Oleh: Muhammad Akbar*)
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018 sudah diputuskan oleh Presiden bersama para menteri pembantu Presiden. Dalam keterangan pers yang dipaparkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro, bahwa Pemerintah memutuskan untuk memangkas kebijakan prioritas nasional dari yang sebelumnya sebanyak 23 prioritas, menjadi 10 prioritas saja. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mempertajam penggunaan anggaran. Adapun 10 prioritas nasional tersebut meliputi Pendidikan; Kesehatan; Perumahan dan Permukiman; Pengembangan Dunia Usaha dan Pariwisata; Ketahanan Energi; Ketahanan Pangan; Penanggulangan Kemiskinan; Infrastruktur, Konektivitas, dan Kemaritiman; Pembangunan Wilayah; serta Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan[1].
Bidang pendidikan dan kesehatan menjadi dua bidang yang menempati posisi puncak dalam piramida skala prioritas nasional tahun 2018 mendatang. Menarik bila ditelisik lebih jauh, sebab kedua bidang ini memang seyogyanya saling bertautan secara positif dan harusnya berjalan seirama. Program prioritas untuk pendidikan misalnya, dalam Perpres Nomor 79 tahun 2017 dipaparkan selain memprioritaskan pendidikan vokasi dan distribusi guru, program prioritas pendidikan juga menjadi program yang diselengarakan disemua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, baik formal maupun nonformal, selanjutnya program prioritas ini juga bertujuan untuk meningkatkan penjaminan mutu pendidikan, pengembanga pembelajaran berkualitas, dan inovasi. Semetara itu, prioritas nasional bidang kesehatan pada tahun 2018 terdapat tiga program prioritas yaitu Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit, dan Preventif Promotif (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat).
 Pada dasarnya, dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara sebab pendidikan adalah wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia. Kendatinya pendidikan dilahirkan untuk memperbaiki segala kebobrokan yang sudah menggumpal di segala sendi kehidupan bangsa ini. Pendidikan dimulai pada saat anak sudah bisa melihat, mendengar, serta berbicara. Saat itu anak mulai dididik dengan pola pendidikan alami dengan mencontoh apa yang mereka lihat dan dengar. Pada tahapan yang lebih konkret, pendidikan kognitif aktif dimulai pada masa pendidikan dasar atau pada rentang usia 6-12 tahun ketika anak berada di lembaga pendidikan sekolah dasar (SD).
Pertumbuhan fisik anak pada usia SD cenderung lebih lambat dan konsisten bila dibandingkan dengan masa usia dini. Rata-rata anak usia SD mengalami penambahan berat badan sekitar 2,5-3,5 kg, dan penambahan tinggi badan 5-7 cm per tahun (F.A Hadis, 1996). Menurut teori Piaget, pemikiran anak masa sekolah dasar disebut juga pemikiran operasional kongkrit (concrete operational thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek peristiwa nyata atau kongkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari panca indera, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya (logikanya)[2].
Masalah pendidikan bertalian erat dengan masalah kesehatan sebab wadah dan jenis kegiatan yang mengakomodir kedua sektor ini juga memiliki keterkaitan. Dalam tujuan pembangunan nasional, anak merupakan harapan untuk memajukan bangsa dan sekolah merupakan tempat ideal dalam menciptakan kesadaran anak untuk menjaga kesehatannya karena sebagian waktu anak dihabiskan di sekolah. Jadi, kolaborasi sektor pendidikan dan kesehatan sejatinya menciptakan sebuah tatanan kesadaran kesehatan untuk anak sedini mungkin, paling tidak dimulai ketika tahapan kognitif dan psikomotorik anak sudah sampai pada fase penggunaan logika yang mumpuni di rentang usia sekolah dasar (SD).
Mewujudkan Program Pembangunan Prioritas Lewat Sekolah Dasar
Data per-September 2017 menunjukkan seluruh sekolah disemua jenjang sebanyak 35% sekolah tak punya akses ke air bersih layak atau tak ada akses sama sekali. Kondisi sanitasi sekolah yang genting ini harus segera diselesaikan. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) 2016, sebanyak 35% sekolah tidak memiliki sumber air bersih yang cukup. Sementara, 12% sekolah tidak memiliki toilet. Sebanyak 31% sekolah tidak memiliki toilet yang layak. Pada jenjang sekolah dasar (SD), mengambil data statistik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pusat Data dan Statistik (Pusdadik) Kemdikbud pada medio 2017 di lapangan ternyata jumlah SD yang memiliki kecukupan terhadap air bersih baru mencapai 84,51 % sisa 15,49% SD bahkan belum meiliki akses air bersih.Â
Sementara itu, jumlah SD yang memiliki toilet berkisar 70,88% dan sisa 29,12% SD belum sama sekali memiliki toilet sebagai sarana sanitasi sekolah yang wajib ada (Kemdikbud, 2017). Padahal, akses jamban, air bersih, dan tempat cuci tangan merupakan tiga indikator pada Sustainable Development Goals (SDGs) yang mesti dicapai pada 2030. Program sanitasi sekolah merupakan bagian dari program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Pengelolaan UKS merupakan ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Bappenas[3].
Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus dicapai pada tahun 2030 memiliki 15 indikator utama yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang bersama-sama meratifikasi arah kebijakan pembangunan milenial ini, yaitu; No Poverty; Zero Hunger; Good Health and Well-Being; Quality Education; Gender Equality; Clean Water and Sanitation; Affordable and Clean Energy; Decent Work and Economic Growth; Indstry, Innovation, and Infrastructure; Reduce Inequalities; Sustainable Cities and Communities; Resposible Consumption and Production; Climate Action; Life Below Water; Life on Land Peace; Juctice and Strong Institution; and Partnerships fo the Goals (UNDP, 2017).
Bidang Pendidikan dan kesehatan yang dijadikan dua bidang prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018 tampaknya setali tiga uang dengan beberapa indikator SDGs. Untuk bidang pendidikan pemerintah menghendaki untuk meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri begitu juga dengan program SDGs yang menginginkan adanya increase of quality education (peningkatan kualitas pendidikan), untuk bidang kesehatan pemerintah menginginkan adanya peningkatan kesehatan Ibu dan anak, pencegahan dan penanggulangan penyakit, dan preventif promotif (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang diakomodir dalam SDGs poin ke 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan  dan poin ke 6 tentang air bersih dan sanitasi.
Sekolah Dasar merupakan wadah yang tepat untuk dijadikan pionir untuk menerapkan kolaborasi beberapa poin pembangunan dalam RKP 2018 dan SDGs 2030. Dalam data pokok pedidikan (Dapodik) per Oktober 2017 jumlah sekolah dasar negeri maupun swasta sebanyak 148.529 atau 68% dari keseluruhan jumlah semua jenjang sekolah di Indonesia dengan jumlah siswa 25.307.472 jiwa atau sebanyak 56% dari seluruh anak usia sekolah 6-18 tahun. Dengan kata lain proporsi sekolah dan siswa SD amatlah tinggi, dan jika Program Nasional Sekolah Bersih, Higienis, dan Sehat (Pronasihat) diterapkan mulai dari jenjang SD, maka angka ketercapaian pembangunan prioritas pemerintah yang tertuang dalam RKP 2018 akan sangat meningkat signifikan begitu juga dengan ketercapaian program SDGs.
Sekolah Dasar bisa menjadi tempat untuk membangun sistem sanitasi terpadu untuk mendukung terciptanya tatanan masyarakat yang sehat sejak dini, pronasihat adalah salah satu kegiatan promotif yang melibatkan seluruh sekolah dasar dan siswanya dalam berbagai kegiatan preventif penyakit dan menjaga kebersihan, dengan itu maka program pemerintah dalam bidang kesehatan yang menghendaki adanya gerakan masyarakat hidup sehat melalui kegiatan preventif promotif dapat terealisasi melalui sekolah dasar dan pada akhirnya siswa sekolah dasar akan dapat meningkatkan taraf kualitas pendidikan dan pembelajaran dengan kondisi kesehatan dan sanitasi sekolah yang baik.
Pronasihat dan Pengelolaan Sanitasi Berbasis Multi-Stakeholder untuk mendukung PHBS
Anak-anak sekolah harus ditanamkan Anak sekolah rentan terhadap masalah kesehatan dan juga berada pada kondisi yang sangat peka terhadap stimulus sehingga mudah dibimbing, diarahkan dan ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, termasuk kebiasaan untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Pada umumnya anak-anak seusia ini juga memiliki sifat selalu ingin menyampaikan apa yang diterima dan diketahuinya dari orang lain, terutama pada anak usia 9 -- 12 tahun yang dalam tingkatan Sekolah Dasar (SD) biasanya pada kelas 4 -- 6.Â
Menurut Samatowo (2006) anak-anak pada usia tersebut berada pada kelas tinggi, yang memiliki rasa ingin tahu, ingin belajar dan minat terhadap sesuatu. Selain itu anak kelas tinggi ini telah mulai mandiri dan memiliki rasa tanggung jawab pribadi serta telah menunjukkan sikap kritis dan rasional. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku adalah: faktor pendukung (Predisposing Factors) yaitu: sikap. Faktor pemungkin (Enambling factors) adalah faktor yang memungkinkan atau yang mefasilitasi perilaku atau tindakan antara lain umur dan pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku dalam PHBS ditentukan oleh sikap, umur dan pendidikan
 Sekolah selain berfungsi sebagai tempat pembelajaran juga dapat menjadi ancaman penularan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Lebih dari itu, usia sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit oleh karenanya PHBS menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalankan di sekolah. PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikas, memberikan informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku, sehingga membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalah sendiri, dalam tatanan rumah tangga, agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kesehatan.
Perilaku hidup bersih dan sehat  (PHBS) harus menjadi kerangka kerja utama dalam pronasihat. Pada tatanan sekolah terdapat 8 indikator untuk perilaku hidup bersih dan sehat yaitu: jajan di kantin sekolah, mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun, menggunakan jamban sehat, mengikuti kegiatan olah raga dan aktivitas fisik di sekolah, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di sekolah, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan, serta membuang sampah pada tempatnya (Depkes RI, 2007).Â
Sistem sanitasi terpadu sekolah dasar merupakan media untuk sekolah dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat kepada siswa dan pronasihat adalah program preventif promotifnya. Untuk meningkatkan dan menguatkan kualitas pengelolaan sanitasi sekolah dasar dibutuhkan kerjasama multi  stakeholder. Banyak pihak yang harus dilibatkan dalam pengelolaan sanitasi sekolah dasar agar tercipta sekolah yang bersih, higienis, dan sehat. Berikut diagram Program Nasional Sekolah Bersih, Higienis, dan Sehat dalam hubungannya dengan penguatan pengelolaa sanitasi sekolah di SD.
Adapun pengelolaan sanitasi sekolah dasar memegang peran amat besar dalam melindungi siswa dari kemungkinan penularan penyakit yang bersumber dari lingkungan sekolah. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus ditanamkan sejak usia dini, sekurang-kurangnya pada masa sekolah dasar. Hal ini dapat dilakukan baik melalui poster, praktikum dan pengelolaan sanitasi sekolah. Poster tentang PHBS dapat dipajang di manapun dalam lingkungan sekolah. Sedangkan praktikum dapat dapat dilakukan melalui kegiatan rutin setiap minggu, seperti gosok gigi yang benar, pemeriksaan kebersihan kuku dan rambut.
Pengelolaan sanitasi sekolah dasar harusnya dilakukan oleh berbagai stakeholder pendidikan dan nonpendidikan. Membentuk panitia Sekolah Sehat yang terdiri dari unsur sekolah dan masyarakat merupakan sebuah keharusan sebagai bentuk kontrol terhadap institusi pendidikan yang ada di Indonesia. Kepala sekolah dasar yang mangkir dan tidak memenuhi syarat sekolah sehat harus dicopot dari jabatannya seagai kepala sekolah yang tidak bisa memberikan layanan sanitasi terbaik bagi siswa yang ada di sekolah.Â
Selain itu pelibatan pihak swasta dan dinas kesehatan juga merupakan sebuah keharusan sebab semua pihak harus berdiri sama tegak dan berkontribusi yang sama untuk program nasional sekolah bersih, higienis, dan sehat. Jika semua pihak berpadu melaksanakan program sekolah bersih, higienis, dan sehat, maka secara otomatis akan meningkatkan penguatan pengelolan sanitasi sekolah itu sendiri. Dengan kuatnya pengelolaan sanitasi di sekolah maka akan meningkatkan tingkat kesehatan siswa yang secara otomatis akan berdampak positif pada peningkatan kualitas pembelajaran.
*) Penulis adalah Alumni Universitas Negeri Medan
Referensi:
Dep Kes RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Jakarta: Kemenkes RI
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Statistik Sekolah Dasar (SD) 2016/2017. Jakarta: Pusat Data dan Statistik (Pusdadik)
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Samawoto, Usman. 2006. Bagaimana Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar.
UNDP. 2017. Sustainable Development Goals booklet
[1] 10 Prioritas Pembangunan Nasional Tahun Depan
[2] Perkembangan Peserta Didik/Perkembangan Fisik dan Perseptual Anak SD
 [3]  Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Endro Yuwanto Republika/Andi Nur Aminah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H