Sudah genap 3 tahun sejak RUU Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang (UU), Senin (5/10/2020). Â namun dalam perjalanannya sudahkah UU Cipta Kerja terkait regulasi Karyawan Kontrak sudah memberikan cukup keadilan bagi para kelas pekerja? Dapat kita ketahui bahwa, UU Ciptaker ini hanya dibuat hanya dalam 64 rapat kerja, dan 6 kali Rapat Timus/Timsin yang kemudian disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada Senin, 5 Oktober 2020.
Ada sekitar 15 bab dan 186 pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja ini. Yang didalamnya, mengatur tentang penciptaan kerja melalui usaha mikro, kecil, dan menengah, investasi Pemerintah Pusat, pemberdayaan koperasi, hingga lingkungan hidup. Namun, dalam artikel ini akan difokuskan membahas tentang regulasi yang berkaitan dengan nasib Karyawan Kontrak.
1. Apa yang dimaksud dengan PKWT? Bagaimana kejelasan waktu masa kerja sebelum dan sesudah disahkannya UU Cipta Kerja?Â
Perkanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan suatu perjanjian hubungan kerja antara pihak pemberi/penyedia pekerjaan dalam hal ini pengusaha dengan pihak pekerja atau buruh. Adapun pasal yang mengatur masa kerja sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja adalah, pasal 56 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dengan bunyi,  (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau waktu tidak tertentu (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas ; a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. Nah, dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan ada ayat tambahan yang menjadi banyak perhatian dan  cukup kontroversial, yaitu Ayat (3) yang berbunyi ; "Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja."Â
Pasal tersebut secara tidak langsung memberikan ketidakjelasan jangka waktu maksimal status masa kerja (PKWT) , yang dalam peraturan sebelum adanya UU Ciptaker dimana dalam peraturan Pasal 59 Ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan diatur batas maksimalnya ialah 3 (tiga) tahun yang dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan tertentu. Artinya, walaupun perjanjian hubungan kontrak kerja dalam UU Ciptaker Pasal 56 Ayat (3) dan Pasal 56 sebelum adanya UU Cipta Kerja ditentukan berdasarkan perjanjian kerja antara pihak pengusaha dengan pekerja, namun setidaknya ada kejelasan status waktu masa kerja sebelum disahkannya UU Cipta Kerja dengan dikuatkan oleh Pasal 59 Ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan dan, Pasal 59 Ayat (4) dimana perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu tertentu diatur maksimal 2 tahun . Disebutkan dalam Pasal 56 Ayat (4) UU Cipta Kerja , bahwa penentuan terkait mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, hingga jangka waktu perpanjangan perjanjian pekerjaan harus diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan dalam pembuatan Peraturan Pemerintah memerlukan waktu dan kajian lebih lanjut, dan pada kenyataannya sampai sekarang masih belum ada progres signifikan terkait hal tersebut.Â
2. Masa Percobaan (Probation)Â
Dalam mandat UU Cipta Kerja yang telah disahkan, aturan terkait Masa Percobaan untuk PKWT diatur dalamÂ
pada Pasal 58 UU Cipta Kerja terdapat dua ketentuan, yaitu:
1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
2. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
Artinya, pihak perusahaan/pengusaha yang memberikan ketentuan dan kejelasan masa waktu percobaan untuk PKWT tidak serta merta menjamin penuh hak-hak pekerja, walaupun bisa saja standarisasi perusahaan menjadi salah satu syarat dalam memfiltrasi kualitas pekerja. Namun lagi-lagi, aturan tersebut terkesan lebih menguntungkan para pemodal sebagai salah satu alasan untuk memberhentikan pekerja waktu tertentu tanpa memberikan kesempatan lebih untuk pekerja dalam melakukan adaptasi terhadap standarisasi perusahaan.Â
3. Pembayaran Hak Kompensasi tehadap Pekerja Kontrak (PKWT) dan Ganti Rugi Pemutusan Kontrak Sepihak
Aturan terkait pembayaran uang kompensasi untuk PKWT sebelumnya tidak pernah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, kemudian setelah adanya UU Cipta Kerja masalah tersebut dijawab dalam butir Pasal 61A Ayat (1), dimana pihak pengusaha atau perusahaan wajib memberika uang kompensasi atau pesangon kepada pekerja atau buruh, namun terkait perhitungannya masih akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan sampai saat ini belum ada kejelasan, yang kemudian selama kurang lebih 3 tahun setelah disahkannya UU Cipta Kerja banyak kasus yang berkaitan dengan pemenuhan hak kompensasi atau uang pesangon yang tak sebanding dengan waktu dantenaga yang telah dikeluarkan selama masa PKWT, karena masih belum adanya landasan hukum terkait perhitungan pembayaran uang kompensasi/pesangon yang seharusnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Disamping itu, adapun peraturan terkait ganti rugi pemutusan kontrak secara sepihak, masih mengacu pada UU Ketenagakerjaan Pasal 62, dimana apabila pihak perusahaan ataupun pihak pekerja memutuskan kontrak secara sepihak sebelum berakhirnya masa kerja dalam PKWT maka, pihat tersebut wajib membayar uang ganti rugi sebesar upah pekerja/buruh. Hal tersebut, dirasa memberatkan bagi pihak pekerja lantaran dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigasi RI No.Kep-100/Men/VI/2004) tidak menyebutkan atau mengatur tentang persoalan pihak pekerja PKWT yang mengundurkan diri, karena persoalan pengunduran diri hanya dikenal pada jenis hubungan kerja yang bersifat tidak tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H