Mohon tunggu...
Muhammad Akbar
Muhammad Akbar Mohon Tunggu... profesional -

Citizen Journalist (JURU TULIS LEPAS)

Selanjutnya

Tutup

Money

Merealisasikan Target Swasembada Gula Melalui Revitalisasi Industri dan Sinergitas Trio-Stakeholder

31 Juli 2016   08:08 Diperbarui: 31 Juli 2016   08:26 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LOMBA PENULISAN JURNALISTIK PTPN XI 2016

Kategori         : Umum/Netizen

Tema              : 3. Menjamin Masa Depan Swasembada Pangan dan Energi

                           Melalui Revitalisasi Industri Gula

Oleh: Muhammad Akbar*)

(makbarspd@gmail.com)


Sebelum tulisan ini masuk pada bagian penting dari sektor industri dan kepentingan nasional dalam hal target swasembada gula, perlu diketahui bahwa tulisan ini didedikasikan untuk mendukung perkembangan industri gula nasional yang saat ini dapat kita katakan masih belum merengkuh kisah manis semanis output hasil produksinya. Sebagai bagian dari rumah tangga yang gemar mengkonsumsi gula, pelaku industri rumah tangga yang membutuhkan gula, sebagai guru geografi yang juga sering membahas cuaca dan iklim wilayah yang dibutuhkan tebu agar dapat tumbuh dengan baik sebagai penghasil gula, dan sebagai penulis yang juga masih memiliki perhatian terhadap industri gula nasional kiranya sedikit coretan ini nanti akan bermanfaat untuk mendorong perkembangan industri gula ke arah yang lebih baik, setidaknya sesuai dengan target swasembada nasional.

Sekilas Tentang Gula dan Perkembangan Industri Gula Nasional

Siapa yang tak mengenal gula?. Butiran kristal halus yang juga menjadi kegemaran semut ini menjadi satu diantara banyak komoditas pokok yang harus ada di daftar kebutuhan rumah tangga dan beberapa jenis industri kecil, menengah, dan besar sebagai bahan baku dan bahan penunjang produksi. Tingginya kegemaran dan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap gula telah mendorong berdirinya industri pengolahan tebu menjadi gula butir di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia sendiri industri gula salah satunya diproduksi oleh PTPN XI yang berada di Surabaya, Jawa Timur yang menjadi perusahaan dengan core production-nya adalah gula dan menjadi satu-satunya BUMN yang mengusahakan komoditas tunggal (hanya gula) yang memasok 16-18% kebutuhan gula nasional[1], dan di beberapa daerah lain juga memiliki pabrik pengolah tebu menjadi gula yang bersinergi memenuhi kebutuhan gula nasional. Seperti yang diketahui, bahwa segmentasi industri gula terbelah menjadi dua bagian, yakni industri gula yang berbasis pada penghasilan gula kristal dan gula rafinasi, bahkan untuk kedua jenis gula ini juga tersegmentasi pada pangsa pasarnya.

Tebu (Saccharum Officinarum) adalah tanaman rumput tahunan yang banyak tumbuh di daerah dan bebas salju. Tanaman ini membutuhkan daerah/wilayah tumbuh yang bersuhu panas, paparan sinar matahari yang tinggi, cukup banyak air, serta lahan yang subur dengan drainase baik. Masatanamnya 10-24 bulan, namun dengan teknologi yang ada sekarang ia dapat diperpanjang hingga empat kali lipat dengan sistem bongkar raton. Tebu sendiri adalah sumer energi termurah dengan penggunaan lahan terendah untuk setiap energi yang dihasilkan. Tak hanya sebagai penghasil sukrosa yang di refinery menjadi butiran gula, namun tebu juga menjadi sumber energi bahan bakar (bio-ethanol) ramah lingkungan yang efisien.

