang memakai jimat! Jadi Jimatnya tak usah saya pakai. Cukup bapak simpan saja. Kalau bapak berkenaan, bantu saya bertemu banyak orang agar mereka bisa mengenal saya, dan saya pun mengenal mereka!"
Wajah lelaki itu agak mengkerut. Saya tidak peduli. Wajib bagi saya menghindari hal-hal yang bisa membuat saya musyrik. Saya harus tegas menolak jimat itu.
"Pak AE mau menang atau mau kalah?" ia bertanya dengan wajah agak ketus.
"Saya mau terpilih Pak. Tapi kalau terpilih gara-gara pakai jimat, lebih baik tidak usah. Saya mau terpilih dengan cara bapak dan keluarga bapak pilih saya nanti!"
Ia menjabat tangan saya. JIMATNYA ia simpan kembali ke dalam tasnya yang sdh pudar. Ia lalu memperkenalkan namanya, Ahmad Robert Bentul. Ia dipanggil Bentul. Konon ia diberi nama kecil Bentul karena ayahnya memanggilnya Bentul, seperti nama rokok Bentul Biru kesukaan ayahnya.
Bentul tak lagi bicara soal jimat dan hal-hal yang keramat. Ia mengulas soal politik. Bahkan ia mengaku ngefans dengan AHY dan sangat mengidolakan SBY. Ia pernah menerima BLT dan bangga memiliki pemimpin yang berwibawa seperti SBY.
Saya kembali menyimak.