Etika dalam kehidupan kita sehari-hari berkaitan mengenai tindakan, kebiasaan, dan perilaku. Secara etimologi Etika sama hal nya dengan Moral. Pemahaman persamaaan antara etika dan moral dapat diartikan sebagai suatu nilai dan norma yang berfungsi sebagai panutan dan juga patokan bagi setiap orang maupun kelompok dan juga dalam sosial kemasyarakatan dalam mengatur tingkah laku. Mengutip dari Srisumantri, bahwa nilai-nilai etika dan  moral harus diletakkan sebagai landasan atau dasar pertimbangan dalam segala kegiatan. Pikiran kita merupakan aktor dan faktor penentu dan pemutus suatu tindakan yang akan kita lakukan, pikiran yang baik akan menghasilkan etika dan moral yang baik, pun pikiran yang buruk akan menghasilkan tindakan yang buruk. Perlu dipahami bahwa segala gerakan organ tubuh kita merupakan hasil dari pikiran yang kita miliki.
Jika kita mengkaitkan Etika dengan politik, maka banyak perspektif yang muncul dari segi definisi. Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua ilmu yang terpisah. Ia menganggap bahwa etika sebagai bagian dari strategi untuk mendapat kekuasaan. Etika sendiri menurut Machiavelli merupakan bagian dari strategi kekuasaan yang tidak selamanya terkait dengan persoalan yang baik dan yang buruk,tetapi bersifat realistic dan obyektif serta tidak universal dan bisa saja berubah-ubah tergantung dari kondisi dan situasi masyarakat. Pendapat lain, menurut Russel dan Kant, etika merupakan landasan berpikir penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Berarti hubungan etika dan kekuasaan tidak sekedar hubungan strategis tetapi juga sudah kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Etika tidak melulu soal ilmu yang bersifat teologis namun juga bersifat universal yaitu kemanusiaan. Etika dan Kekuasaan sudah menjadi istilah yang identik dalam bernegara. Etika merupakan cara penguasa mengontrol kekuasaannya. Etika pun sering diartikan sebagai norma kesopanan yang timbul dalam hati nurani manusia yang melahirkan perilaku baik atau buruk dalam jati diri seseorang termasuk penguasa. Yang sering juga disebut peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dan bernegara.
Mengenai kasus politik yang masih hangat dalam perbincangan publik saat ini, DPR selaku perwakilan rakyat meloloskan UU MD3 di paripurna, Undang-undang tersebut dinilai masyarakat akan mengancam sistem demokrasi Negara Republlik ini karena akan membuat Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Lembaga yang kebal dari kritik atau disebut ''super power". Dan yang menjadi sorotan kita adalah sikap dari Presiden Republik Indonesia kita Joko widodo mengenai UU MD3 ini. Protes keras dari masyarakat memang dipahami oleh jokowi sehingga beliau belum mau untuk menandatangani UU MD3 tersebut. UU tersebut sudah sampai di meja jokowi tetapi memang belum ditandanganinya dengan alasan ia peduli dengan keresahan masyarakat Indonesia yang ada saat ini. Sikap jokowi dalam masalah ini sedikit ambiguitas. Secara umum, dalam pembuatan UU, DPR selaku legislatif memiliki andil bersama-sama dengan Pemerintah sebagai pihak eksekutif. Jika Jokowi peduli dengan Sistem Demokrasi di Indonesia seharusnya sejak dari awal ia menolak UU tersebut sebelum disahkan di dalam rapat paripurna bukan untuk memilih bersikap dingin dan menunda tindakan. Tetapi politik adalah politik. Beliau memegang kekuasaan pemerintah yang absolutely. Didalam pembuatan UU tersebut DPR dan pemerintah membentuk yang namanya Panitia Kerja. Dalam Panitia Kerja tersebut terdapat perwakilan dari DPR yakni Badan Legislasi dan perwakilan dari Pemerintah adalah Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly. Pemerintah memang terlibat dalam rancangan UU tersebut, dalam pasal 122 huruf k tentang penghinaan DPR, menteri hukum dan Ham tersebut mendorong mensetujui agar DPR tidak kehilangan wibawa melalui pasal tersebut.
Tindakan yang mengherankan adalah Yasonna selaku perwakilan pemerintah tidak melaporkan pembahasan UU tersebut kepada jokowi. Tetapi presiden jokowi masih berisfat dingin terhadap masalah ini. Jika memang jokowi peduli dengan demokrasi di negeri ini tentunya yasonna akan mendapatkan sanksi yang tegas dari jokowi. Tentunya banyak pula pihak yang berspekulasi bahwa sebenarnya  Pemerintah ada indikasi intervensi dengan DPR dan Presiden Jokowi hanya melakukan pencitraan semata. Tindakan Pemerintah yang pasif membuat kita kembali berspekulasi apakah ini bagian dari strategi politik, strategi politk menjelang Pemilu 2019. Tentunya hal ini berlandaskan oleh logika dan realita yang faktual bahwa saat ini memang jokowi sedang menjaga hubungan baik dengan partai-partai politik. Padahal ada 8 fraksi partai yang mendukung UU MD3 tersebut yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, PAN, PKS, dan Hanura. Dan yang menolak hanya 2 fraksi partai yaitu PPP dan Nasdem. Langkah jokowi untuk menunda penandatanganan UU MD3 merupakan strategi politik. Sebagai pihak yang terlibat dalam pembuatan Undang undang  seharusnya jokowi bisa mencegah UU tersebut sebelum disahkan oleh DPR walaupun pada akhirnya UU tersebut tetap akan sah walupun tidak ditandatanganinya. Yang menajdi kecurigaan publik bahwa ada main belakang pemerintah dengan DPR adalah tidak dilaporkan nnya pembahasan tersebut kepada presiden oleh perwakilan pemerintah yakni Menkumham. Idealnya memang Jokowi harus memecat Yasonna dari kursi menteri jika memang tidak ada permainan politik antara pemerintah dengan DPR karena telah melanggar etika dan juga norma hukum dalam berpolitik.
 Strategi politik jokowi dalam UU MD3 ini adalah bentuk dari komunikasi politik. Menurut Gabriel Almond, komunikasi politik berfungsi dalam berbagai aspek politik termasuk pembuatan peraturan( rule making). Dalam pembuatan UU, si Pembuat aturan harus menjalin hubungan komunikasi yang baik antara sesama mereka. Disisi lain komunikasi yang baik juga harus tetap terjaga dengan rakyatnya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi dalam sikap dan tindakan jokowi terhadap UU MD3 ini. Kemungkinan yang pertama, jokowi akan menunda bahkan akan membiarkan UU MD3 tidak ditandatangani hingga 30 hari yaitu batas dari hari penandatanganan. Dengan begitu UU MD3 tetap akan sah dan berlaku. Kemungkinan ini akan membuat citra jokwi di masyarakat baik karena berpihak kepada masyarakat. Namun disisi lain ia juga sedang berpihak pada partai-partai yang ada di DPR  karena memilih bersifat pasif terhadap UU MD3. Karena meski menolak, UU MD3 akan tetap sah. UU MD3 tersebut bisa batal dengan cara  masyarakat sipil bersedia menggugat untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi(MK) atau istilahnya disebut "Judicial Review".
Mengutip pembicaraan dari Prof Rocky Gerung , secara logis, UU MD3 tidak memliki landasan filosofis dan efektivitas yang mumpuni. DPR seharusnya malu dengan produk yang di hasilkan tetapi perlu dibawa dulu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk di uji Materi dengan kata lain Produk tersebut sudah cacat. Balik lagi ke etika presiden Jokowi terhadap UU MD3 ini. Kemungkinan yang kedua, Jokowi akan membatalkan UU tersebut dan menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). Tetapi dalam kemungkinan ini Jokowi berpotensi akan dibenci oleh partai-partai yang ada di DPR. Kemungkinan manapun yang akan dijalankan oleh jokowi akan tetap aman di mata masyarakat. Tetapi jika jokowi mengganti UU MD3 tersebut dengan perppu, konsekuensinya adalahg ditinggal oleh partai-partai di DPR yang mendukung UU MD3 tersebut.
 Sudah selayaknya para pejabat politik memiliki yang namanya Etika Politik. Etika politik mempunyai tujuan kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak menipu dan berbagai tindakan tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut satu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani memakai rasionalitas. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang di uji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dites dengan kriteria moral. Dalam berpolitik harus, kejujuran sangat memerlukan keberanian. Suatu keberanian yang dilandasi kesadaran, proses berpolitik yang tak sehat tak hanya merusak proses demokrasi yang di bangun. Tetapi, juga merusak tatanan dan juga sistem politik yang seharusnya dijunjung tinggi dan dipatuhi bersama. Artinya secara kasat mata publik melihat, politik saat ini masih didominasi permainan-permainan tidak sehat yang melahirkan para politisi bermental tidak sehat. Sehingga orientasi politiknya pun tidak sehat, sebatas memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya meski harus menempuh cara-cara yang tidak sehat, kejujuran berpolitik sangat penting sekali dalam upaya memperbaiki keadaan bangsa ini yang penuh dengan kepalsuan. Ketika seseorang berpolitik kejujuran menjadi sesuatu yang langkah, padahal kejujuran para politisi bukan hanya kutamaan dasar yang harus kita tuntut, melainkan merupakan dasar kepribadian yang integral dan bertanggungjawab. Sifat politik bukan sekedar pragmatis, yang menyangkut satu tujan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani  dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. Dalam politik ada keindahan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur bukan hanya tipu muslihat atau ketidak jujuran. Kurangnya etika berpolitik sebagaimana perilaku politisi sekarang ini merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai bangsa kita tidak banyak memiliki ilmu politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral.
 Â
Sumber Rujukan :
[1] Sri Soemantri, hukum tata negara Indonesia
 [2] Machiavelli. The Prince. Hal : 18
  [3] Prof. Drs. Widjaja. Etika Pemerintahan h; vii