Mohon tunggu...
rahmat fauzi
rahmat fauzi Mohon Tunggu... -

pemuda yang ingin mengembangkan karakter diri dan sedang menggunakan pengetahuan sebagai landasan hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wanita Sebagai Komoditas

10 Mei 2014   19:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan lagi hal yang tabu bila kaum perempuan merupakan sasaran eksploitasi, seperti kasus yang sudah bukan barang baru lagi kalau TKI kita sering diekspoitasi mulai dari pemerkosaan sampai kasus pelecehan seksual di negara seperti Malaysia dan Timur Tengah. Iklan suatu produk yang sering ditayangkan di televis, juga sering menggunakan objek berupa wanita untuk memasarkan suatu produk yang mereka miliki, seperti iklan sabun mandi, shampo, dan makanan saus sambal  ABC. Tidak dipungkiri meski banyak perempuan yang melakukannya demi uang meskipun tubuh mereka harus digunakan konsumsi oleh berbagai pihak. Wolf (1993) menyatakan dalam bukunya yang berjudul Barbie Culture bahwa memandang kecantikan tak ubahnya sebagai sistem mata uang , seperti halnya sistem-sistem yang lain dan kini semakin banyak diatur oleh siasat politik. Pendapat ini mengatur bahwa tubuh manusia merupakan hal yang bisa dimanfaatkan untuk diekspoitasi untuk menghasilkan sesuatu berupa materi,khususnya pada perempuan.

Pernikahan kontroversi yang sedang menjadi trending topik perbincangan antara Bupati Garut Aceng Fikri dan Fani Oktora jelas menunjukkan bahwa perempuan hanya digunakan untuk diekspoitasi, bahkan tidak beda jauh dengan barang yang seenaknya sendiri dibuang ketika tidak membutuhkannya. Bahkan dalam masyarakat postmodern seperti sekarang ini, masyarakat sudah tidak mengindahkan kaidah-kaidah norma yang tidak tertulis di masyarakat. Dalam budaya kita pernikahan sejatinya merupakan hal yang sakral untuk dilaksanakan, mengingat kita bangsa timur yang dikenal menjunjung tinggi norma dalam masyarakat. akan tetapi pada sekarang ini seakan sudah luntur diterjang era globalisasi. Seorang Bupati yang seharusnya dijadikan panutan rakyatnya saja sudah tidak mengindahkan norma tertulis yang ada dalam masyarakat. Dalam kebudayaan yang konsumtif, tubuh telah menjadi subjek komoditas yang terus berkembang dan berubah-ubah, sebagaimana dicatat oleh Kathy Davis (1993). Komoditas pada era postmodern sekarang ini tidak hanya berupa barang, akan tetapi berupa penguasaan terhadap skemata orang (politik). Fanni merupakan sebuah komoditas bagi Bupati Garut, meskipun tidak digunakan untuk menghasilkan nilai yang bersifat materi akan tetapi seperti yang disampaikan oleh Kathy Davis, bahwa komoditas dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, dari sini komoditas yang dapat disimpulkan adalah perempuan hanya sebatas dinikmati sebagai konsumsi komoditas semata. Perilaku seperti ini patut diberikan sanksi sosial yang sangat tegas kalau dengan hukum tidak dapat menyelesaikan masalah yang terjadi. Era postmodern memang tidak bisa dihindari dari yang namanya eksploitasi untuk berbagai tujuan tertentu, namun bagaimana pun juga perempuan merupakan makhluk hidup yang harus dihargai dan bukan untuk diekspoitasi semata, apalagi dengan kedok pernikahan. Secara logis pernikahan yang singkat dan umurnya hanya empat hari memang aneh, ini tidak sesuai dengan pernikahan yang diidamkan orang, yaitu membangun keluarga yang harmonis.

Banyak perdebatan dan pendapat yang bergulir di masyarakat, ada isu yang bergulir bahwa Aceng Fikri mendalami ilmu kebatinan dan pernikahan merupakan suatu syarat untuk mendapatkan ilmu tersebut  sampai pada tindakan nafsu semata karena Fanny merupakan, perempuan tulen yang tumbuh di lingkungan pondok pesantren. Apapun alasannya hal tersebut tidak dapat ditoleransi oleh berbagai pihak, Komnas perlindungan Perempuan juga perlu bertindak dalam mengambil tindakan demi tetap terjaganya harkat dan martabat perempuan. Modus pernikahan bisa menjadi kedok untuk mengeksploitasi perempuan dari sisi feminitas yang melekat di benak perempuan. Sisi feminitas perempuan sendiri merupakan sifat yang ingin dilindungi, berwatak lembut (Wernick, 1993;87). Berbeda dengan sisi maskulin yang melekat kepada kaum lelaki, seperti pengertian dari Helen Macdonald (1993) dalam buku Barbie Culture mengatakan bahwa maskulinitas dipahami sebagai sebuah karakter yang menampakkan tiga sifat khusus yaitu kuat, keras, dan beraroma keringat. Eksploitasi sisi feminitas tidak ada habisnya, dari seksual saja, akan tetapi sisi iklan pun bisa juga menjadi eksplotasi dengan kedok meningkatkan penjualan suatu produk. Iklan bukanlah sekedar informasi mengenai produk tertentu melainkan sebuah media yang menawarkan ideologi, gaya hidup dan imaji (Wernick, 1991:32).

Ekspoitasi tidak hanya dimaknau sebagai kekerasan yang dilakukan terhadap kaum perempuan pada sisi feminitas semata, akan tetapi ekploitasi bisa saja dalam bentuk penawaran yang menjadikan gaya hidup saat ini, masyarakat seakan sudah tidak peduli dengan ekploitasi yang dilakukan kepada manusia, lebih khususnya kaum perempuan yang lebih mudah diekplotasi dari sisi mana pun. Feminitas pada hakekatnya merupakan suatu istilah untuk doktrin persamaan hak bagi perempuan dan ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan melalui persamaan sosial yang sederhana. Secara umum, feminitas adalah ideologi pembebasan perempuan karena dalam pendekatannya memiliki  keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan. Ini berdasar fakta yang terjadi akhir-akhir ini, seperti kekerasan yang sering terjadi pada TKI yang bekerja di luar negeri dan beritanya sering menghiasi berita di televis sampai pada kasus pernikahan singkat Bupati Garut, Aceng Fikri. Lantas berbagai aliran dalam feminitas menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab, perilaku dan penindasan perempuan. Feminism dari kacamata marxisme percaya bahwa pembagian kerja secara seksual sebagai penyebab penindasan dan kemudian menawarkan  perubahan ekonomi sebagai jalan keluarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun