Mohon tunggu...
Muhammad Akbar
Muhammad Akbar Mohon Tunggu... profesional -

Citizen Journalist (JURU TULIS LEPAS)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Unsyiah: Jantung Peradaban Pendidikan Aceh Dulu, Kini , dan Nanti

30 Juni 2016   08:51 Diperbarui: 30 Juni 2016   11:13 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi, fungsi dan peran unsyiah amatlah penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik untuk kebutuhan lokal, nasional maupun regional. Integrasi nilai-nilai universal, nasional, dan penyerapan nilai-nilai kearifan lokal harus tetap menjadi keutamaan dalam perjalanan tugas dan fungsi Unsyiah sebagai Jantung Hati Rakyat Aceh guna melahirkan generasi Aceh dan generasi nasional yang memiliki kapabilitas tinggi dalan kualitas diri dan memiliki keselarasan antara IPTEK dan IMTAQ, sebab dua hal tersebut adalah komponen utama yang harus dikemangkan oleh Unsyiah dalam menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas, menjunjung tinggi etika, estetika, beraakhlak muia, berbudi pekerti, dan pastinya anti terhadap segala bentuk tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kini Unsyiah berkembang menjadi universitas yang memiliki kredibilitas tinggi dalam aplikasi Tridharma Perguruan Tinggi. Berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 492.a/M/Kp?VIII/2015 Tentang Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi Indonesia Tahun 2015, Unsyiah menempati posisi ke-61 dari 3320 Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta di Indonesia[2]. Pemeringkatan yang dilakukan oleh Kemenristek Dikti ini didasari oleh 4 aspek, yakni a. Kualitas Sumber Daya Manusia, b. Kualitas Manajemen, c. Kualitas Kegiatan Kemahasiswaan, dan d. Kualitas Penelitian dan Publikasi Ilmiah. Dalam lampiran Surat Keputusan tersebut, Unsyiah berada pada peringkat ke-61 dengan nilai skor total 2.049. Sementara untuk Pulau Sumatera, Unsyiah bertengger di peringkat 7. Untuk Universitas denga pengabdian masyarakat terbanyak, Unsyiah menempati peringkat kedua di Sumatera, jauh mengalahkan USU sebagai Universitas seniornya. Hal ini menunjukkan Unsyiah memiliki pertumbuhan yang pesat dalam skala regional dan diharapkan lebih berakselerasi pada skala nasional dan internasional. Perguruan tinggi negeri yang ada di jantung ibukota Propinsi Aceh ini tumbuh dan melekat di hati masyarakat Aceh selama lebih dari setengah abad atau tepatnya 55 tahun. Masyarakat Aceh mulai menyadari betapa penting pendidikan tinggi untuk membangun sistem kekuatan sumberdaya manusia berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Turun naiknya iklim akademik di lingkungan Unsyiah selama 55 tahun adalah hasil dari perpaduan dinamika civitas akademika sebagai pelakon utama pendidikan dan masyarakat Aceh umunya yang bertindak sebagai unsur penunjang dan stakeholder yang meng-over generasi penerus untuk dididik dan digodok kualitasnya di Universitas ini.

Menata Unsyiah MenujuWorld Class University Based on Local Identity

UU No. 20 tahun 2003 pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa yang dimaksud perguruan tinggi adalah merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Selain itu perguruan tinggi juga mempunyai pengertian pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah. Perguruan Tinggi di sini adalah tingkatan universitas yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu ( Barthos,1992). 

Secara teknis perguruan tinggi bertindak sebagai wadah yang mencetak manusia dengan gelar diploma, sarjana, magister, dan doktoral. Namun, jauh lebih penting dari itu secara psikologis dan sosial akademis, perguruan tinggi berfungsi sebagai wadah untuk membentuk manusia dengan watak akademis logis dan memiliki kemampuan tinggi dalam menganalisis permasalahan-permasalahan lingkungan sekitar serta mampu memberikan sintesis atas permasalahan yang terjadi, perguruan tinggi juga mencetak manusia-manusia yang tidak hanya siap untuk memasuki dunia lapangan pekerjaan namun juga mampu menciptakan manusia yang menjadi pioner usaha dan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru. Untuk mencpai taraf itu, sebuah perguruan tinggi harus memiliki visi misi dan aktualisasi kerja yang excelent dan memiliki kinerja kelas dunia.

Era ini hampir seluruh universitas yang ada di tanah air berlomba-lomba memasang slogan dan banner kampus dengan kalimat World Class University. Unsyiah juga mampu dan pasti mampu bermetamorfosis secara sempurna sebagai perguruan tinggi negeri di Aceh dengan taraf World Class University. Istilah world class sebenarnya bukanlah hal yang menakutkan dan tinggi. Istilah international adalah istilah yang merujuk suatu tempat atau objek yang letaknya diluar suatu daerah/negara yang memandang dan merasa. Mengapa Harvard University terasa begitu “internasional” di hati sebagian masyarakat dunia termasuk Indonesia? 

Sebab kita memandang Harvard dari sudut pandang Indonesia bukan dari sudut pandang orang-orang sekitar kampus Harvard itu sendiri. Bagi mereka, mungkin Harvard tidak ada bedanya seperti kampus lain di negara mereka. Begitu juga dengan beberapa universitas yang ada di kawasan Asean, Nanyang Technology University(NTU) di Singapore misalnya. NTU dibangun dan ditumbuhkembangkan oleh masyarakat Singapura yang memiliki tingkat kepedulian terhadap pendidikan tinggi yang amat luar biasa besar, tidak hanya civitas akademikanya namun juga masyarakat umum Singapura. NTU dibesarkan dengan cara-cara lokal masyarakat Singapura, masyarakat yang gigih dalam membangun pendidikan, alot dalam menciptakan kreatifitas ilmu pengetahuan, dan sukses dalam membangun image perguruan tinggi yang dinamis hingga dikenal masyarakat dunia. Kita dari Indonesia, memiliki kebiasaan pendidikan umum di Indonesia, memandang NTU pasti akan berdecak kagum dan memberikan level standar kelas dunia bagi universitas di negeri Merlion tersebut. Mengapa demikian? 

Sebab kita belum sealot masyarakat Singapura dalam membangun standar universitas kita, padahal ia sama saja seperti kampus-kampus di negara-negara lain, memiliki tugas dan fungsi yang sama, hanya kultur masyarakat dan kepedulian stakeholder yang membedakan “rasa” universitas di beberapa negara dunia. Jadi, istilah world class atau kelas dunia atau dengan kata lain level internasional hanyalah istilah yang digunakan untuk merujuk sesuatu yang dipandang dari luar negara objek tersebut dipandang. 

Apakah mungkin Unsyiah mampu berdiri sebagai perguruan tinggi dengan kelas dunia? Sangat mungkin, bahkan sudah menjadi universitas internasiona jika dipandang dari luar Indonesia. Secara geografis, masyarakat India akan menyebut Unsyiah sebagai perguruan tinggi internasional, mengapa? Sebab Unsyiah berdiri di luar negara India. Namun secara kualitas akademik dan kultur penelitian masyarakat kampus, apakah Unsyiah bisa disejajarkan dengan universitas di Singapura, Amerika, Inggris, dan beberapa negara maju lainnya? 

Tentu saja belum. Hal ini memerlukan proses. Proses yang bagaimana? Seperti yang dilakukan masyarakat Singapura, membangun dengan kebiasaan lokal untuk menghasilkan citra dan cita rasa internasional. Meningkatkan infrastruktur, mensinergikan fungsi teknologi di segala lini, meningkatkan mutu penelitian, membangun komunitas ilmiah yang besar, dan menciptakan tatanan masyarakat sekitar kampus yang lebih dinamis dengan kearifan lokal akan mampu mengangkat citra dan kualitas Unsyiah menjadi kampus bercita rasa internasional berkelas dunia. Masyarakat harus benar-benar mempercayai Unsyiah sebagai universitas yang mampu menciptakan anak-anak kita menjadi manusia yang berkualitas tinggi baik Iptek maupun Imtaq. Jika masyarakat Aceh masih menilik universitas lain di luar Aceh sebagai universitas yang ada dalam hati, maka slogan jantung hati masyarakat Aceh hanya akan menjadi pepesan kosong dan retorika belaka.

Dalam menata Unsyiah menjadi Perguruan Tinggi Negeri dengan taraf World Class University juga membutuhkan kepedulian pemimpin wilayah tempat universitas tersebut berdiri. Cendekiawan Muslim dari Universiti Teknomogi Malaysia, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, kuncinya terletak pada tangan pemimpin, “Maka pemimpin yang berkuasa harus peduli pendidikan,” kata dia. Selanjutnya Wan Daud mengatakan “jika pemimpin peduli terhadap kecerdasan bangsa, maka alokasi dana pendidikan akan besar. Hasilnya, negara mampu membiayai rakyat untuk menempuh pendidikan secara maksimal. Entah dengan mengirim rakyat belajar ke luar negeri atau meningkatkan lembaga pendidikan tinggi nasional. Semangat pendidikan harus berdasar pada untuk kembali pada bangsa dan negara, itulah yang selalu ditanamkan pada kami," ungkap Wan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun