Gerakan Mahasiswa 1998, Â 20 Tahun silam, sungguh luar biasa. Di saat mapan-mapannya kekuasaan Orde Baru, yang dibangun selama 32 Tahun itu, ditentang oleh mahasiswa karena telah mengibuli rasa keadilan dan memporak-porandakan perekonomian bangsa. Ekonomi hancur, krisis ekonomi tak lagi bisa dibendung. Harga melonjak tak terkendali. Banyak orang kehilangan pekerjaan. Hidup rakyat makin susah.
Para elit bungkam dengan keadaan. Malah, sebahagian tokoh-tokoh politik, sibuk menjilat penguasa, Presiden Soeharto -- yang menyelenggarakan kekuasaannya dengan cara-cara otoriter. Keadaan menjadi semakin buruk. Mahasiswa tak tinggal diam. Mereka menggelar mimbar bebas di kampus-kampus.
Di sinilah awal bangkitnya kembali gerakan moral mahasiswa. Tak ada lagi toleransi kepada Soeharto beserta antek-anteknya. Mahasiswa menuntut : Ganti Presiden Soeharto! Tuntutan ini semakin lantang. Tak hanya melalui mimbar bebas, tapi mahasiswa sudah berani turun ke jalan.
Saya ingat. Peristiwa 20 Tahun lalu, jauh dari hiruk pikuk ibu kota, sejumlah Mahasiswa Makassar yang tergabung pada Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), paling agresif dan tak henti-hentinya menyuarakan perubahan. Mulai dari membentuk Partai Baru yang dinamakan Partai Mahasiswa Pro Demokrasi (PMPD). Pembentukan PMPD dilakukan di kantor LBH Makassar, Jalan Veteran Selatan, Makassar
Sebagai Koordinator AMPD ketika itu, saya menginisiasi agar dilakukan deklarasi. Baca (Eep Saifullah Fattah -- Penakluk Orde Baru, 1999), Dan Kekerasan Politik Sebagai Olah Raga -- Hermawan Sulistyo, 1999). Tujuan pembentukan PMPD bukan sebagai peserta pemilu. Ini adalah gerakan moral (moral politik) untuk membangun kesadaran berdemokrasi. Bahwa, rakyat tidak boleh dibelenggu untuk berpartai atau berafiliasi dengan Organisasi Sosial Politik bentukan penguasa. Â
Rakyat boleh mendirikan partai, bebas berserikat dan berkumpul untuk menyatakan pendapat. Negara tidak boleh mengebiri kebebasan rakyatnya, karena kebebasan ini merupakan hak asazi manusia yang dijamin oleh konstitusi kita
Ironisnya, setelah pendirian partai baru ini, justru penguasa, atas nama negara marah. AMPD dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Aktivisnya, Akbar Endra dan kawan-kawan, ditangkap dan diintrogasi Bakortanasda Sulawesi terkait rencananya mendirikan partai baru.
Menilik pengalaman ini, saya meyakini gerakan yang kami lakukan -- turut serta menumbangkan Orde Baru-- murni adalah gerakan moral. Pasca lengsernya Soeharto, ibarat koboi, mahasiswa yang turun ke jalan kembali ke kampus tanpa mendapat penghargaan dan tanpa ucapan terima kasih dari rakyat yang merasakan energi positif perubahan Indonesia sebagai negara yang demokratis Â
Presiden silih berganti, mulai dari Bj. Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, SBY dan Jokowi, tak ada hiruk pikuk dari Aktivis 98 menjilat pantat penguasa. Ada sebuah pantangan idealisme aktivis mahasiswa era 98: Pantang menjilat penguasa! Karena kami bukan generasi penjilat yang berharap nikmat penguasa. Aktivis 98 harus menjadi generasi yang kelak  dibanggakan generasi akan datang. Makanya kami pantang menjilat!
Tapi, tak boleh disalahkan jika Aktivis 98 berpolitik dan bergabung dengan partai politik. Idealisme yang mereka pernah perjuangkan tak boleh lapuk karena sedang berada dalam sistim dan pat-gulipat kekuasaan. Sebagai kader partai, pun tak salah jika mantan aktivis, anggota partainya menjadi presiden, bukan dengan simbol sebagai aktivis 98 yang pernah sukses memperjuangkan #GANTI PRESIDEN SOEHARTO sebagai langkah awal mewujudkan agenda reformasi di segala bidang.
Saya tak mau menyoal Rembuk Nasional Perhimpunan Aktivis 98 di Kemayoran, 7 Juli 2018, lalu, dan dihadiri oleh Presiden Jokowi. Ini adalah aksi individualis sahabat saya, Bang Adian Napitupulu, yang mampu menggerakkan massa banyak dan menyampaikan aspirasinya mendukung Jokowi sebagai Kader PDIP.Â
Sikap Adian ini lebih konkrit sebagai politisi yang mempunyai latar belakang aktivis. Jika ada aktivis yang turut serta bersama Adian pada rembuk nasional itu, juga tak perlu dipergunjing secara sinis. Bagi saya, itu biasa saja: wajar dilakukan karena mereka politisi dari partai yang sama. Pentolannya, adalah kader PDIP yang mengusung kadernya, Jokowi sebagai Capres ke depan.
Juga, tak bisa dipungkiri, banyak pula politisi yang berlatar belakang Aktivis 98 mendukung AHY maju bertarung di arena Pilpres 2019. Hanya saja, pendukung AHY menggunakan jas partai, karena  tak mau mempolitisasi moral gerakan aktivis 98 ke dalam politik praktis.Â
Hanya itu bedanya. Ada Andi Arief, Pentolan Aktivis 98 yang juga pernah mengalami nasib di musuhi Orde Baru pada era itu. Kami, Aktivis 98, tak mau mencenderai gerakan moral Aktivis 98 ke dalam politik praktis yang kadang harus menyembelih idealismenya demi politik kepentingan partai. Kami juga tak mau mempolitisasi rakyat dengan baju kaos yang tak etik mereka pakai untuk tujuan politik praktis.
Tentu kader Muhammadiyah, tak elok jika ia menggunakan baju berlogo Muhammadiyah mendukung Muhaimin jadi Wapres. Yang benar, jika mereka mau mendukung seseorang jadi capres, pakailah baju partai, misalna kaos PKB atau jas partai koalisinya.
Kami para Aktivis 98, sejatinya harus menjaga idealisme kampus dan juga menjauhi mental eksploitatif, sebab itu bertentangan dengan norma dan idealisme seorang aktivis.
Aktivis 98, tak bisa dipungkiri, adalah generasi heroik yang telah berhasil melakukan Gerakan Ganti Presiden pada Tahun 1998. Setelah sukses menumbangkan rezim, Aktivis 98 tak pernah datang ke penguasa yang baru untuk memohon perhatian dan dilibatkan memerintah. Mereka berjuang karena dorongan moral, bukan karena agenda politik.
Para Aktivis 98 yang tak menghadiri acara Rembuk Nasional itu, tak perlu berkecil hati dan mengumpat. Tetaplah fokus dalam perjuangan moral. Bangsa ini masih membutuhkan energi moral lebih banyak ketimbang energi politik. #salamAE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H