Mohon tunggu...
Akbar Adri Suwendo _Inpar
Akbar Adri Suwendo _Inpar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Trip

Field Trip Sumedang Heritage Industri Pariwisata Angkatan 2023 Universitas Pendidikan Indonesia

19 Maret 2024   16:00 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:09 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : foto mahasiswa 

Tepat pada tanggal 9 Maret 2024 hari Sabtu kemarin, prodi Industri Pariwisata Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2023 melakukan Field Trip Sumedang Heritage dengan tujuan yaitu Tahura Gunung Koentji , Makam Cut Nyak Dien Kraton Sumedang Larang Dan Alun Alun Sumedang dengan tujuan agara lebih mengenal dan mengeksplor lebih jauh tentang sejarah dan budaya Sumedang.

Tahura Gunung Koentji( Kunci )Sumedang terkenal dengan makanan khasnya yaitu Tahu Sumedang. Tapi tahukah kalian? Destinasi yang berada di Sumedang dapat menjadi salah satu daya tarik alasan para wisatawan untuk berkunjung ke kota tahu ini. Salah satunya destinasi wisata Tahura Gunung Kunci. Tempat ini dikelola oleh 2 lembaga, yaitu, Dinas Kehutanan atau UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) dan BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Khusus Gua. 

Kawasan ini semula merupakan kawasan hutan produksi terbatas pada kelompok hutan karena memenuhi kriteria keindahan alam sekaligus nilai historis yang tinggi. Terlebih, luasan yang cukup untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan satwa mendorong pemerintah mengalihfungsikan Gunung Kunci menjadi taman hutan raya dengan surat keputusan menteri kehutanan No: SK.297/Menkut-II/2004 tahun 2004.

Gunung Kunci biasanya disebut dengan Gunung Panjunan, dan dalam gunung tersebut terdapat benteng terbesar yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1914-1917. Benteng ini dikenal sebagai Benteng Kunci, sehingga lebih mudahnya disebut Gunung Kunci.Terdapat beberapa ruangan didalam benteng kunci contoh nya seperti ruangan administrasi , ruangan introgasi , ruangan penyiksaan ,penjara dan masih ada tempat tempat lain nya yang menjadi saksi bisu kelam dan kejam nya belanda.

Fakta menariknya, pada jaman dahulu orang-orang Hindia-Belanda ingin membuat ibu kota Hindia-Belanda di Sumedang, namun yang dituju yaitu Bandung karena jaraknya lebih dekat. Akan tetapi Bandung sendiri malah membakar diri, dan dikenal dengan 'Bandung Lautan Api'. Maka dari itu disebutlah Gunung Kunci untuk tempat pertahanan, dan Belanda menyebutnya sebagai kunci pertahanan terbesar.

Makam Cut Nyak Dien dan Gunung Puyuh

Setiap negara pastinya memiliki pahlawan atau orang yang berjasanya tersendiri. Sama hal-nya di Indonesia yang memiliki Pahlawan di setiap daerahnya entah itu laki-laki ataupun perempuan. Dan salah satunya adalah Cut Nyak Dien yang berasal dari Aceh. Cut Nyak dien lahir pada tahun 1848 dan Beliau wafat saat berada di pengasingan dan di makam-kan di Sumedang lebih tepatnya di Gunung Puyuh.

Perjuangan Cut Nyak Dien tidak akan pernah terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Semua jasa-jasanya dalam melawan tentara belanda tidak hanya dikenang oleh warga Aceh tetapi seluruh Indonesia. Dengan semua perjuangan dan pengorbanannya Cut Nyak Dien dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional di Indonesia.

Sejarah Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien lahir pada tanggal 6 November 1848 di Lampangan, Aceh Besar. Cut Nyak Dien merupakan Pahlawan Nasional Wanita di Indonesia yang berasal dari Aceh. Lahir dan besar di Aceh, Cut Nyak Dien merupakan keturunan langsung dari Sultan Aceh. Beliau dinikahkan saat usianya masih remaja dengan Panglima Teuku Ibrahim atau Teuku Cek Ibrahim Lamngan pada tahun 1862. Pasangan ini lalu dikaruniai satu orang anak yang bernama Cut Gambang.

Peristiwa gugurnya suami dan anaknya dikarenakan pertempuran dengan  Belanda, peristiwa itu menyulut semangat Cut Nyak Dien untuk memberantas kaum kolonial tersebut. Tak lama kemudian ia bertemu dengan Teuku Umar yang menjadi suaminya setelah Teuku Ibrahim. Awalnya Cut Nyak Dien ragu menerima pinangan Teuku Umar namun keinginannya untuk turun ke medan perang lebih besar dibanding keraguannya, sehingga ia menerima pinangan Teuku Umar agar bisa turun langsung ke medan perang.

Gugurnya Teuku Umar dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari tahun 1899 karena serangan besar-besaran dari Belanda. Mengakibatkan pasukan Cut Nyak Dien melemah dan hanya bisa menghindar. Setelah kejadian tersebut Cut Nyak Dien mulai berperang selama 33 tahun di hutan belantara, Cut Nyak Dien tidak terima saat tempat ibadahnya dihancurkan oleh Belanda dan berkata "Saya lebih baik buta dari pada melihat seorang kafir di tanah kelahiran saya". Karena usianya yang sudah mulai renta, kondisi fisik dan kesehatannya juga mulai menurun tetapi beliau masih tetap turun langsung dalam pertempuran sampai di mana ia mengalami kebutaan.

 Dalam kurun waktu yang singkat Cut Nyak Dien berhasil dijemput oleh tentara Belanda pada tanggal 6 November 1905 untuk diasingkan. Setelah tinggal di markas Belanda yang terletak di Aceh selama 1 tahun sampai tahun 1906, Cut Nyak Dien di pindahkan ke Jakarta. Saat hendak kembali di asingkan Cut Nyak Dien meminta untuk di asingkan di Sumedang, Jawa Barat tepatnya pada tanggal 11 Desember 1906. Yang pada saat itu beliau tidak mengetahui di mana daerah itu berada.

Setelah sampai di tempat perasingannya di Sumedang Cut Nyak Dien berbicara dengan Bupati Sumedang, tetapi Bupati tersebut tidak bisa mengerti apa yang disampaikan Cut Nyak Dien karena Beliau hanya menggunakan bahasa Arab dan Aceh, sehingga di pertemukanlah Beliau dengan KH. Sanusi, Ulama pertama sumedang dan pendiri mesjid agung yang di serahkan pada pangeran mekkah.

Cut Nyak Dien tinggal di kediaman KH. Sanusi bersama pengawalnya dengan keadaan sakit dan buta, sehingga Beliau dirawat oleh Ibu Siti Khodijah semasa hidup di Sumedang. Cut Nyak Dien memiliki nama lain semasa tinggal di Sumedang yaitu "Ibu Ratu" agar tidak dapat ditemukan oleh pasukan Belanda. Dan diberi gelar “Ibu Suci” karena kehidupan sehari-hari beliau mengajarkan agama Islam ke masyarakat Sumedang. Gelar itu di berikan sebagai bentuk kasih sayang yang besar dari masyarakat Sumedang untuk Beliau.

Sampai di mana pada Tahun 1907 K.H Sanusi dinyatakan meninggal dan tak lama kemudian setelah K.H Sanusi wafat, pada tahun 1908 tepatnya tanggal 6 November Ibu Cut Nyak Dien wafat. Keluarga K.H Sanusi merundingkan agar makam Ibu Cut Nyak Dien bersanding dengan makam K.H Sanusi. Hingga akhirnya dimakamkan di sumedang tepatnya di makam keluarga Ibu Siti Khodijah yang bertempat-an di Gunung Puyuh, karena tidak memungkinkan untuk di pulangkan ke Aceh

sumber : foto mahasiswa
sumber : foto mahasiswa

Bagaimana orang Aceh bisa mengetahui makam Ibu Cut Nyak Dien berada di Sumedang? Makam Ibu Cut Nyak Dien diketahui secara pasti pada tahun 1960. Karena Presiden Soekarno menyuruh Gubernur Aceh atau Pemda Aceh untuk menelusuri di mana makam Ibu Cut Nyak Dien berada.

Alun Alun dan Keraton Sumedang Larang 

  • Alun-Alun Kabupaten Sumedang

Alun-alun Kabupaten Sumedang terletak dibagian Selatan Kabupaten Sumedang, tepatnya di Daerah Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan.Alun-alun Kabupaten Sumedang sudah cukup lama berdiri, tentunya adanya Alun-alun Kabupaten Sumedang tidak lepas dari peran Kerajaan Sumedang Larang. Alun-alun Sumedang tentunya menjadi pusat pemerintahan bagi Kerajaan Sumedang Larang.Alun-alun Sumedang memiliki sejarah panjang yang cukup menarik, tentunya ikon Alun-alun sendiri yang menjadi pusat perhatian bagi para wisatawan dan juga masyarakat sumedang, yaitu Monoumen Lingga yang sangat terkenal dan menjadi Ikon Sumedang salah satunya menjadi Ikon Sentra Batik Kasumedangan.

  • Monumen Lingga

Monumen Lingga didirikan pada zaman kolonial Belanda pada tahun 1922. Adanya Lingga ini adalah sebuah Penghargaan atas pengabdian pemimpin rakyat dan dibangun di pusat pemerintahan Sumedang.Monumen penghargaan ini dipersembahkan bagi Bupati Pangeran Aria Soeriaatmadja yang wafat di Mekah dan dijuluki Pangeran Mekah. Namanya juga diabadikan menjadi jalan persis di sebelah utara Lingga itu. Monumen ini didirikan tahun 1922 setelah bupati yang hidupnya sangat sederhana ini tak lagi menjadi orang nomor satu. Pangeran Soeriaatmadja menjadi Bupati Sumedang sejak 31 Januari 1883-1919.

Monumen Lingga yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Mr D Fock di bagian dindingnya ditulis, Pangabakti Ka Suwarginan Pangeran Soeriaatmadja, Bupati Sumedang 1883-1919, ping 1 Juni 1919. Bagian atas Lingga berbentuk setengah bola dan terbuat dari pelat tembaga, melambangkan setinggi tingginya puncak prestasi manusia, tidak akan mencapai kesempurnaan yang hakiki, sebab kesempurnaan sesungguhnya hanyalah milik Allah SWT.

Sedangkan pintu Lingga sendiri, yang dibangun empat buah pada setiap penjuru mata angin dengan anak tangga bertrap-trap sebagai simbol pendakian ruhani manusia dalam mencapai keridloan Allah dengan terlebih dahulu menguasai empat unsur nafsu yang terdapat pada diri setiap insan, amarah, sawiyah, lawamah dan mutmainah. Dengan penguasaan keempat unsur nafsu itu, maka manusia dengan pengampunan Allah. Atas segala dosanya, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.

 Lambang Kabupaten Sumedang diciptakan oleh R. MAHAR MARTANEGARA, putera Bupati Bandung, R Adipati Aria Martanagara yang masih penya keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan 13 Mei 1959 . Perisai, melambangkan jiwa kesatria utama, percaya pada diri sendiri. Sisi Merah, semangat keberanian. Dasar Hijau, lambang kesuburan. Bentuk setengah bola serta bentuk kubus pada ”LINGGA”, melambangkan manusia tidak ada yang sempurna. 

Sinar Matahari, melambangkan semangat rakyat dalam mencapai kemajuan. Warna Kuning Emas, berarti keluhuran budi dan kebesaran jiwa. Sinar yang ke 17, angka sakti, tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Delapan bentuk dari pada ”LINGGA” , lambang bulan Proklamasi Indonesia. Sembilan belah batu pada ”LINGGA”, empat buah kaki tembok dan lima buah anak–anak tangga: Lambang Tahu Proklamasi Republik Indonesia (1945). Tulisan ”INSUN MEDAL”, melambangkan kristalisasi dari pada jiwa dan kepribadian rakyat Sumedang.

  • Masjid Agung Sumedang

Masjid Agung Sumedang dibangun Tahun 1850 saat Bupati Sumedang dijabat oleh Pangeran Suria Kusumah Adinata atau dikenal dengan Pangeran Sugih (1836-1882). Masjid tersebut dibangun di atas tanah wakaf dari Raden Dewi Siti Aisyah. Masjid Agung Sumedang awalnya memiliki luas bangunan 583,66 meter persegi di atas tanah seluas 6.755 meter persegi. Pembangunannya dimulai pada tanggal 4 Rajab 1267 H atau 3 Juni 1850 M dan selesai pada tanggal 8 Ramadhan 1270 H atau 5 Juni 1854 M.

Bangunan tersebut kemudian diperluas saat Bupati Sumedang dijabat oleh Pangeran Aria Suria Atmadja atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Mekah (1883-1919). Bangunan Masjid Agung Sumedang mengalami pelebaran ke depan, samping utara dan samping selatan dengan penghulunya K.H.R. Muhammad Hamim. Dikutip dari Annisah Ayuningdiah dalam Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800-1942 (IPLBI, 2017), menyebutkan pengaruh arsitektur Tiongkok itu berasal dari para pengembara Tionghoa yang datang ke Sumedang. Mereka saat pembangunan masjid, turut serta membantu.

Bentuk atap yang bersusun tiga merupakan pengaruh dari bentuk pagoda. Ornamen-ornamen ukiran yang menghiasi bangunan masjid juga bercorak Tiongkok Sementara untuk arsitektur yang terpengaruh oleh Belanda tampak pada bentukan kolom-kolomnya yang merupakan kolom Yunani. Kemudian, ukuran jendela yang besar dengan ujung setengah lingkaran yang juga merupakan khas zaman Belanda.

  • Keraton Sumedang Larang

Bangunan Keraton Sumedang Larang terletak di Jalan Prabu Geusan Ulun No.40 Sumedang. Berada di pusat kota berdampingan dengan Gedung Negara pusat kegiatan dari pemerintahan Kabupaten Sumedang. Keraton Sumedang Larang merupakan bangunan inti yang dulunya dikenal dengan sebutan Sri Manganti artinya tempat menunggu/menanti para tamu yang akan menghadap ke Bupati.

sumber : foto mahasiswa 
sumber : foto mahasiswa 

Keraton Sri Manganti dibangun pada masa pemerintahan bupati Adipati Tanumaja 1706-1709 sebagai keinginan dan harapan dari Pangeran Panembahan ayahandanya. Bangunan Keraton Peninggalan Adipati Tanumaja disempurnakan pada masa Pangeran Suria Kusumah Adinata (Pangeran Sugih) 1836-1882 tepatnya 1850. Keraton Sri Manganti memiliki bangunan khas kolonial dengan tiang-tiang penyangga yang besar serta memiliki kaca-kaca jendela yang besar. Bangunan Sri Manganti Larang mengalami renovasi bangunan pada tahun 1979, 1980, 1981, dan 1982. Bangunan Sri Manganti mendapat rehab berat dan renovasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Tahun 1993 Gedung Sri Manganti mendapat rehab lagiuntuk merenovasi bagian kap atas dan selesai tahun 1994.

Bangunan Srimanganti dahulu menjadi tempat tinggal para Bupati Sumedang sampai tahun 1950, sekarang bangunan Sri Manganti tampak berdiri kokoh dan megah sebagai warisan sejarah leluhur Sumedang. Yang sekarang menjadi pusat kegiatan dari Keraton Sumedang Larang. Keraton Sumedang Larang merupakan pusat dari pengetahuan dan budaya yang masih aktif serta menjadi salah unsur dari Sumedang Puseur Budaya Sunda.

sumber : foto mahasiswa
sumber : foto mahasiswa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun