Mohon tunggu...
Muhammad Akbar
Muhammad Akbar Mohon Tunggu... profesional -

Citizen Journalist (JURU TULIS LEPAS)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Unsyiah: Jantung Peradaban Pendidikan Aceh Dulu, Kini , dan Nanti

30 Juni 2016   08:51 Diperbarui: 30 Juni 2016   11:13 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masihkah kita ingat dengan peristiwa jatuhnya bom atom di dua kota penting Jepang pada sekitar lebih dari 71 tahun lalu? Ya! Hiroshima dan Nagasaki adalah dua kota di Jepang yang dihajar oleh sekutu sekaligus menandai jatuh dan runtuhnya superioritas Jepang yang begitu gagahnya menjajah beberapa negara Asia lainnya pada periode perang Dunia Pertama dan Kedua. Bom atom yang dijatuhkan oleh tentara Amerika Serikat tersebut sukses meluluhlantakkan dan membuat negara pasifik tersebut benar-benar terpuruk. Namun, jika kita melihat kondisi Jepang saat ini, apakah mereka masih dalam keterpurukkan? 

Apakah mereka masih tetap dalam kondisi luluh lantak dan menundukkan dahi pada dunia? Tidak! Mereka bangkit dengan gagah, perlahan dan pasti mereka melakukan akselerasi pergerakan pembangunan sumberdaya manusia dengan sangat apik dan tertata. Apakah proses bangkitnya Jepang dari keterpurukan menuju kemajuan didapatkan dengan mudah? Sama sekali tidak. Pasca jatuhnya bom atom di dua kota sentral mereka, Kaisar Hirohito yang pada saat itu menjadi pemimpin tertinggi kekaisaran Nippon bertanya pada rakyatnya, “berapa guru yang masih hidup?”. 

Pertanyaan ini adalah sebuah kalimat metamorfis yang magis, betapa tidak, Sebegitu cemerlangnya pola pikir kaisar yang dikenal bertangan keras ini, ia sadar betul untuk membangun sebuah negara yang luluh lantak tidaklah bisa dengan mengandalkan uang dan keuatan tentara, namun memperkokoh kualitas sumberdaya manusia mereka dengan membangun kekuatan pendidikan hingga mampu mencetak sumberdaya manusia berkualitas tinggi yang pada akhirnya akan mampu membangun kembali negara mereka secara perlahan. Sekarang kita dapat melihat geliat pembangunan Jepang yang seolah tiada henti melakukan berbagai kreatifitas yang bahkan sulit diikuti oleh negara-negara lain di beberapa belahan dunia ini. Sebab apa? Pendidikan!.

Pendidikan amat sentral peran dan fungsinya dalam membangun sebuah kawasan atau negara menjadi sebuah wilayah yang maju dan berbudaya tinggi. Tanpa pendidikan maka mustahil kemajuan akan direngkuh. Dengan pendidikan maka ilmu pengetahuan akan berkembang, berkembangnya ilmu pengethuan akan mampu menciptakan daya lreatifitas yang mendorong kemajuan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan Islam dengan jelas menegaskan bahwa kedudukan pendidikan amat penting bagi manusia dan memiliki kedudukan amat tinggi, Allah ta’ala berfirman dalam Qur’an surah Al-Mujadillah:

Artinya: 11. Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Munculnya kesadaran masyarakat masa kini tentang pentingnya memiiki pendidikan dengan jenjang dan kualitas tinggi, banyak masyarakat sekarang berlomba masuk dan sekolah di perguruan tinggi baik negeri dan swasta, dalam dan luar negeri. Di Aceh misalnya, propinsi paling barat Indonesia ini memiliki rekam jejak sejarah kepemilikan perguruan tinggi yang cukup dramatis. Satu dari sekian banyak perguruan tinggi negeri yang berdiri kokoh di negeri Serambi Mekkah ini adalah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang tegak berdiri di Kota Banda Aceh.