Sejak jaman penjajahan Belanda berlangsung di nusantara industri gula sudah menunjukkan geliat pertumbuhan dan perkembangan yang cukup signifikan, bahkan era 1930-an dengan total 179 pabrik gula yang beroperasi, Indonesia sempat mencicipi manisnya kejayaan industri pasir manis (gula) dengan produktivitas kala itu mencapai sekitar 14,80% dan rendemen 11%-13,80%. Kala itu Indonesia mampu memproduksi sekitar 3 juta ton gula dengan total ekspor 2,40 juta ton di bawah kendali penjajah. Namun progres produktivitas industri gula kian merosot tahun ke tahun pasca kemerdekaan, bahkan Indonesia pada sepuluh tahun (1989-1999) mengalami peningkatan laju impor gula mencapai 21,62% per tahun, padahal laju impor sepuluh tahun sebelumnya (1979-1989) hanya berkisar antara 0,98% per tahun. Periode 1989-1999 menjadi awal mula periode buruk dalam sejarah industri gula nasional, laju peningkatan konsumsi sebesar 2,56% per tahun disambut dengan laju penurunan produktivitas sebesar -2,02% per tahun[3].

Gula sudah bermetamorfosa menjadi komoditas ekonomi terpenting dalam pemenuhan pangan nasional setelah beras yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahkan, pada triwulan kedua tahun 2016 pasca kenaikan harga mencapai Rp15.000,00 – Rp16.000,00 per kilogramnya gula menjadi komoditas penyumbang inflasi tertinggi di seluruh daerah, tingkat inflasi mulai dari 0,04% hingga mencapai 0,42%[2]. Di kalangan masyarakat, gula sudah menjadi komoditi utama ditambah dengan kondisi defisit supply, maka sebenarnya kondisi ini menjadi peluang untuk terbukanya industri gula yang lebih massif guna memenuhi permintaan dalam negeri yang dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Namun, yang terjadi justru hal yang sebaliknya, jumlah produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan di dalam negeri. Dekade ini yang menjadi negara produsen gula terbesar dunia adalah Brazil (lebih 35 juta ton), India (lebih 25 juta ton), Cina (lebih 16 juta ton), Thailand (lebih 10 juta ton), Australia (lebih 8 juta ton).

Industri gula tebu tumbuh menjadi salah satu pilar dan penggerak ekonomi nasional. Industri gula secara langsung dan tidak langsung memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap geliat perekonomian nasional, sebab tidak hanya berdiri sebagai pemenuh kebutuhan dan konsumsi rumah tangga, industri gula nasional juga berkembang sebagai pemasok bagi industri-industri minuman dan makanan yang membutuhkan gula sebagai daftar komposisi produk olahan mereka.

Tahun 2014, industri minuman dan makanan membrikan kontribusi terhadap PDB sebesar Rp. 560,62 Trilyun atau sebesar 29,95% terhadap PDB industri pengolahan non-migas. Pada tahun yang sama, ekspor industri makanan dan minuman sebesar US$ 5,55 Milyar atau menyumbang 4,73% dari ekspor hasil industri. Dengan hasil kontribusi ini, disimpulkan bahwa pertumbuhan industri makanan dan minuman (tidak termasuk industri pengolahan tembakau) berada di atas rerata ekonomi nasional. Pada 2014 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02%, sedangkan industri minuman dan makanan tumbuh sebesar 9,54%[4].

Mengapa Target Swasembada Gula Selalu Meleset?

Rakyat Indonesia familiar dengan kata swasembada mulai tahun 1984, kala itu target produksi beras saat Presiden Soeharto menjabat produksinya melampaui konsumsi nasional. Sama halnya dengan gula, Indonesia pernah merengkuh manisnya swasembada gula pada tahun 1930-an dengan total 179 pabrik gula yang beroperasi, produktivitas kala itu mencapai sekitar 14,80% dan rendemen 11%-13,80%. Kala itu Indonesia mampu memproduksi sekitar 3 juta ton gula dengan total ekspor 2,40 juta ton. Lagi dan lagi dan lagi, kisah manis itu hanya tinggal sejarah. Entah mengapa tiap kejayaan demi kejayaan yang diraih Indonesia dalam bidang pemenuhan pangan hanya selalu dapat dibaca melalui kisah-kisah sejarah bukan dinikmati sebagai hasil hari ini. Berbeda dengan Brazil, India, China, Thailand, dan Australia yang trend produksi gulanya meningkat dengan peningkatan jumlah pabrik giling dan kisaran angka rendemen, Indonesia justru mengalami penyusutan pabrik giling dan penyusutan rendemen dari 10%-13,8% menjadi 6%-7% di era sekarang akibat penuaas mesin giling produksi.

Setiap masa pemerintahan berganti-ganti, roadmap indutri tebu selalu disusun dnegan target mencapai sasembada, yakni jumlah produksi gula nasional mampu memenuhi konsumsi nasional. Artinya setiap pemerintahan berjanji dan berupaya agar target pemenuhan konsumsi gula nasional dapat terpenuhi tanpa harus membawa masuk produk gula dari luar. Pada periode 1994-2004, produksi gula nasional menurun dengan laju -1,8 per tahun. Penduduk kian bertambah dan berkorelasi terhadap permintaan gula hingga menyebabkan impor gula nasional mengalami peningkatan dengan laju masing-masing 1,2% dan 7,8%. Permintaan gula nasional terus meningkat selama kurun waktu 1994-1997 (sebelum krisis) dan menurun pada krisis moneter 1998. Pasca krisis, permintaan gula kembali mengalami peningkatan. Secara umum, produksi gula mempunyai kecenderungan pola sama dengan permintaan gula namun jumlah produksi gula masih dibawah permintaan gula. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga diwarnai oleh target kerja swasembada gula yang terencana dari 2004-2009 hingga 2009-2014. Bahkan 2012 pemerintah mencanangkan target swasembada gula konsumsi pada kisaran 3,1 juta ton di 2014 akhirnya target swasembada diturunkan menjadi 2,8 juta ton karena realisasi produksi gula konsumsi yang hanya mencapai 2,6 juta ton. Dapat dikatakan target swasembada yang dicanangkan oleh SBY selama 10 tahun masa pemerintahannya gagal tercapai.

Dalam sisi ekonomi formal dan jika memandang secara gamblang, maka gagalnya target swasembada gula beberapa dekade terakhir kita bisa menyimpulkan secara sederhana. Pertama, kondisi pabrik yang kian menyusut jumlahnya dan semakin menuanya usia mesin yang digunakan untuk memproduksi tebu menjadi gula. 

Kedua tinggi nya pertumbuhan penduduk yang berkorelasi positif terhadap naiknya angka permintaan gula konsumsi dan peningkatan jumlah penduduk juga menjadi peluang usaha dan industri makanan dan minuman untuk menggenjot jumlah produksi sehingga memaksa permintaan gula untuk kebutuhan industri meningkat. 

Ketiga, minimnya lahan tanam sehingga menyebabkan minimnya luas panen tebu mengakibatkan secara langsung produksi gula menjadi menurun, alihfungsi lahan dan minimnya ekstensifikasi disinyalir menyebabkan minimnya jumlah produksi gula. 

Keempat, tidak terintegrasinya penanaman, tebang, angkut, dan giling tebu dalam satu manajemen ditambah dengan masih rendahnya angka rendemen menyebabkan produksi tidak maksimal. 

Kelima, hal yang amat penting dan selalu luput oleh pandangan mata secara gamblang adalah masih maraknya praktif mafioso gula yang memainkan harga dan jumlah impor gula sehingga sikap spekulatif para mafia gula membuat tidak hanya gejolak gula nasional semakin menggeliat terhadap terciptanya resesi akibat menurunnya daya beli namun juga berdampak pada petani tebu yang terus-menerus mengalami kerugian dan pada akhirnya akan mengalihkan fungsi lahan menjadi komoditas lain yang nantinya akan berdampak pada perolehan angka panen tebu yang semakin menurun. 

Celakanya para mafia, kertel, spekulan, dan para pemburu rente di bidang pergulaan nasional memburu dan memainkan guka kristal putih yang langsung bersentuhan dengan masyarakat konsumen gula. Ini tidak saja menjadi faktor tersendatnya mimpi swasembada gula yang dicanangkan oleh pemerintah, namun juga mencekik leher rakyat yang kian tahun kian merasakan kenaikan harga gula tersebut hingga berdampak pada laju inflasi yang kian meroket. 

Selanjutnya, industri gula yang terbagi menjadi dua jenis, yakni industri pabrikan gula berbasis tebu dan industri gula yang berbahan baku gula rafinasi menjadi momok menakutkan bagi investor swasta yang ingin menanamkan modalnya pada industri pabrikan gula berbasis tebu sebab keberadaan impor gula rafinasi yang bebas bea masuk akan menyebabkan harga gula lokal tertekan dan investor menyadari betul hal tersebut akan menjadi boomerang bagi mereka,sehingga mimpi untuk memperbanyak pabrik gula tebu melalui tangan-tangan investor swasta untuk mewujudkan swasembada hanya akan tinggal angan-angan.

Realisasi Swasembada: Revitalisasi dan Sinergitas Trio-Stakeholder

Mencapai swasembada gula sebenarnya bukan hal mustahil bagi negeri bernama  Indonesia ini, Thailand yang tidak lebih luas dari negara ini saja pun mampu mencicipi manisnya sang gula yang mencapai angka surplus hingga lebih dari 8 juta ton. Dalam rencana kerjanya, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara yang berswasembada gula hingga 2019 melalui beberapa rencana kerja yang telah dibuat. Sekali lagi, bukan hal yang mustahil untuk Indonesia bisa merengkuh kembali manisnya kejayaan 80 tahun silam.

gula-579d4e48d47a6151048b4568.jpg
gula-579d4e48d47a6151048b4568.jpg
Masalah swasembada pangan khususnya gula bukan hanya sekedar masalah hitung-hitungan seberapa jumlah gula dan seberapa jumlah konsumsi lalu membuat rasio antara keduanya. Lebih dari itu, masalah swasembada adalah permasalahan target kerja yang luar biasa kompleks yang harus melibatkan sektor-sektor terkait untuk pencapaiannya. Salah satu upaya untuk mencapai target swasembada gula adalah revitalisasi indutri gula nasional itu sendiri.

Revitalisasi industri gula nasional merupakan program massif dan kompleks yang seharusnya melibatkan sinergitas beberapa stakeholder dan pemangku kepentingan utama sebagai tonggak penting untuk tercapainya swasembada gula. Manisnya gula harus sejalan dengan manisnya hasil kerja di bidang perindustrian gula nsional. 

Untuk melakukan program revitalisasi industri gula, trio-stakeholder harus saling bekerjasama dan saling bersinergi untuk mencapai tujuan swasembada. Trio-stakeholder yang dimaksud adalah Pemerintah termasuk aparatur keamanan negara sebagai manajer dan pengendali kebijakan industri nasional, swasta sebagai faktor pendukung akselerasi pembangunan industri gula nasional, dan masyarakat (pelaku industri, akademisi, dan konsumen) sebagai ujung tombak pangsa pasar gula.

Merevitalisasi industri gula nasional membutuhkan beberapa program priorotas sebagai pendukung utama terciptanya iklim industri gula nasional yang efisien dan mampu mendukung ketercapaian swasembada gula di masa mendatang. Beberapa hal yang mendukung program revitalisasi industri gula nasional sebagai tonggak mewujudkan swasembada gula, yakni:

1.  Restrukturisasi pabrik gula dan pestrukturisasi permesinan yang ada di pabrik gula yang tersebar di beberapa wilayah nusantara. Penuaan pabrik dan mesin yang terjadi haru disikapi oleh Pemerintah secara cepat, permintaan gula nasional yang kian meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk harus didukung oleh keberadaan pabrik gula dan mesin yang mumpuni. Pemerintah seyogyanya menyuntikkan insentif untuk pembangunan pabrik-pabrik baru yang dapat beroperasi maksimal. Berkaca pada negeri tirai bambu (China) yang mampu melakukan inovasi permesinan untuk pabrikan gula, rasanya pemerintah tidak perlu ragu untuk menggandeng swasta dan masyarakat luas termasuk akademisi dan ilmuan nasional untuk melakukan penemuan inovatif guna mendukung produktivitas pabrik gula baru menggunakan inovasi permesinan dan inovasi pembibitan dibantu pembiayaan oleh swasta.

2. Menambah luas tanam tebu sebagi bahan baku pabrik gula. Pemerintah telah mencanangkan pembukaan 500.000 hektare lahan baru untuk perluasan lahan tanam tebu, namun masih terkendala dalam beberapa hal. Ekstensifiasi dan pemanfaatan lahan tidur hendaknya menjadi fokus pemerintah untuk menambah luas tanam tebu. Pemanfaatan pulau-pulau di kawasan pantai timur dan utara dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan luas tanam tebu. 

Pulau-pulau timur dan selatan yang dekat dengan pulau utama akan menambah luas tanam tebu sehingga menambah volume panen tebu nasional untuk menambah produksi gula nasional. Moratorium alihfungsi lahan menjadi sawit tampaknya harus sesegera mungkin digalakkan dan mengganti dengan komoditas tebu untuk beberapa wilayah luar jawa.

4. Pemerintah, petani, serta PTPN dan pabrik gula swasta harus bersinergi untuk mengintegrasikan penanaman, penebangan, pengangkutan, dan pengglingan tebu dalam satu manajemen. Pemerintah dan masyarakat akademisi harus melakukan terobosan dan inovasi untuk meningkatkan rendemen yang hanya ada pada kisaran 6%-7% menjadi 10%-12% dengan inovasi dan peremajaan mesin giling secara intensif serta menarik investor swasta untuk menggandeng akademisi lokal dalam inovasi peningkatan rendemen giling tebu yang nantinya akan meningkatkan produksi gula nasional. Selain itu, pabrikan tebu nasional tidak hanya memproduksi gula sebagai output, namun dapat mengambil keuntungan lebih melalui peningkatan produktivitas bio-ethanol sebagai energi alternatif yang hasilnya dapat dijual kembali sebagai bahan bakar dan keperluan energi nasional, penjualan bio-ethanol ke masyarakat atau kepada PT PLN untuk menambah benefit pabrik akan menambah penghasilan pabrik gula yang dapat digunakan untuk ekspansi lahan tebu dan peremajaan mesin guna menggenjot hasil produksi dan mewujudkan swasembada.

5.  Pekerjaan berat pemerintah adalah memberantas kartel mafia gula nasional. Kartel mafia adlah para spekulan yang memainkan harga gula nasional dan membuat fluktuasi impor makin menggila sehingga swasta kian enggan menggelontorkan dananya untuk membangun pabrik gula nasional di beberapa daerah. Pemerintah melalui Badan Intelejen Nasional (BIN), Polri, dan pemangku kepentingan lain harus mengusut tuntas adanya praktik mafia gula yang menyebabkan lesunya geliat industri gula nasional dalam menggenjot kapasitas produksi. Jika praktik mafia gula dapat diminimalisir, maka swasta akan bergairah untuk membangun pabrik gula baru dan mendukung program swasembada yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, masyarakat juga tidak menjadi korban ekonomi spekulatif para mafia yang ujungnya akan berimbas pada laju inflasi ekonomi nasional. Masyarakat dalam posisi ini juga bukan hanya berdiri sebagai konsumen, namun juga sebagai kaki tangan pemerintah untuk melaporkan kegiatan dan praktik mafia pergulaan nasional yang mengancam stabilitas ekonomi dan kedulatan pangan nasional.

Sinergitas antara Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, swasta sebagai perpanjangan modal, serta masyarakat dari kalangan akademisi, pelaku industri, dan masyarakat konsumen harus terus berkolaborasi dan bersinergi untuk mempercepat laju pembangunan dan revitalisasi industri gula nasional agar target swasembada gula yang telah dipetakan oleh pemerintah dapat terlaksana dan terwujud dengan baik.

*)  Penulis adalah Guru PNS Geografi di SMA Negeri 1 Tamiang Hulu, Aceh Tamiang juga aktif sebagai penulis dan blogger.

Sumber Kutipan

[1]  http://id.wikipedia.org/wiki/Perkebunan_Nusantara_XI

[2] banjarmasin.tribunnews.com/2016/06/02/naik-jadi-rp-16-ribu-per-kilo-gula-pasir-penyumbang-inflasi-tertingi

[3]  Kencanaputra, Rhendy W. 2014. Outlook Komoditi Tebu. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun