Kisah ketika Nabi Besar Muhammad saw dilempar kotoran oleh kafir Qurais pasti pernah kita dengar. Bagaimana Nabi saw tak menghiraukannya, tak marah dan tetap melanjutkan perjalanan. Namun ketika si pelempar kotoran itu mengidap suatu penyakit, Nabi Muhammad datang menjenguknya dan mendoakannya. Hal itu yang membuat si pelempar menangis sesenggukan sambil memohon maaf dan langsung memeluk Islam. Begitulah akhlak Nabi yang begitu agung yang hingga diabadikan dalam Al-Quran.
Saya menafsirkannya begini: Betapa Nabi Muhammad terlalu amat tidak perduli dengan hal hal remeh. Seorang Arab badui pernah terlihat kencing di pelataran masjid. Salah satu Sahabat Nabi memarahi arab badui itu. Tapi Nabi bersikap lain. Ia membiarkan orang yang kencing itu menyelesaikan kencingnya, lalu mengajarkannya etika dan cara yang benar. Selanjutnya Ia saw bersama sahabat membersihkan bekas kencing arab badui itu. Dan selesai.
Tentu mungkin kita (saya lebih tepatnya) tidak bisa atau belum mampu menjadi seperti Nabi yang tetap santai ketika dilempar kotoran. Saya pasti sudah mencak-mencak. Caci makipun mungkin akan membabi buta menyerbu telinga si pelempar itu.
Karena itu demi mengambil pelajaran dari kisah diatas, maka sudah sepatutnya kita mulai fokus untuk tidak repot dengan hal hal yang remeh. Bagaimana kita seharusnya tidak membiasakan diri mencari kekeliruan atau kesalahan kecil dari seseorang untuk dicaci dan diejek. Padahal kesalahan kecil itu tidak mempunyai dampak yang besar. Bahkan sama sekali tak ada dampak sama sekali.
Sebentar lagi bulan puasa akan tiba. Salah satu tujuan disyariatkan puasa adalah untuk membiasakan kita hidup dengan pengendalian diri untuk tidak melakukan hal yang remeh tanpa manfaat. Kita sangat dianjurkan membiasakan sholat malam (qiyamul lail). Kita dianjurkan membiasakan diri untuk bersedekah. Kita diharuskan menahan amarah dan kita dianjurkan untuk tidak berbicara hal hal yang tidak penting. Apalagi pembicaraan kita itu menyinggung hati seseorang.
Diharapkan setelah berlalunya sebulan berpuasa kita tak lagi mengingat kejadian kejadian yang memunculkan dendam. Kita tak lagi berusaha mencari objek untuk melampiaskan kemarahan dan mencari alasan logis untuk pembenaran dalam kebencian kita. Kita bisa lebih santun untuk menegur dan mengkritik, sembari hati kita memohon petunjuk dan keridhaan Ilahi. Agar semoga kita selalu berada dijalan yang lurus.
"Puasa adalah untuk-Ku," kata Allah yang termaktud dalah hadis Qudsi. Allah seperti telah memberikan misi untuk disukseskan oleh anak adam dengan gemilang. Allah memerintahkan kita untuk mengabaikan hal hal duniawi yang relatif rendah tapi lebih melirik dan mendekap hal yang lebih punya kualitas perbaikan jiwa. Menjadi pribadi-pribadi yang berstandar tinggi dalam berfikir, merenung dan dalam keluhuran budi pekerti.
Inilah yang sebenar-benarnya makna hidup itu. Kita tapakkan kaki kita di bumi tapi kita melangkah dengan cara-Nya yang sempurna. Pengabdian sepenuhnya kita tujukan kepada Yang Maha Memelihara kita. Dalam puasa kita dididik untuk itu. Agar kita mampu memenuhi "keinginan" Allah. Padahal sejatinya Ia tak butuh apapun. Kita yang justru selalu butuh Dia. Namun kali ini, dalam syariatnya, Ia berharap kita untuk memenuhi "kebutuhan"-Nya.
Selamat menyambut bulan puasa. Semoga kita semua diringankan dalam menjalankan misi suci-Nya, agar kita termasuk dalam hamba-hambanya seperti dalam sabdaNya pada Hadis Qudsi dibawah ini:
"SEORANG HAMBA AKAN MENDEKATKAN DIRI KEPADAKU, HINGGA AKU MENCINTAINYA, DAN BILA AKU MENCINTAINYA, MENJADILAH PENDENGARANKU YANG DIGUNAKAN UNTUK MENDENGAR, PENGLIHATANKU YANG DIGUNAKAN UNTUK MELIHAT, TANGANKU UNTUK BERTINDAK, SERTA KAKIKU YANG DIGUNAKANNYA UNTUK BERJALAN."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H