Industri gula tebu tumbuh menjadi salah satu pilar dan penggerak ekonomi nasional. Industri gula secara langsung dan tidak langsung memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap geliat perekonomian nasional, sebab tidak hanya berdiri sebagai pemenuh kebutuhan dan konsumsi rumah tangga, industri gula nasional juga berkembang sebagai pemasok bagi industri-industri minuman dan makanan yang membutuhkan gula sebagai daftar komposisi produk olahan mereka.
Tahun 2014, industri minuman dan makanan membrikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp. 560,62 Trilyun atau sebesar 29,95% terhadap PDB industri pengolahan non-migas. Pada tahun yang sama, ekspor industri makanan dan minuman sebesar US$ 5,55 Milyar atau menyumbang 4,73% dari ekspor hasil industri. Dengan hasil kontribusi ini, disimpulkan bahwa pertumbuhan industri makanan dan minuman (tidak termasuk industri pengolahan tembakau) berada di atas rerata ekonomi nasional. Pada 2014 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%, sedangkan industri minuman dan makanan tumbuh sebesar 9,54%[4].
Mengapa Target Swasembada Gula Selalu Meleset?
Rakyat Indonesia familiar dengan kata swasembada mulai tahun 1984, kala itu target produksi beras saat Presiden Soeharto menjabat produksinya melampaui konsumsi nasional. Sama halnya dengan gula, Indonesia pernah merengkuh manisnya swasembada gula pada tahun 1930-an dengan total 179 pabrik gula yang beroperasi, produktivitas kala itu mencapai sekitar 14,80% dan rendemen 11%-13,80%. Kala itu Indonesia mampu memproduksi sekitar 3 juta ton gula dengan total ekspor 2,40 juta ton. Lagi dan lagi dan lagi, kisah manis itu hanya tinggal sejarah. Entah mengapa tiap kejayaan demi kejayaan yang diraih Indonesia dalam bidang pemenuhan pangan hanya selalu dapat dibaca melalui kisah-kisah sejarah bukan dinikmati sebagai hasil hari ini. Berbeda dengan Brazil, India, China, Thailand, dan Australia yang trend produksi gulanya meningkat dengan peningkatan jumlah pabrik giling dan kisaran angka rendemen, Indonesia justru mengalami penyusutan pabrik giling dan penyusutan rendemen dari 10%-13,8% menjadi 6%-7% di era sekarang akibat penuaas mesin giling produksi.
Setiap masa pemerintahan berganti-ganti, roadmap indutri tebu selalu disusun dnegan target mencapai sasembada, yakni jumlah produksi gula nasional mampu memenuhi konsumsi nasional. Artinya setiap pemerintahan berjanji dan berupaya agar target pemenuhan konsumsi gula nasional dapat terpenuhi tanpa harus membawa masuk produk gula dari luar. Pada periode 1994-2004, produksi gula nasional menurun dengan laju -1,8 per tahun. Penduduk kian bertambah dan berkorelasi terhadap permintaan gula hingga menyebabkan impor gula nasional mengalami peningkatan dengan laju masing-masing 1,2% dan 7,8%. Permintaan gula nasional terus meningkat selama kurun waktu 1994-1997 (sebelum krisis) dan menurun pada krisis moneter 1998. Pasca krisis, permintaan gula kembali mengalami peningkatan. Secara umum, produksi gula mempunyai kecenderungan pola sama dengan permintaan gula namun jumlah produksi gula masih dibawah permintaan gula. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga diwarnai oleh target kerja swasembada gula yang terencana dari 2004-2009 hingga 2009-2014. Bahkan 2012 pemerintah mencanangkan target swasembada gula konsumsi pada kisaran 3,1 juta ton di 2014 akhirnya target swasembada diturunkan menjadi 2,8 juta ton karena realisasi produksi gula konsumsi yang hanya mencapai 2,6 juta ton. Dapat dikatakan target swasembada yang dicanangkan oleh SBY selama 10 tahun masa pemerintahannya gagal tercapai.
Dalam sisi ekonomi formal dan jika memandang secara gamblang, maka gagalnya target swasembada gula beberapa dekade terakhir kita bisa menyimpulkan secara sederhana. Pertama, kondisi pabrik yang kian menyusut jumlahnya dan semakin menuanya usia mesin yang digunakan untuk memproduksi tebu menjadi gula.Â
Kedua tinggi nya pertumbuhan penduduk yang berkorelasi positif terhadap naiknya angka permintaan gula konsumsi dan peningkatan jumlah penduduk juga menjadi peluang usaha dan industri makanan dan minuman untuk menggenjot jumlah produksi sehingga memaksa permintaan gula untuk kebutuhan industri meningkat.Â
Ketiga, minimnya lahan tanam sehingga menyebabkan minimnya luas panen tebu mengakibatkan secara langsung produksi gula menjadi menurun, alihfungsi lahan dan minimnya ekstensifikasi disinyalir menyebabkan minimnya jumlah produksi gula.Â
Keempat, tidak terintegrasinya penanaman, tebang, angkut, dan giling tebu dalam satu manajemen ditambah dengan masih rendahnya angka rendemen menyebabkan produksi tidak maksimal.Â
Kelima, hal yang amat penting dan selalu luput oleh pandangan mata secara gamblang adalah masih maraknya praktif mafioso gula yang memainkan harga dan jumlah impor gula sehingga sikap spekulatif para mafia gula membuat tidak hanya gejolak gula nasional semakin menggeliat terhadap terciptanya resesi akibat menurunnya daya beli namun juga berdampak pada petani tebu yang terus-menerus mengalami kerugian dan pada akhirnya akan mengalihkan fungsi lahan menjadi komoditas lain yang nantinya akan berdampak pada perolehan angka panen tebu yang semakin menurun.Â
Celakanya para mafia, kertel, spekulan, dan para pemburu rente di bidang pergulaan nasional memburu dan memainkan guka kristal putih yang langsung bersentuhan dengan masyarakat konsumen gula. Ini tidak saja menjadi faktor tersendatnya mimpi swasembada gula yang dicanangkan oleh pemerintah, namun juga mencekik leher rakyat yang kian tahun kian merasakan kenaikan harga gula tersebut hingga berdampak pada laju inflasi yang kian meroket.Â