“Orang hebat bukan yang mampu mengerjakan semua hal dalam satu waktu. Tapi ketika dia mampu mengatur dalam tingkatan prioritas”.
Pernyataan tersebut saya peroleh dari sebuah buku yang berjudul “Sadar Penuh, Hadir Utuh”. Buku tersebut memberikan pencerahan tentang pentingnya mengerjakan sesuatu dengan sadar penuh dan sepenuh hati. Mengerjakan dengan fokus yang tinggi dan tidak memikirkan sesuatu hal di luar. Mengerjakan sesuatu dengan tuntas sebelum mengerjakan yang lain.
Saya setuju banget dengan isi buku tersebut. Ketika berada disuatu tempat dan mengerjakan suatu hal, pikiran dan hati kita harus berada disana. Jangan sampai kita mengidap virus “Monkey Mind”, yang tidak mampu mengerjakan sesuatu dengan total karena pikiran yang meloncat-loncat. Padahal otak kita terbatas untuk multitasking. Tidak mampu mengerjakan banyak hal secara total dalam satu waktu. Mungkin saja kita memiliki waktu yang banyak untuk mengerjakannya satu persatu namun kita lebih memilih untuk mengerjakan sesuatu hal secara bersamaan atas nama efisiensi. Padahal nil hasil yang diperoleh.
Kebiasaan itu yang terkadang membuat seseorang yang mengerjakan sesuatu hal menyenangkan dan memberikan kebahagiaan menjelma menjadi rutinitas yang biasa saja. Ambil contoh saja saat makan. Moment itu sebenarnya mampu memberikan kebahagiaan tersendiri buat kita. Tapi kita bisa observasi apa yang terjadi, banyak orang yang makan sambil menonton. Padahal saat makanan masuk dimulut akan memberikan sensasi cita rasa. Coba kita makan secara pelan dan dinikmati, maka akan memberikan kepuasan tersendiri dalam otak kita. Kita berpikir bahwa makan itu hanya sebagai kebutuhan, padahal di moment itulah kita bisa menikmati karunia Tuhan yang memberikan efek kebahagiaan. Kita selalu luput dari kebahagiaan kecil yang telah diberikan Tuhan. Kita akan bisa lebih bersyukur atas kebahagiaan besar bila kita mau belajar untuk mensyukuri kebahagiaan-kebahagiaan kecil.
Bahkan realita yang terjadi, banyak orang yang berpergian dengan seseorang yang disayang tidak menjamin bahwa pikiran dan hati tetap berada di depannya. Sudah terlalu banyak yang bertebaran sepasang kekasih yang keluar bareng namun hati dan pikiran tak bergandengan bersama. Aktivitas kantor atau pun bisnis mampu merenggut kebahagiaan dalam waktu bersama si dia. Waktu kerja yang telah tertulis dalam kontrak yang memisahkan antara waktu bekerja dan istirahat tak berpengaruh karena pekerjaan tetap melekat di pikiran. Bukankah Tuhan selalu mengingatkan kita untuk hidup dalam keteraturan. Waktu untuk si dia bukan hanya untuk dalam bentuk fisik, namun pikiran dan jiwa selalu berdampingan.
Duduk sejenak dan atur ritme aliran nafasmu. Melakukan pernapasan sekitar 8-10 kali dalam semenit dengan hitungan sekali untuk setiap satu tarikan dan satu hembusan. Disitulah kita mengatur cara berpikir dan hati untuk lebih tenang. Memikirkan langkah selanjutnya dengan lebih matang dan tidak emosional. Membentuk kekuatan benteng kesabaran yang menenangkan kita dalam perbuatan yang terburu-buru dan mengambil keputusan secara gegabah. Hal tersebut tidak akan memberikan kerugian karena setiap pekerjaan itu membutuhkan istirahat dan menghimpun energi kembali. Begitupun dengan hati dan pikiran yang telah bekerja dengan banyak situasi dan kondisi yang silih berganti.
Aliran pernafasan yang teratur dan pikiran yang telah berada dalam frekuensi sadar akan memberikan hasil yang memuaskan. Melakukan pekerjaan dengan sadar penuh akan melahirkan kekuatan yang sebenar-benar kekuatan. Tidak mengerjakan asal jadi dan hanya mengugurkan kewajiban semata. Bukankah Tuhan suka dengan pekerjaan yang diselesaikan dengan Total. Menghimpun semua energi dan mengunci dalam satu titik akan membangunkan raksasa yang telah tertidur lelap.
Apa pun yang kita lakukan akan terasa mudah dan lebih lancar bila fokus. Pikiran dan hati saling mendukung satu sama lain dan memiliki sasaran yang sama. Terlalu banyak tantangan di lingkungan yang terkadang memaksa kita untuk mengalihkan tenaga kita ke sesuatu yang bukan menjadi prioritas. Hidup terkadang terkepung dengan berbagai gangguan yang bisa membajak perhatian kita. Saya yakin kita semua tidak ingin segala tujuan yang telah direncanakan terusik oleh gangguan-gangguan yang tak jelas dan tak bernilai.
Berusahalah mindfulness dalam setiap waktu dan dimana pun berada. Mindfulness adalah cara yang lemah lembut dan tidak kasar agar secara berkelanjutan diri kita hadir utuh dan sadar penuh. Menemani segala pengalaman dan rasa yang datang silih berganti. Metode itu membantu kita untuk mengenali, memperlambat atau bahkan menghentikan reaksi-reaksi otomatis yang sudah menjadi kebiasaan kita, yang hanya berdasarkan hal-hal yang pernah kita alami sebelumnya.
Saya akan juga bercerita sedikit mengenai pengalaman tentang pentingnya rehat sejenak. Sempat saya mengalami miss understanding dengan sisiwa tempat saya mengajar. Saya ditugaskan untuk piket sekolah dan menjaga keteraturan kegiatan di sekolah. Selalu memperhatikan keluar masuknya siswa di sekolah. Ketika saat bertugas, saya melihat sekelompok siswa yang ingin lari. Secara rileks saya meneriakinya dengan suara tinggi dan sangat emosional. Banyak orang yang memandangi kejadian tersebut karena memang menarik perhatian orang sekeliling.
Sungguh penyesalan yang selalu menghampiri ketika mengingat kejadian tersebut. Karena itu memperlihatkan secara jelas luapan emosiku. Saya tahu pada saat itu keadaan emosionalku tidak stabil karena pekerjaan yang tidak henti-hentinya menghampiri. Hal terjadi karena saya tidak memberikan batas waktu antara bekerja dan istirahat. Beberapa hari sebelum kejadian itu saya terlalu semangat untuk bekerja bahkan saya menginap di dormitory yang tidak lain masih lingkungan kerja.
Saat itu saya harus ke sekolah jam 7 pagi untuk melaksanakan tugas utama yaitu mengajar. Namun dibalik itu semua, saya harus juga terlibat aktif di kegiatan kesiswaan hingga komisi kedispilinan. Banyak hal yang harus dipikirkan dalam satu waktu karena banyaknya tanggung jawab. Bukan hanya itu, setelah tugas di sekolah selesai dan balik ke dormitory untuk istrahat, ternyata ada juga tanggung jawab yang menanti. Sebenarnya saya bisa cuek dengan kejadian yang terjadi di dormitory di saat saya tidak bertugas. Namun saya buka tipe orang yang berpura-pura dalam ketidakpedulian. Hal tersebut berulang beberapa hari dan akhirnya frekuensi emosional saya tidak berada di zona hijau. Sungguh sangat emosional dan puncaknya ketika beberapa siswa berulah.
Saya sadari kejadian tersebut terjadi karena tidak ada jeda untuk mengistirahatkan otak dan perasaan. Mungkin tidur bisa menajadi istirahat, namun penutup waktu sadar menuju alam tidak sadar tetap pikiran bergelut dengan kerjaan yang mengartikan kata tidur hanya untuk mengistirahatkan tubuh saja. Satu demi satu pekerjaan datang silih berganti yang tidak akan rehat bila kita tidak mengaturnya. Pikiran untuk rehat saat itu tidak muncul karena semangat kerja yang terlalu bergejolak. Namun pada akhirnya permasalahan baru yang hadir.
Kejadian itu mengajarkan saya untuk membagi waktu antara pekerjaan dan istirahat. Hibernasi dari rutinitas kerjaan untuk mengembalikan frekuensi emosional dalam zona hijau. Memfokuskan pikiran dan tenaga untuk kantor jika waktu kerja. Serta meluangkan segala waktu dan pikiran untuk keluarga jika waktu rehat datang. Saya butuh waktu untuk bertemu dengan teman-teman, menikmati secangkir kopiku, membaca buku motivasi, dan bercanda gurau dengan keluarga. Mindfulness untuk kelurga, teman, dan kerjaan.
Sumber Gambar: http://www.theroadtosiliconvalley.com/wp-content/uploads/2013/11/monkey-brain-monkey-on-head.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H