Unsyiah, Lahirnya Jantung Hati Pendidikan Tinggi Rakyat Aceh

Aceh memang penuh dengan kejutan, berabad-abad propinsi yang berbasis Qanun Syariah ini lahir, tumbuh, dan berkembang dengan jutaan kisah manis, pilu, dan menyakitkan. Seakan tak ada henti-hentinya beberapa dekade silam Aceh dilanda konflik sektarian yang memakan korban ribuan jiwa dari sipil dan aparatur pemerintah hingga Tsunami menghentak Aceh seakan memberikan isyarat agar semuanya dihentikan. Ombak ganas yang telah menggulung jiwa-jiwa masyarakat Aceh dan beberapa negara di sekitar Samudera Hindia ini sontak membuat dunia terkejut dan tercengang. Namun Tuhan memberikan hikmah yang amat manis dibalik bencana itu, yakni kembalinya laskar bulan bintang ke pangkuan pertiwi, sejarah besar yang dilalui setelah bencana besar.

Panjangnya jalan pembentukan propinsi Aceh ini pun senada dengan panjangnya sejarah Perguruan Tinggi Negeri tertua di Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).  Unsyiahmerupakan manifestasi dari keinginan rakyat Aceh untuk memiliki sebuah lembaga pendidikan tinggi negeri, sebagaimana yang pernah ada dan berkembang pada masa silam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh telah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang terkenal. Para mahasiswa dan staf pengajar berasal dari berbagai penjuru dunia, seperti Kesultanan Turki, Iran, dan India. Syiah Kuala, yang namanya ditabalkan pada perguruan tinggi negeri di Serambi Mekkah ini, adalah seorang ulama Nusantara terkemuka yang bernama Tengku Abdur Rauf As Singkili pada abad XVI, yang terkenal baik di bidang ilmu hukum maupun keagamaan.

Pada tahun 1957, awal Provinsi Aceh terbentuk, para pemimpin pemerintahan Aceh, antara lain oleh Gubernur Ali Hasjmy, Penguasa Perang Letnan Kolonel H. Syamaun Ghaharu dan Mayor T. Hamzah Bendahara serta didukung para penguasa, cendikiawan, ulama, dan para politisi lainnya telah sepakat untuk meletakkan dasar bagi pembangunan pendidikan daerah Aceh. Tanggal 21 April1958, Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) dibentuk dengan tujuan mengadakan pembangunan dalam bidang rohani dan jasmani guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. YDKA pada awalnya dipimpin oleh Bupati M. Husen, Kepala Pemerintahan Umum pada Kantor Gubernur pada waktu itu, yang kemudian dipimpin oleh Gubernur Ali Hasjmy. YDKA menyusun program, yakni mendirikan perkampungan pelajar/mahasiswa di ibukota provinsi dan setiap kota kabupaten dalam wilayah Aceh dan mengusahakan berdirinya satu Universitas untuk daerah Aceh.

Selaras dengan ide tersebut, tanggal 29 Juni1958, Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh membentuk Komisi Perencana dan Pencipta Kota Pelajar/Mahasiswa. Komisi yang dipandang sebagai saudara kandung YDKA ini mempunyai tugas sebagai komisi pencipta, badan pemikir, dan inspirasi bagi YDKA, sehingga komisi ini dipandang sebagai modal utama pembangunan perkampungan pelajar/mahasiswa. Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) adalah perguruan tinggi negeri tertua di Aceh. Berdiri pada tanggal 2 September 1961 dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 11 tahun 1961, tanggal 21 Juli 1961. Pendirian Unsyiah dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor 161 tahun 1962, tanggal 24 April 1962 di Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Unsyiah berkedudukan di Ibukota Provinsi Aceh dengan kampus utama terletak di Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, Banda Aceh. Saat ini, Unsyiah memiliki lebih dari 30.000 orang mahasiswa yang menuntut ilmu di 12 Fakultas dan Program Pasca Sarjana[1].

Sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi, fungsi dan peran unsyiah amatlah penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik untuk kebutuhan lokal, nasional maupun regional. Integrasi nilai-nilai universal, nasional, dan penyerapan nilai-nilai kearifan lokal harus tetap menjadi keutamaan dalam perjalanan tugas dan fungsi Unsyiah sebagai Jantung Hati Rakyat Aceh guna melahirkan generasi Aceh dan generasi nasional yang memiliki kapabilitas tinggi dalan kualitas diri dan memiliki keselarasan antara IPTEK dan IMTAQ, sebab dua hal tersebut adalah komponen utama yang harus dikemangkan oleh Unsyiah dalam menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas, menjunjung tinggi etika, estetika, beraakhlak muia, berbudi pekerti, dan pastinya anti terhadap segala bentuk tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kini Unsyiah berkembang menjadi universitas yang memiliki kredibilitas tinggi dalam aplikasi Tridharma Perguruan Tinggi. Berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 492.a/M/Kp?VIII/2015 Tentang Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi Indonesia Tahun 2015, Unsyiah menempati posisi ke-61 dari 3320 Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta di Indonesia[2]. Pemeringkatan yang dilakukan oleh Kemenristek Dikti ini didasari oleh 4 aspek, yakni a. Kualitas Sumber Daya Manusia, b. Kualitas Manajemen, c. Kualitas Kegiatan Kemahasiswaan, dan d. Kualitas Penelitian dan Publikasi Ilmiah. Dalam lampiran Surat Keputusan tersebut, Unsyiah berada pada peringkat ke-61 dengan nilai skor total 2.049. Sementara untuk Pulau Sumatera, Unsyiah bertengger di peringkat 7. Untuk Universitas denga pengabdian masyarakat terbanyak, Unsyiah menempati peringkat kedua di Sumatera, jauh mengalahkan USU sebagai Universitas seniornya. Hal ini menunjukkan Unsyiah memiliki pertumbuhan yang pesat dalam skala regional dan diharapkan lebih berakselerasi pada skala nasional dan internasional. Perguruan tinggi negeri yang ada di jantung ibukota Propinsi Aceh ini tumbuh dan melekat di hati masyarakat Aceh selama lebih dari setengah abad atau tepatnya 55 tahun. Masyarakat Aceh mulai menyadari betapa penting pendidikan tinggi untuk membangun sistem kekuatan sumberdaya manusia berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Turun naiknya iklim akademik di lingkungan Unsyiah selama 55 tahun adalah hasil dari perpaduan dinamika civitas akademika sebagai pelakon utama pendidikan dan masyarakat Aceh umunya yang bertindak sebagai unsur penunjang dan stakeholder yang meng-over generasi penerus untuk dididik dan digodok kualitasnya di Universitas ini.

Menata Unsyiah MenujuWorld Class University Based on Local Identity

UU No. 20 tahun 2003 pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa yang dimaksud perguruan tinggi adalah merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Selain itu perguruan tinggi juga mempunyai pengertian pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah. Perguruan Tinggi di sini adalah tingkatan universitas yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu ( Barthos,1992). 

Secara teknis perguruan tinggi bertindak sebagai wadah yang mencetak manusia dengan gelar diploma, sarjana, magister, dan doktoral. Namun, jauh lebih penting dari itu secara psikologis dan sosial akademis, perguruan tinggi berfungsi sebagai wadah untuk membentuk manusia dengan watak akademis logis dan memiliki kemampuan tinggi dalam menganalisis permasalahan-permasalahan lingkungan sekitar serta mampu memberikan sintesis atas permasalahan yang terjadi, perguruan tinggi juga mencetak manusia-manusia yang tidak hanya siap untuk memasuki dunia lapangan pekerjaan namun juga mampu menciptakan manusia yang menjadi pioner usaha dan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru. Untuk mencpai taraf itu, sebuah perguruan tinggi harus memiliki visi misi dan aktualisasi kerja yang excelent dan memiliki kinerja kelas dunia.

Era ini hampir seluruh universitas yang ada di tanah air berlomba-lomba memasang slogan dan banner kampus dengan kalimat World Class University. Unsyiah juga mampu dan pasti mampu bermetamorfosis secara sempurna sebagai perguruan tinggi negeri di Aceh dengan taraf World Class University. Istilah world class sebenarnya bukanlah hal yang menakutkan dan tinggi. Istilah international adalah istilah yang merujuk suatu tempat atau objek yang letaknya diluar suatu daerah/negara yang memandang dan merasa. Mengapa Harvard University terasa begitu “internasional” di hati sebagian masyarakat dunia termasuk Indonesia? 

Sebab kita memandang Harvard dari sudut pandang Indonesia bukan dari sudut pandang orang-orang sekitar kampus Harvard itu sendiri. Bagi mereka, mungkin Harvard tidak ada bedanya seperti kampus lain di negara mereka. Begitu juga dengan beberapa universitas yang ada di kawasan Asean, Nanyang Technology University(NTU) di Singapore misalnya. NTU dibangun dan ditumbuhkembangkan oleh masyarakat Singapura yang memiliki tingkat kepedulian terhadap pendidikan tinggi yang amat luar biasa besar, tidak hanya civitas akademikanya namun juga masyarakat umum Singapura. NTU dibesarkan dengan cara-cara lokal masyarakat Singapura, masyarakat yang gigih dalam membangun pendidikan, alot dalam menciptakan kreatifitas ilmu pengetahuan, dan sukses dalam membangun image perguruan tinggi yang dinamis hingga dikenal masyarakat dunia. Kita dari Indonesia, memiliki kebiasaan pendidikan umum di Indonesia, memandang NTU pasti akan berdecak kagum dan memberikan level standar kelas dunia bagi universitas di negeri Merlion tersebut. Mengapa demikian? 

Sebab kita belum sealot masyarakat Singapura dalam membangun standar universitas kita, padahal ia sama saja seperti kampus-kampus di negara-negara lain, memiliki tugas dan fungsi yang sama, hanya kultur masyarakat dan kepedulian stakeholder yang membedakan “rasa” universitas di beberapa negara dunia. Jadi, istilah world class atau kelas dunia atau dengan kata lain level internasional hanyalah istilah yang digunakan untuk merujuk sesuatu yang dipandang dari luar negara objek tersebut dipandang. 

Apakah mungkin Unsyiah mampu berdiri sebagai perguruan tinggi dengan kelas dunia? Sangat mungkin, bahkan sudah menjadi universitas internasiona jika dipandang dari luar Indonesia. Secara geografis, masyarakat India akan menyebut Unsyiah sebagai perguruan tinggi internasional, mengapa? Sebab Unsyiah berdiri di luar negara India. Namun secara kualitas akademik dan kultur penelitian masyarakat kampus, apakah Unsyiah bisa disejajarkan dengan universitas di Singapura, Amerika, Inggris, dan beberapa negara maju lainnya? 

Tentu saja belum. Hal ini memerlukan proses. Proses yang bagaimana? Seperti yang dilakukan masyarakat Singapura, membangun dengan kebiasaan lokal untuk menghasilkan citra dan cita rasa internasional. Meningkatkan infrastruktur, mensinergikan fungsi teknologi di segala lini, meningkatkan mutu penelitian, membangun komunitas ilmiah yang besar, dan menciptakan tatanan masyarakat sekitar kampus yang lebih dinamis dengan kearifan lokal akan mampu mengangkat citra dan kualitas Unsyiah menjadi kampus bercita rasa internasional berkelas dunia. Masyarakat harus benar-benar mempercayai Unsyiah sebagai universitas yang mampu menciptakan anak-anak kita menjadi manusia yang berkualitas tinggi baik Iptek maupun Imtaq. Jika masyarakat Aceh masih menilik universitas lain di luar Aceh sebagai universitas yang ada dalam hati, maka slogan jantung hati masyarakat Aceh hanya akan menjadi pepesan kosong dan retorika belaka.

Dalam menata Unsyiah menjadi Perguruan Tinggi Negeri dengan taraf World Class University juga membutuhkan kepedulian pemimpin wilayah tempat universitas tersebut berdiri. Cendekiawan Muslim dari Universiti Teknomogi Malaysia, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, kuncinya terletak pada tangan pemimpin, “Maka pemimpin yang berkuasa harus peduli pendidikan,” kata dia. Selanjutnya Wan Daud mengatakan “jika pemimpin peduli terhadap kecerdasan bangsa, maka alokasi dana pendidikan akan besar. Hasilnya, negara mampu membiayai rakyat untuk menempuh pendidikan secara maksimal. Entah dengan mengirim rakyat belajar ke luar negeri atau meningkatkan lembaga pendidikan tinggi nasional. Semangat pendidikan harus berdasar pada untuk kembali pada bangsa dan negara, itulah yang selalu ditanamkan pada kami," ungkap Wan.

