Hallo, good people! Kenalin nama saya Kevin Andreas biasa dipanggil Phinke. Saya adalah mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta jurusan Ilmu Komunikasi. Saya Kebetulan tinggal di Depok, Â Jawa Barat, tapi karena saya kuliah di Jakarta, dan yap benar, antusiasme Pilkada DKI ini bener-bener merubah jam televisi saya, dimana saya yang mungkin 3 tahun lalu hanya bertanya kepada orang tua saya, "pah, mah, Megawati kok ga'Â maju lagi jadi presiden?" seketika menjadi "pah, itu yang disampaikan paslon no. 3 bohong! Pak Anies bilang pengguna narkoba di Jakarta naik 35%, tapi faktanya dari kompasdata dari 2013 ke 2014 malah menurun tuh! 2013 itu lima ribu lebih, sedangkan 2014 itu turun menjadi empaty ribu-an orang. Ini Pak Anies kenapa? Dasar, penjahat retorika." Sungguh luar biasa bukan dampak pesta demokrasi ini?
Namun, ada hal yang menarik bagi saya anak kemarin sore ini. Benarkah begitu besar dampak media terhadap seseorang? Ya memang, pengggiringan opini oleh media sangat besar bagi seseorang dalam menentukan pilihannya, tapi apakah hal tersebut dapat menjamin kemenangan bagi pasangan yang didukungnya? Mari sejenak kita kilas balik bagaimana dunia dibuat kaget dengan kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS. Kita sama-sama tahu bahwa media luar negeri maupun dalam negeri sama-sama menggoreng habis kenegativitasan Donald Trump, dan yang sangat viral adalah dimana beliau dinilai merugikan agama tertentu. Disaat semua media membuat framing tertentu untuk Trump, namun apa yang terjadi? Ya, Donald Trump sekarang bekerja di Gedung Putih. Jadi, dimana letak kekuatan media sosial yang sebenarnya?
Ini sedikit teori awam yang saya buat beberapa waktu lalu. Menurut saya, Agus Yudhoyono menyadari like-ability yang dimiliki Ahok di media sosial itu tidak tertandingi, seperti halnya Trump versus Hillary beberapa saat lalu dimana framing media antar kedua nya bertolak belakang. Namun seolah tak menghiraukan hal tersebut, alih-alih membuang waktu dan dana untuk menyaingi kepopuleran Ahok di media sosial, AHY justru fokus pada "bagian dalam" nya saja, seperi halnya Trump. Jika memang demikian, hal ini sungguh menarik karena kita semua tahu dibalik AHY ada seorang SBY, walau banyak juga sosok penting dibelakang paslon lain, tapi jangan lupa bahwa SBY adalah orang pertama di Republik Indonesia yang memenangi pemilu dua periode berturut-turut. Ini bahaya, kekuatan "dalam" dari paslon 1 ini benar-benar bahaya, apabila teori anak kemarin sore ini benar.
Pesta demokrasi mencari RI 3 ini juga tak bisa dilepaskan dari masyarakat yang sudah sadar kan politik. Secara tak langsung, pergerakan massa yang dilakukan oleh ormas tertentu terhadap Ahok membuat masyarakat terangkat rasa keingintahuannya akan politik. Sekarang siapa yang tidak kenal Ahok? Dari kantin supir sampai restoran bintang lima pun ramai membicarakan mantan Bupati Bangka Belitung ini. Ada yang konservatif, ada juga yang mendukung Ahok. Namun yang pasti, Ahok inilah yang membumbui Pilkada kali ini, ditambah banyaknya relawan yang mendukung Ahok lewat media sosial tentu saja.
Lalu, apa harapan saya sebagai warga non-DKI terhadap Pilkada DKI ini? Siapapun yang menjabat sebagai RI 3 nantinya, diharapkan membawa angin segar bagi angkatan pekerja dalam menghadapi MEA. Saya tidak mau subjektif, tapi sejauh mata saya melihat baru paslon 2 lah yang menyinggung soal MEA ini. Sungguh disayangkan karena saya berharap paslon 3, selaku akademisi plus pasangannya yang berlatar ekonomi bisa menonjolkan keahliannya, namun sayang mereka terlalu fokus untuk menyerang pasangan lain sehingga menggeser esensi debat. Dengan dampak Pilkada DKI ini dan kesadaran saya yang semakin solid akan politik, dan kompetensi yang baik dari masing-masing paslon, saya berharap nantinya saya akan lebih dimudahkan dalam bersaing di MEA ini. Saya berharap ada kebijakan untuk meng-eksploitasi SDM lokal demi kesejahteraan masyarakat.
Melalu Pilkada DKI ini juga saya berharap daerah saya bisa lebih terpacu untuk kompeten dalam segi pembangunan, dan pemberdayaan manusia. Saya ingin bukan hanya saja kaum intelek yang punya suara dalam negara yang katanya demokrasi ini, tetapi semuanya punya. Saya ingin tukang becak dirumah saya bisa sama bahagianya dengan pekerja kantoran, saya ingin anak yatim piatu sama lebar senyumnya dengan anak yang setiap lebaran punya baju dan sepatu baru. Lucu bukan, disaat anak seumuran saya menginginkan mobil baru, motor yang besar dan gagah, serta hal-hal hedonisme lainnya, justru saya meninginginkan kesetaraan bagi umat manusia, dan saya rasa ini adalah dampak terbesar dari Pilkada DKI ini bagi saya, khususnya setelah saya melihat video-video kemanusiaan yang digagas oleh relawan paslon.
Kiranya pada tanggal 15 Februari nanti, menjadi bukti konkret bahwa masyarakat sudah ter-edukasi oleh media sosial dari segi kesadaran berpolitik. Kiranya aspek-aspek lainnya dapat dihidupkan pula melalui kacamata media sosial ini. Semoga pasangan yang menang nanti akan membawa Jakarta ke arah yang baik dari banyak aspek. Terimakasih sudah ikhlas membuang kuota anda!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H