Mengapa penulis mengambil kutipan dari cendekiawan Malaysia dan bukan Amerika? Sebab, negara ini paling dekat untuk dijadikan contoh dan Malaysia dulu adalah “murid” Indonesia yang mampu melesat jauh mengungguli pendidikan Indonesia. Sebab apa? Kepedulian Pemimpin. Aceh dan Unsyiah harus mengambil pelajaran dari negeri serumpun yang memiliki keterkaitan erat dengan Serambi Mekkah ini guna mewujudkan Usnyiah sebagai World Class University.

Kembalikan Kepercayaan Masyarakat Aceh Terhadap Unsyiah

Hal tak senada antara peningkatan kualitas Unsyiah secara nasional dan regional justru terjadi pada jumlah peminat SNMPTN 2016 ini. Jumlah pendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2016 di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), setelah seminggu masa pendaftaran masih sangat minim. Hingga Minggu (6/3) sore, jumlah pendaftar baru sebanyak 5.668 orang. Sebanyak 3.683 orang dari jumlah tersebut menempatkan Unsyiah sebagai PTN pilihan pertama, sementara 1.985 orang lainnya menempatkan Unsyiah sebagai prioritas kedua mereka.Tahun lalu, jumlah total pendaftar di Unsyiah melalui jalur bebas tes tulis ini sebanyak 22.871 orang[3].

Unsyiah beserta seluruh jajaran telah mengembalikan kepercayaan publik nasional dalam hal ini Kemenristek Dikti bahwa Unsyiah patut dan sangat pantas menempati satu posisi terbaik di Pulau Sumatera bahkan nasional. Namun, seluruh jajaran civitas akademika Unsyiah nampaknya harus bekerja lebih keras dalam mensosialisasikan Unsyiah sebagai perguruan tinggi negeri terbaik di Aceh dan Sumatera bahkan nasional.

Nanti, adalah sebuah pertanyaan yang akan dilayangkan oleh seluruh masyarakat Aceh dan Indonesia tentang apa yang akan dilakukan dan progres apa yang akan direncanakan oleh Unsyiah sebagai PTN yang berakreditasi A. Nanti, adalah sebuah rencana yang harus diagendakan oleh seluruh lapisan masyarakat kampus Unsyiah untuk meningkatkan kualitas dan mutu akademik, penelitian, pengabdian masyarakat, dan peningkatan kualitas sarana prasarana kampus. Nanti, adalah sebuah visi yang terus harus dilakukan secara berkesinambungan oleh seluruh jajaran Unsyiah untuk mewujudkan Unsyiah sebagai WorldClass University berbasis kearifan lokal. Unsyiah dulu yang menjadi cikal bakal peradaban pendidikan tinggi di Aceh harus terus berakselerasi untuk menata diri saat ini, kini adalah pembuktian dan waktu bagi Unsyiah untuk mewujudkan visi dan misi yang besar di masa yang akan datang untuk mewujudkan World Class University Based on Local Identity agar tetap menjadi jantung hati rakyat Aceh. Semua harus bekerja sama agar Unsyiah tetap menjadi Jantung Hati Rakyat Aceh.

mnk-57747953d8937356062f0a4e.jpg
mnk-57747953d8937356062f0a4e.jpg
Selamat Hari Jadi Unsyiah ke-55 Tahun, Semoga Unsyiah Tetap Menjadi Jantung Hati Rakyat Aceh Sedari Dulu, Kini, dan Nanti.

________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

*) Penulis adalah Guru Geografi di SMA Negeri 1 Tamiang Hulu

[1]. http://www.wikipedia.com/unsyiah

[2]. Lampiran Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 492.a/M/Kp?VIII/2015 Tentang Klasifikasi dan Pemeringkatan Perguruan Tinggi Indonesia Tahun 2015

[3]. http://www.acehprov.go.id/news/read/2016/03/08/3077/pendaftar-snmptn-di-unsyiah-masih-minim.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun